Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 akhirnya diterbitkan. Pemerintah mengklaim RUPTL kali ini disebut sebagai RUPTL “hijau” karena porsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 51,6 persen atau 20,9 gigawatt (GW). 

Namun, apabila ditelusuri lebih lanjut, pembangkit dari energi fosil khususnya yang berasal dari batubara dan turunannya masih memiliki porsi yang cukup besar. Tercatat sekitar 13,8 GW berasal dari batubara dan 5,83 GW berasal dari gas dan diesel. Kondisi ini memunculkan pertanyaan, apakah RUPTL 2021-2030 dapat sejalan dengan komitmen Net Zero Indonesia pada 2060.

Peneliti Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mengatakan bahwa klaim RUPTL 2021-2030 berorientasi hijau tidak tepat, karena jelas memperlihatkan adanya rencana penambahan PLTU sebesar 13.8 GW, yaitu 43 persen dari kapasitas PLTU existing (31.9 GW), dalam kurun waktu 2021-2030. “Ke depannya, batubara masih memiliki porsi sebesar 59.4 persen dalam bauran energi pada 2030, atau lebih dari dua kali lipat dari porsi EBT (energi baru dan terbarukan) dengan 24.8 persen,” ujarnya dalam diskusi publik “Menggugat Keberadaan Batubara dalam RUPTL ‘Hijau’ 2021-2030, Selasa (19/10/2021). 

Menurutnya, hal ini tentu sangat bertentangan dengan rekomendasi dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk pemerintah berbagai negara agar menutup 80 persen PLTU yang sudah beroperasi pada 2030, dan mencapai bauran energi terbarukan sebesar 50 persen pada 2030, demi mencapai target 1.5 derajat Celcius.

Andri Prasetiyo, peneliti Trend Asia menyebutkan bahwa pemerintah akan melakukan penambahan kapasitas PLTU hingga 2029. “Jika hingga 2029 akan ada tambahan kapasitas PLTU baru sebesar 13,8 GW, maka akan ada penambahan 86,9 juta ton emisi tiap tahunnya,” jelasnya.

Tak hanya itu, pasca pernyataan komitmen net zero dan moratorium PLTU baru, pemerintah justru dalam RUPTL terbaru tetap melanjutkan proyek PLTU yang sebelumnya sempat diumumkan ke publik untuk dibatalkan. Pemerintah juga memutuskan akan melanjutkan pembangunan 25 proyek PLTU baru berskala kecil yang statusnya merupakan proyek-proyek terkendala, dengan alokasi dana yang berasal dari anggaran PLN. 

Dalam RUPTL 2021-2030, pemerintah tidak sedikit “memarkir” proyek-proyek pembangunan PLTU baru yang tidak perlu, khususnya yang berskala besar dengan total kapasitas mencapai 6050 MW, dengan dalih menyesuaikan kebutuhan sistem. Proyek ini paling banyak terdapat di Sumatera dan Jawa, yang masing-masing telah mengalami kelebihan pasokan mencapai  55 persen dan 50 persen. 

“Kebijakan energi semacam ini semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak serius untuk menjadi bagian dalam komitmen global untuk mengatasi persoalan krisis iklim. Jika batubara terus diberikan tempat dalam sistem energi kita, Indonesia akan menjadi negara yang berperan menggagalkan target Perjanjian Paris,” tegas Andri.

Selain itu, rencana moratorium PLTU batu bara yang baru akan dimulai pada 2023 dengan menyelesaikan pembangunan PLTU baru yang telah mendapat kontrak akan menimbulkan banyak risiko. Selain risiko beban keuangan karena adanya kondisi overcapacity di Sumatera dan Jawa, di mana 90 persen PLTU baru tersebut akan dibangun, terdapat pula risiko early-forced retirement dan aset terlantar (stranded asset) bagi PLTU baru tersebut dikarenakan mahalnya biaya operasional yang tidak dapat bersaing dengan energi terbarukan dan juga tuntutan global untuk mengakhiri PLTU agar mencapai target nol emisi. 

Untuk itu, pemerintah harus menemukan solusi bagi penambahan PLTU baru sebesar 13.8 GW tersebut agar Indonesia tidak terjebak di dalam carbon lock-in dan terlambat mencapai target nol emisi pada 2050 sesuai rekomendasi global. Di sisi lain, pemerintah harus mempersiapkan transisi energi secara matang dengan memprioritaskan pembangunan energi terbarukan melalui kepastian regulasi dan insentif lainnya untuk menciptakan iklim usaha yang baik.

“Dengan semakin terbatasnya sumber pendanaan bagi PLTU karena negara-negara sumber utama investasi batubara menyatakan tidak lagi membangun PLTU di luar negeri, maka dengan tetap membuat PLTU yang belum konstruksi ada di dalam RUPTL 2021, seperti Jambi 1 dan Jambi 2 berpotensi mengalami peningkatan biaya yang diteruskan ke konsumen,” kata Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat.  

Pembangunan PLTU mulut tambang di Pulau Sumatera meningkatkan laju kerusakan kehilangan keragaman hayati. Kawasan yang dilindungi saat ini belum cukup untuk menahan laju kehilangan keragaman hayati, dan keberadaan PLTU di Pulau Sumatera akan menimbulkan kehilangan habitat. Padahal kini sedang dipromosikan solusi berbasis alam untuk mitigasi iklim yang biayanya paling murah dibanding pengurangan teknologi buatan pengurangan penyerapan emisi. Pemerintah diharapkan tidak akan melanjutkan pembangunan PLTU yang belum dibangun kendati proyek tersebut ada dalam RUPTL, dan mengarahkan investasi ke energi terbarukan.

Kontak media: 

Adila Isfandiari, Peneliti Greenpeace Indonesia

Andri Prasetiyo, Peneliti Trend Asia

Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat