Pengolahan limbah batu bara FABA menjadi bahan bangunan disebut memiliki risiko kesehatan dan memperpanjang penggunaan batu bara.

Katadata-Limbah batu bara hasil pembakaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) telah dikeluarkan dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) menyusul terbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kesempatan ini disambut meriah oleh sejumah perusahaan tambang yang melihat potensi fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau FABA menjadi produk yang bernilai, salah satunya menjadi bahan baku keperluan konstruksi berupa pelapis fondasi jalan dan bahan bangunan.

Akan tetapi, penggunaan FABA menjadi bahan campuran material bangunan dinilai sebagai langkah yang membahayakan lingkungan dan kesehatan karena FABA mengandung unsur logam berat seperti arsenik, merkuri, dan kromium yang berpotensi menimbulkan kanker.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo mengatakan pemanfaatan debu batu bara menjadi bahan campuran semen, batako dan paving blok dinilai bisa memicu gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan.

“Sebelum PP itu keluar, FABA sudah dimanfaatkan jadi bahan bangunan. Tapi karena aturan itu, pemanfataannya jadi lebih longgar. Limbah batu bara didekatkan ke masyarakat dengan dikemas lewat skema tanggung jawab perusahaan atau CSR yang diaplikasikan pada perumahan dan rumah ibadah,” ujarnya Minggu (28/8).

Tak hanya itu, Andri menambahkan, potensi penggunaanFABA pada proyek-proyek besar seperti jalan tol dan bandara juga juga memunculkan potensi bahaya yang sama. Terlebih jika proyek jalan tol itu berdekatan dengan permukiman warga.

“FABA kalau digunakan dalam proyek besar seperti lalan tol punya resiko bahaya kalau itu berdekatan dengan permukiman,” sambungnya. “Upaya pemerintah mengeluarkan FABA dari kategori B3 bisa mengancam keberlangsungan transisi energi di Tanah Air.”

Sebab penggunaan batu bara menjadi makin eksis di sektor pembangkit listrik dengan menyediakan rantai pasok tambahan berupa FABA yang dirasa memiliki nilai lebih di sektor non pembangkit.

“Ada kecenderungan pemerintah memberi keistimewaan kepada industri batu bara yang membuat dia murah agar tetap kompetitif dengan sumber energi terbarukan,” ujar Andri.

Dengan dihilangkannya FABA dari katergori limbah B3, industri pembangkit listrik kini tak berkewajiban untuk mengeluarkan anggaran lebih untuk mengolah FABA sebelum ditimbun ke dalam tanah. “Ini upaya menekan biaya produksinya. Terkesan murah. Kalau gitu, akan sangat sulit untuk pengembangan energi terbarukan,” jelasnya.

Beberapa perusahaan yang mengolah FABA yaitu PT Bukit Asam dan PLTU Tanjung Jati B yang terletak di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Pada Juni 2022, PLTU milik PLN ini mereka mampu memproduksi 28 ribu keping paving block dan 9.600 keping batako.

Baca selengkapnya…

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia