Penulis: Novita Indri Pratiwi

Harga batubara bergerak dinamis menanjak sejak awal Januari 2021 dari US$75,84 per ton  hingga pada 2022 sempat menyentuh harga tertinggi US$400 per ton. Pasalnya, situasi geopolitik global, konflik Rusia dan Ukraina, dan kondisi ketersediaan, rantai pasok, kebutuhan energi di beberapa negara penghasil batubara seperti China, India, dan Uni Eropa. 

Harga yang sangat volatile ini juga berdampak langsung bagi Indonesia. Tidak hanya soal peningkatan penerimaan negara. Namun, harga batubara juga  jadi hambatan proyek kerja sama gasifikasi batubara antara PT Pertamina (Persero), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan Air Products and Chemicals Inc (APCI). Ketiganya bermufakat merealisasi proyek sejak November 2018.

Sejalan dengan ambisi ketiga korporasi, proyek gasifikasi batubara ini sebetulnya merupakan ikhtiar pemerintah Indonesia untuk menggenjot industri hilirisasi batubara di dalam negeri. Setelah penandatanganan nota kesepahaman di Dubai pada November 2021, Presiden Joko Widodo meresmikan peletakan batu pertama (groundbreaking) proyek hilirisasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022). 

Dalam pidato peletakan batu pertama proyek gasifikasi, Presiden Jokowi menekankan, proyek yang telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN) ini harus selesai dalam kurun waktu 30 bulan. Ia mengklaim, proyek ini untuk mengurangi ketergantungan impor liquid petroleum gas (LPG) Indonesia yang mencapai angka 80 triliun rupiah dari total kebutuhan 100 triliun  per tahunnya. 

Ia menambahkan, selama ini pemerintah juga harus mensubsidi LPG sebesar 60-70 triliun per tahunnya agar harga jual ke masyarakat terjangkau. Menurutnya, jika proyek gasifikasi batubara ini rampung dan berproduksi, maka Indonesia akan dapat mengurangi biaya subsidi APBN untuk LPG sebesar 7 triliun rupiah per tahun. 

Presiden Jokowi boleh saja optimis. Namun, secara kalkulatif, optimisme tersebut tampak tidak berdasar.

Harga Tak Ekonomis

Gasifikasi batubara adalah proyek yang sangat mahal. Total investasi yang dibutuhkan proyek gasifikasi ini mencapai 2,1 miliar dolar Amerika atau setara Rp30 triliun. Ditargetkan, selama operasi 20 tahun, proyek akan menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun, dengan harga US$ 400 per ton yang nilainya lebih rendah dari LPG dengan kisaran harga sebesar US$ 500 per ton. Perhitungan target itu disesuaikan dengan asumsi harga batubara senilai US$ 20 per ton. Namun, seperti diketahui, harga batubara justru terus melonjak naik hingga ratusan dolar per ton. 

Laporan lembaga think tank yang fokus di isu ekonomi energi, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada November 2020, dengan terang menyebut proyek gasifikasi batubara Air Products & Chemical sebagai proyek yang tidak layak karena “tidak masuk akal secara ekonomi”. 

Selain membuat utang baru sebesar 2 miliar dolar Amerika, proyek ini disebut akan mengakibatkan kerugian negara sebesar 377 juta dolar Amerika per tahunnya, setara 5,43 triliun rupiah per tahun, nilai kerugian yang jauh lebih besar dibandingkan nilai penghematan impor LPG sebesar 19 juta dolar Amerika, setara 273,7 miliar rupiah.

IEEFA pun menganalisis, total biaya produksi DME sebesar US$470/ton hampir dua kali lipat lebih besar dari biaya produksi LPG sebesar US$365/ton. Ini otomatis akan membuat harga DME dua kali lipat dari yang saat ini dibayar konsumen untuk LPG. Pada akhirnya, wajib pajak Indonesia akan membayar lebih banyak untuk energi yang lebih sedikit.

Dengan jumlah energi yang lebih sedikit itu pula, proyek gasifikasi batubara ini justru menghasilkan emisi lima kali lebih banyak, 4,26 juta ton CO2-eq per tahun, dibandingkan proses pembuatan LPG dengan kapasitas sama, 1,4 juta ton per tahun (AEER, 2020). 

Di sisi lain, biaya gasifikasi batubara justru berada di atas harga pasar, bahkan jauh di atas harga LPG. IEEFA (2022) menganalisis, biaya DME memang pernah lebih murah, tetapi itu pun hanya terjadi selama 15 bulan, atau sekitar 6 persen selama 20 tahun terakhir.

Dalam wawancaranya dengan Tempo (27/5), Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, pun mengatakan bahwa tak ada kemungkinan proyek akan dijalankan jika kondisi harga batubara terus melonjak. Sebab, nilainya tak ekonomis.

Gasifikasi yang diklaim sebagai bagian peningkatan nilai tambah, pada akhirnya justru akan menjadi proyek peningkatan nilai tambah semu. Sebab, bukannya membawa manfaat bagi negara, proyek hilirisasi ini akan menghasilkan beban finansial yang signifikan bagi neraca keuangan negara. 

