Indonesia telah berkomitmen untuk melawan perubahan iklim dengan menekan emisi karbon, melalui pengurangan penggunaan energi fosil. Namun Pemerintah Indonesia masih kesulitan untuk mengejar target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) senilai 23% pada 2025. Pemanfaatan biomassa melalui metode pembakaran bersama (co-firing) dengan batubara di PLTU, menjadi solusi yang digadang-gadang pemerintah untuk mereduksi emisi dari sektor energi, sekaligus mengejar angka bauran energi.

Praktik co-firing dilakukan dengan mencampur 90-95% batubara dengan  biomassa, seperti pelet kayu (wood pellet), cangkang sawit, sekam padi, atau serbuk gergaji sebesar 1 hingga 10% sebagai bahan pembakaran dalam PLTU batubara. Per Mei 2022, praktik co-firing biomassa telah dilakukan di 33 lokasi PLTU. Pemerintah berencana memperluas praktik ini hingga ke 52 lokasi dengan 107 unit PLTU di seluruh Indonesia per 2025. PLN gencar mendorong praktik ini karena ia diklaim netral karbon, dan “bersih”. Namun, seberapa valid sebenarnya klaim tersebut?

Pemerintah menonjolkan penggunaan limbah biomassa dari masyarakat dalam praktik co-firing. Namun kontinuitas suplai biomassa dari limbah masih dipertanyakan, karena PLTU Jeranjang di NTB dan PLTU Ropa di NTT yang memanfaatkan sampah terhenti aktivitasnya. Trend Asia mencoba melakukan riset terkait sumber biomassa yang paling memungkinkan untuk menyuplai terus-menerus, yaitu pelet kayu. Untuk memasok 107 unit PLTU yang melakukan praktik co-firing 10%, dengan asumsi penggunaan pelet kayu, dibutuhkan 10,23 juta ton biomassa per tahun. Jumlah sebesar ini hanya mungkin terpenuhi dari perkebunan kayu skala massal seperti dengan perusahaan hutan tanaman energi (HTE).

Perkiraan minimal luas HTE untuk memenuhi suplai biomassa sebesar itu adalah 2,33 juta hektar atau 35 kali luas DKI Jakarta. Pembukaan lahan ini berisiko berujung pada deforestasi, apalagi jika menilik sejarah pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI). Data dari MapBiomas Indonesia menunjukkan bahwa dari total tutupan HTI tahun 2019, 38 persen lahannya berasal dari pembukaan hutan alam. 

Selain itu, dalam seri pertama penelitian “Membajak Transisi Energi” bertajuk “Adu Klaim Mengurangi Emisi”, peneliti Trend Asia juga menemukan bahwa klaim netral karbon praktik co-firing  yang digaungkan pemerintah gagal menimbang emisi yang dikeluarkan pada proses rantai suplai dari hulu ke hilir, termasuk emisi dari proses deforestasi ini.

Pembalakan besar-besaran justru akan bertentangan dengan komitmen pemerintah sebelumnya. Dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contributions), Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan strategi kunci Indonesia dalam menahan laju perubahan iklim dengan mencegah deforestasi; konservasi hutan lestari; perlindungan dan restorasi lahan gambut; dan peningkatan serapan karbon. Pemerintah Indonesia mengkhianati komitmen ini dengan memilih solusi palsu co-firing biomassa. Pemerintah nampaknya lupa bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan, adalah salah satu negara yang akan paling menderita dampak dari perubahan iklim. 

Menyikapi kondisi ini, Trend Asia bermaksud meluncurkan laporan bertajuk “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi” yang akan mengupas lebih dalam soal dampak kerusakan hutan dari kebijakan co-firing biomassa pemerintah. Peluncuran ini akan disertai dengan diskusi publik hybrid yang dilaksanakan secara langsung dan daring pada pukul 13.30 WIB, hari Selasa, 8 November 2022 di Kedai Kopikirapa, Jakarta.  Acara akan diawali dengan screening film dokumenter versi 30 menit bertajuk Burned (2017), yang membahas polemik pembakaran kayu sebagai sumber listrik.

Maksud Dan Tujuan

  1. Peluncuran laporan Trend Asia bersama peneliti dalam serial kedua “Membajak Transisi Energi: Ancaman Deforestasi Tanaman Energi” mengenai potensi deforestasi untuk pengadaan suplai biomassa dalam co-firing PLTU.
  2. Melibatkan publik, pers, pemangku kebijakan dalam diskusi lebih dalam tentang kebijakan ­co-firing biomassa pemerintah.