Selasa, 4 Januari 2021—Indonesia terancam menghadapi krisis listrik akibat defisit pasokan batubara di pembangkit PLN. Ketersediaan batubara diperkirakan di bawah batas aman untuk mencukupi kebutuhan selama 15 hari. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor batubara bagi perusahaan batubara. Kebijakan ini diberlakukan selama satu bulan, terhitung sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022.
Dalam keterangan persnya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kebijakan ini terkait kepentingan nasional, yakni prioritas pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri dan untuk PLN. Diketahui, PLN saat ini sedang mengalami defisit pasokan batubara di sejumlah pembangkit listriknya, khususnya di jaringan Jawa-Madura-Bali.
“Keputusan pemerintah yang bahkan harus menarik rem darurat dengan menghentikan secara total ekspor batubara guna menjamin pasokan kebutuhan batubara domestik menunjukkan bahwa kondisi ketahanan energi kita benar-benar tidak aman dan di ambang krisis,” ujar Andri Prasetiyo, peneliti dan manajer program Trend Asia.
Masalah pasokan batubara PLN disebabkan karena perusahaan-perusahaan batubara tidak taat memenuhi ketentuan wajib pasok dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Puncak persoalan yang terjadi saat ini sejatinya dapat diprediksi dan seharusnya dapat diantisipasi sejak awal. Sejak pertengahan 2021, ketika harga batubara global mulai melambung, pemerintah sudah menyoroti praktik ketidakpatuhan DMO. Hingga akhirnya muncul surat keputusan pelarangan ekspor terhadap 34 perusahaan[1]. Praktik sanksi tersebut nyatanya juga tidak mampu memberikan efek jera dalam mendorong kepatuhan.
Menurut Ridwan Djamaluddin, Direktur Ditjen Minerba Kementerian ESDM, jika aturan larangan ekspor tak dikeluarkan, maka hampir 20 PLTU dengan daya 10.850 MW akan padam. Presiden Joko Widodo bahkan kemudian mengancam perusahaan batubara yang tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi DMO maka akan mendapat sanksi dan izin usahanya akan dicabut.
“Pemerintah sudah terlanjur menempatkan batubara sebagai bauran energi utama dan belum dapat melepaskan diri secara signifikan. Alhasil, ketika rantai pasoknya bermasalah, bayang-bayang krisis energi terasa begitu dekat. Untuk mengatasinya, sanksi tegas berupa pencabutan izin setiap perusahaan yang tidak patuh DMO seharusnya tidak hanya menjadi sebatas ultimatum Presiden, tetapi harus segera dilakukan,” jelas Andri.
Beberapa waktu belakangan, harga komoditas batubara di pasar dunia memang terus melambung. Harga batubara acuan global bahkan sempat menyentuh angka US$260 per metrik ton. Hal ini ditengarai menjadi penyebab perusahaan-perusahaan batubara lebih memilih hasil produksinya untuk diekspor ke luar negeri.
Data KESDM mencatat, tingkat kepatuhan ratusan perusahaan tambang batubara untuk memenuhi DMO sangat rendah. Dari target tahun 2021 sebesar 137,5 juta ton, realisasi yang tercapai hanya sebesar 63,47 juta ton atau sekitar 46 persen, terendah sejak 2017.
Hingga akhir 2021, hanya terdapat 85 perusahaan yang telah memenuhi DMO batubara sebesar 25 persen dari rencana produksi tahun 2021. Dari 5,1 juta metrik ton penugasan pemerintah, hingga 1 Januari 2022, haya terpenuhi 35 ribu metrik ton, atau kurang dari 1 persen. Selain itu, data realisasi DMO oleh PLN menunjukkan perusahaan batubara raksasa yang memegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) juga tidak memenuhi ketentuan DMO oleh pemerintah, semisal PT Arutmin Indonesia.
Andri memperkirakan, ke depannya ancaman krisis energi yang terjadi akibat minimnya pasokan batubara akibat fluktuasi harga global akan terus berulang jika pemerintah terus bergantung terhadap penggunaan energi kotor ini. Hingga saat ini, porsi bauran batubara masih mendominasi dalam sistem ketenagalistrikan nasional. Menurutnya, hal itu akan menjadi implikasi serius bagi ketahanan energi nasional, begitu pun terhadap upaya percepatan transisi energi nasional.
“Pemberian sanksi administratif hingga pencabutan izin pada perusahaan yang tidak patuh, atau bahkan melakukan peninjauan kembali harga DMO batubara dinilai dapat menjadi pilihan solusi jangka pendek mengatasi persoalan ini. Namun, ada yang jauh lebih penting dan strategis. Jika pemerintah ingin melakukan perubahan menyeluruh terhadap kerangka kebijakan energi, maka solusi tersebut jelas tidak cukup. Pemerintah harus segera mempercepat proses transisi energi dengan memilih energi terbarukan,” tegasnya.
Catatan editor:
1]Sanksi diberikan sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM No.139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 4 Agustus 2021.
Foto: Getty Images