Jakarta, 28 Mei 2021-International Energy Agency (IEA) baru-baru ini mengeluarkan laporan terkait peta jalan net zero emissions global. Laporan tersebut mengungkap urgensi penghentian eksploitasi dan pengembangan sumber energi fosil seperti minyak, gas, dan batubara mulai tahun ini. Hal ini penting untuk dilakukan secara serius dan tepat  waktu agar dunia tetap berada dalam batas aman peningkatan temperatur global dan dapat mencapai tujuan nol emisi karbon pada tahun 2050.

Sebelumnya, PLN mencanangkan komitmen untuk moratorium pembangunan pembangkit batubara demi mencapai target zero emisi. Namun, rencana PLN tersebut akan dilakukan setelah megaproyek 35.000 Megawatt (MW) dan Fast Track Program (FTP) 2 sebesar 7000 MW selesai pada tahun 2025. Dengan perkiraan usia operasi PLTU yang berada di rentang usia 35-40 tahun, penambahan tersebut akan mengakibatkan Indonesia tetap akan mengoperasikan PLTU dengan jumlah begitu besar hingga 2060-2065.

Menanggapi hal ini, Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, menyatakan bahwa rencana PLN dan Pemerintah yang baru akan menghentikan pembangunan PLTU pada 2025 adalah langkah yang masih belum sejalan dengan upaya penyelesaian krisis iklim global. Laporan IEA  (2021) menyatakan bahwa saat ini pembangunan PLTU harus dihentikan dan pembangkit listrik tenaga batubara harus berhenti secara total pada 2040, untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat celcius. 

“Jika PLN tetap mengejar tenggat target penuntasan pembangunan PLTU pada 2025, akan ada tambahan jumlah kapasitas PLTU baru dengan jumlah total sangat besar yaitu 16.000-17.000 MW.Berdasarkan perhitungan Trend Asia, hal ini akan menambah produksi emisi karbon yang begitu besar dengan jumlah 107 juta ton per tahun,” jelasnya.

Program 35.000 MW yang dicanangkan Presiden Joko Widodo didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7% per tahun. Dengan asumsi tersebut, permintaan listrik diperkirakan akan tumbuh sejalan di kisaran angka 8%. Namun, beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia meleset dari target, hanya mencapai rata-rata 5%. Bahkan, pertumbuhan ekonomi nasional pada 2020 minus sebesar 2,07% (year on year), imbas dari pandemi Covid-19 (BPS, 2020). Pertumbuhan permintaan listrik pun hanya 4,5-5% per tahun dan diproyeksikan tidak akan mengalami peningkatan signifikan. Terlebih, World Bank (2020) menyatakan bahwa kondisi ekonomi global masih berada dalam situasi sulit dan pemulihan ekonomi akan membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 5 tahun. 

Akibat proyek pengadaan listrik 35.000 MW yang bersumber dari energi batubara ini, PLN memiliki utang dengan jumlah fantastis mencapai 649 triliun rupiah. Meski demikian, PLN bersikeras terus membangun megaproyek PLTU seperti Jawa 9-10 berkapasitas 2×1000 MW yang bernilai 40 triliun rupiah tetapi diproyeksikan akan merugi sebesar 610 miliar rupiah jika beroperasi.

Saat ini, di luar proyek yang telah berada di fase pendanaan dan konstruksi, terdapat hampir 6000 MW proyek PLTU batubara yang berada dalam fase perencanaan dan kontrak. Dengan rentang perkiraan nilai belanja modal (capex) yang harus dikeluarkan per 1 GW kapasitas terpasang yaitu 2 miliar dolar AS atau 26 triliun rupiah, maka memaksakan melanjutkan 6000 MW proyek PLTU batubara dalam fase perencanaan dan kontrak hanya akan memberikan beban keuangan baru bagi PLN dan negara sebesar 156 triliun rupiah.

“Pembangunan PLTU yang tetap dipaksakan akan membuat pembangkit ini tidak akan membawa keuntungan apa pun, selain akan menjadi aset terlantar. Penyelesaian pembangunan PLTU secara masif dalam kerangka proyek 35,000 MW dan FTP 2 menjadi sangat tidak strategis dan merugikan secara ekonomi,” terang Andri.

Sebagian besar pembangunan PLTU yang sedang berjalan dan akan ditambah kembali menarget wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan. Total, akan ada penambahan sekitar 40 PLTU di wilayah ini. Operasi PLTU dan polusi yang ditimbulkannya akan menjadi ancaman serius bagi kondisi kesehatan lebih dari 220 juta orang di wilayah ini atau 81% total penduduk Indonesia. 

Penambahan PLTU ini juga berpotensi akan menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah Kalimantan dan Sumatera yang merupakan wilayah hulu sumber energi batubara dan kerusakan lingkungan di wilayah hilir pembangkitan baik di Kalimantan, Sumatera, Jawa, seperti rusak dan tercemarnya wilayah pertanian dan pesisir. 

“PLN harus segera meninjau ulang seluruh proyek pembangunan PLTU. Membatalkan rencana pembangunan PLTU baru, khususnya yang masih berada dalam tahap perencanaan, tahapan kontrak, tahap pembangunan awal. PLN juga harus segera mulai melakukan penutupan pembangkit-pembangkit tua (di atas 30 tahun masa operasi) dan mengganti proyek-proyek tersebut dengan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan,” tukasnya.

Kontak Media:

-Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, [email protected]

Photo by Valeriy Kryukov on Unsplash