Jakarta, 13 April 2021. Jelang rapat umum tahunannya, sejumlah organisasi lingkungan [1] mendesak Maybank Group untuk segera menghentikan pendanaan bagi energi kotor batubara. Sesuai dengan pernyataan dalam Laporan Keberlanjutannya, yakni Maybank memiliki peran besar dalam memastikan masa depan yang berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara. Namun faktanya, Maybank justru belum meninggalkan jejak bisnisnya di proyek energi berbasis batubara. Sejak tahun 2010 hingga 2019, Maybank telah mengucurkan pendanaan ke proyek-proyek batubara sebesar US$ 1,8 miliar.

Sebelum siaran pers ini dirilis, Greenpeace Indonesia atas nama sejumlah organisasi, telah mengirimkan surat kepada CEO Maybank Group Datuk Abdul Farid Alias, pada 16 Februari 2021, berisi desakan kepada Maybank untuk segera mengikuti jejak CIMB yang sudah memutuskan untuk berhenti menyalurkan pendanaan baru kepada proyek pembangkit listrik batubara, dan menargetkan untuk melepaskan diri sepenuhnya dari investasi energi berbasis batubara pada 2040. 

Pihak Maybank memberikan respons pada tanggal 28 Februari 2021, di mana bank menyatakan bahwa eksposur pendanaan batubara hanya mencapai 0,2% dari total portofolio investasi pada tahun 2020. Bank pun berkelit, apabila pendanaan terhadap batubara dihentikan sama sekali, maka akan timbul dampak sosial dan ekonomi yang besar, tanpa rincian besaran dampak yang dimaksud.  

“Jika persentase investasi Maybank ke industri batubara hanya 0,2%, tentunya mudah bagi Maybank untuk memutuskan hubungan dengan energi kotor, dan memperbesar investasi kepada energi terbarukan. Maybank seharusnya bisa menjadi teladan bagi lembaga keuangan di Asia dengan tidak memiliki portfolio energi kotor dalam asetnya,” ujar Widya Kartika, Peneliti Auriga.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia menambahkan, “Secara global telah terjadi pergeseran kebijakan terkait penggunaan batubara, bahkan beberapa negara Asia menyatakan akan membatalkan atau mempertimbangkan kembali proyek-proyek baru pembangkit listrik batubara”. Jepang dan Korea Selatan juga telah berikrar akan mencapai nol emisi CO2 pada tahun 2050.

Dasar pendanaan kepada pembangkit batubara yang dilakukan Maybank pun tidaklah tepat, di mana penyaluran investasi disebutkan terkonsentrasi pada negara-negara ASEAN yang memiliki rasio elektrifikasi yang rendah. Sementara Indonesia saat ini berencana mencapai rasio elektrifikasi 99,9% dan dengan kondisi pasokan listrik melebihi kebutuhan.   

Salah satu portofolio investasi Maybank adalah PLTU Jawa 9 dan 10. Berdasarkan analisa Greenpeace, emisi dari pembangkit batubara tersebut bisa menyebabkan lebih dari 4.700 kematian dini selama 30 tahun masa operasinya. Dalam laporan CREA, emisi SO2 dan NOx dari sektor energi dan industri adalah yang tertinggi, dan daya cemarnya bisa berjarak ratusan kilometer dari sumber. Sejumlah PLTU dalam radius 100 km dari Jakarta bertanggung jawab atas sekitar 2.500 kematian dini di wilayah Jabodetabek, dan biaya tahunan akibat pencemaran lintas batas dari pembangkit batubara diperkirakan mencapai Rp 5,1 triliun per tahun di Jabodetabek.

“Ancaman angka kematian dini dan populasi penduduk sakit yang tinggi bisa hilang, bila aliran investasi ke energi batu bara dihentikan,” tegas Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

NO2

SO2

(Sumber: https://energyandcleanair.github.io/202008_hotspots/)

Koalisi juga mendesak Maybank untuk berhenti mengucurkan dananya untuk pemain besar batubara yakni PT Adaro Energy Tbk., yang ditengarai menjadi salah satu pihak yang terkait dengan bencana banjir besar di Kalimantan Selatan pada awal tahun ini. Adaro juga mendapat protes keras dari warga sekitar PLTU Batang, terkait dengan penguasaan lahan warga dan kerusakan lingkungan.  

“Maybank harus konsisten dengan pernyataannya sendiri untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan di Asia Tenggara. Memutus hubungan dengan batubara adalah salah satu langkah konkrit yang harus dilakukan segera. Batubara telah terbukti menjadi pembunuh senyap dan mematikan bagi masyarakat sekitar PLTU,” tegas Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional WALHI.

Risiko penyakit dan kematian yang dihasilkan oleh pembangkit batubara, tidak sebanding dengan dampak sosial dan ekonomi yang Maybank sebutkan. Bila itu terkait lapangan kerja yang hilang, energi terbarukan justru menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Menurut World Economic Forum, transisi hijau di tiga sistem sosio-ekonomi dapat menghasilkan 395 juta lapangan pekerjaan dan peluang bisnis US$ 10,1 triliun pada 2030.

“Oleh sebab itu, Maybank seharusnya bisa menjadi pemimpin di industri finansial regional dengan menghentikan pembiayaan ke industri ekstraktif dan mengalihkannya ke industri yang lebih berkelanjutan dan bersih,” tutup Binbin Mariana, Indonesia Energy Finance Campaigner dari Market Forces. 

***

Catatan:

[1] Organisasi lingkungan yang turut serta dalam aksi ini adalah Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) – Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) – Trend Asia – Greenpeace Indonesia – Auriga Nusantara – Market Forces – APMDD (Asian People’s Movement on Debt and Development) 

Kontak media:

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, +62 812-2616-1759

Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 813-1981-5456

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional WALHI, +63 999 412 0029

Binbin Mariana, Indonesia Energy Finance Campaigner Market Forces, +62 815-6155-135