Katadata-Pemerhati lingkungan mengkritisi masuknya ketentuan Domestic Market Obligation atau DMO batu bara ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) karena batu bara masuk ke dalam kategori energi kotor yang tinggi emisi.

Apalagi, di dalam RUU EBT, yang kini bernama RUU energi baru dan energi terbarukan (RUU EBET), kuota DMO batu bara dinaikkan menjadi 30% dari sebelumnya 25% dari total rencana produksi tahunan perusahaan tambang.

Koordinator Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov Birry mengatakan penempatan DMO batu bara di tengah momentum Indonesia menjadi pemimpin Forum G20 tahun ini dapat memberikan sinyal negatif terhadap komitmen pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan.

“Ini sinyal yang tidak baik dan tidak jelas kepada komunitas internasional yang bersolidaritas atas dasar urgensi krisis iklim,” kata Ashnov dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (19/5).

Ia menyarankan agar pemerintah melihat potensi terganggunya keinginan bersolidaritas komunitas internasional terhadap rancangan regulasi yang masih memihak energi fosil. “Ini perkara sinyal apalagi levelnya undang-undang, termasuk ke komunitas internasional, industri, tetapi juga kepada masyarakat,” ujarnya.

Di sisi lain, adanya penambahan kuota DMO batu bara dalam RUU EBET dianggap sebagai upaya pelanggengan penggunaan batu bara yang berimbas pada semakin lambatnya transisi energi. Penambahan kuota tersebut tertulis di Pasal 6 ayat 6 dengan patokan harga US$ 70 per ton.

Selengkapnya…

Foto: Getty Images