Betahita-Program co-firing biomassa yang digaungkan pemerintah memunculkan kekhawatiran adanya potensi deforestasi hingga mencapai 2 juta hektare dan kesangsian tentang klaim rendahnya emisi yang dihasilkan. Sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membantah bahwa target bauran energi nasional dari sektor kehutanan ini akan mengurangi luas hutan karena akan diambil dari kawasan hutan produksi konversi.

Hal itu terungkap dalam diskusi Green Editor Forum yang diselenggarakan SIEJ Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists), Sabtu, 22 Oktober 2022 secara virtual dengan tema Membakar Kayu [co-firing] di PLTU untuk Narasi Transisi Energi dalam Perhelatan G20. Sebagai informasi, co-firing adalah upaya pemerintah Indonesia meningkatkan bauran energi baru terbarukan dalam proses transisi energi, melalui campuran pasokan batubara dengan biomassa di pembangkit listrik batubara (PLTU).

Saat ini, setidaknya pemerintah dan PLN sudah mengimplementasikan co-firing biomassa di 33 lokasi PLTU, dan akan ditargetkan meningkat hingga 52 lokasi PLTU pada 2025. Menurut Manager Kampanye Biomassa Trend Asia Amalya Oktavani, potensi deforestasi semakin tinggi jika porsi biomassa yang digunakan untuk pencampuran bahan baku di PLTU semakin besar. Apalagi nantinya pemerintah akan mencoba menerapkan co-firing di 52 pembangkit batubara. Dengan begitu kebutuhan pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) juga besar.

Trend Asia menganalisa potensi deforestasi ini dengan melihat data dan pemodelan pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk industri pulp and paper pada 2019, yang ternyata 38% pasokannya berasal dari deforestasi. Fungsi kawasan hutan yang dicadangkan oleh pemerintah untuk ketahanan energi adalah hutan produksi konversi. Ini berarti besar kemungkinan masih terdapat tutupan hutan yang bagus. Di sini lah kemungkinan deforestasi hutan alam terjadi.

Dari sejarah pengelolaan HTI ini, Amalya mencontohkan, jika jenis biomassa yang dipakai co-firing adalah tanaman gamal dengan target bauran 10% di 52 pembangkit, maka kebutuhan lahannya mencapai 7,7 juta hektare hutan tanaman energi sehingga potensi deforestasinya mencapai 2 juta hektare. Sedangkan jika dari jenis akasia 3,8 juta areal HTE yang dibutuhkan untuk nilai bauran yang sama, potensi deforestasi bisa mencapai 1 juta hektare.

“Semakin besar (persentase) co-firing-nya akan semakin luas areal HTE yang dibutuhkan dan semakin luas potensi deforestasi yang akan terjadi. Sedangkan dari fungsi kawasan hutan produksi konversi yang dicadangkan untuk ketahanan energi yang bisa jadi untuk HTE masih terdapat tutupan hutan alam. Di sinilah potensi deforestasi itu terjadi,” kata Amalya.

Sementara itu soal klaim emisi yang lebih rendah, ia memaparkan bahwa masih ada selisih net emisi yang tidak terserap dari pembangunan HTE. Sebab, nilai emisi yang timbul dari deforestasi atau penebangan hutan alam jauh lebih besar dibandingkan penyerapan emisi dari penanam HTE.

Baca selengkapnya…

Foto: Jefri Tarigan/Trend Asia