Subsidi Energi Fosil Batubara

Laporan terbaru IEEFA berjudul Indonesia’s Downstream Coal Plans Add up to a Black Hole juga mengungkap, rencana penggantian impor LPG dengan DME akan sulit terlaksana karena adanya konflik kepentingan bisnis. Para pihak terlibat, seperti PTBA, operator pabrik DME Air Product, dan off-taker (pembeli) DME Pertamina dinilai akan sangat sulit mencapai tujuan bisnis mereka pada waktu bersamaan. 

Menurut IEEFA, perlu skenario khusus untuk mencapai tujuan tersebut. Seperti pengurangan risiko aset terlantar tambang PTBA, pengembalian investasi rendah risiko untuk membayar kembali pabrik DME yang dibangun Air Products, dan keuntungan penjualan DME bagi Pertamina. Skenario yang terakhir ini bisa terwujud jika DME dijual dengan harga lebih tinggi, tetapi itu berarti pemerintah perlu tetap memberikan subsidi agar DME dapat dijual dengan harga terjangkau kepada masyarakat. 

Pemerintah menyadari masalah keekonomian proyek menjadi batu sandungan bagi para pengusaha untuk memulai proyek hilirisasi batubara karena nilai investasinya yang tinggi, dan berisiko dalam jangka panjang. Pengusaha pun meminta pemerintah memberi kepastian dalam bentuk insentif fiskal dan nonfiskal. Tidak hanya pemberian subsidi, pemerintah juga menyatakan akan mencurahi berbagai insentif bagi pengusaha untuk mempercepat proses hilirisasi batubara. Seperti kemudahan tarif royalti, formulasi harga khusus batubara untuk hilirisasi batubara, masa berlaku IUP sesuai umur ekonomis proyek hilirisasi batubara, tax holiday, dan lainnya. Dan, pemerintah Indonesia mengabulkannya dengan menerbitkan regulasi yang mendorong investasi di proyek gasifikasi batubara.

Komitmen Penuh Pemerintah terhadap Batubara

Jika diturut sedari awal perencanaan, proyek gasifikasi batubara ialah justru salah satu wujud komitmen penuh pemerintah Indonesia kepada industri batubara. Melalui serangkaian perangkat regulasi, industri batubara dalam negeri mendapat keistimewaan berusaha. Dalam UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, hilirisasi batubara menjadi bagian strategi peningkatan nilai tambah batubara. 

Privilese ini semakin dilengkapi lewat aturan UU No. 10/2020 Tentang Cipta Kerja yang menyisipkan 1 pasal dalam UU Minerba, yakni Pasal 128 A yang memberi insentif royalti 0 persen bagi perusahaan batubara yang melakukan hilirisasi batubara. Dalam regulasi lain, gasifikasi batubara kemudian dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dan dikategorikan sebagai energi “baru”. 

Berbagai regulasi yang disiapkan ini terang menunjukkan bahwa melalui skenario hilirisasi batubara, pemerintah Indonesia bersikukuh memperpanjang masa pemanfaatan batubara di Indonesia. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, bahkan dengan gamblang menyatakan bahwa hilirisasi merupakan kunci untuk mencapai target investasi nasional pada 2022. Padahal, Indonesia menjadi negara pihak yang ikut menyatakan komitmennya untuk menjaga suhu bumi di bawah ambang batas 1,5 derajat Celsius. Tak hanya itu, dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai target nol emisi karbon pada 2060. Salah satu cara mencapai target tersebut yaitu dengan membiarkan batubara tetap berada di dalam tanah.

Sementara, Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menghitung, proyek gasifikasi batubara di Tanjung Enim saja akan menghasilkan laju emisi gas rumah kaca pada 2050 yang lebih besar sekitar 12 juta ton CO2-eq per tahun. 

Tahun ini, Indonesia memegang tugas sebagai Presidensi G20 yang mengangkat tema “Recover Together, Recover Stronger”. Transisi energi, menjadi salah satu dari 3 isu prioritas yang akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 November mendatang. Indonesia kemudian meluncurkan forum Transisi Energi G20 yang diharapkan bisa menjadi sarana untuk menghimpun komitmen kuat negara global untuk mengakselerasi transisi energi.

Upaya besar Indonesia ini harus diikuti dengan komitmen dan tindakan konkret di dalam negeri. Jika memang pemerintah Indonesia serius akan komitmen iklimnya, maka sudah seharusnya pemerintah segera melakukan reorientasi kebijakan pembangunan energi ke fase transisi energi. Dengan berbagai ulasan fakta di atas, proyek gasifikasi batubara jelas tidak layak dan strategis untuk masuk dalam program percepatan transisi energi Indonesia. 

Sudah saatnya Indonesia mengejar langkah dunia global yang bersungguh-sungguh meninggalkan industri batubara yang tinggi emisi dan mempercepat peralihan sumber energi  terbarukan yang bersih, berkelanjutan, dan berkeadilan bagi semua.

Tulisan ini telah terbit di Detik.com

Foto: Tiara Pertiwi/Trend Asia