Jakarta, 29 April 2021-Tren divestasi global di sektor batubara terus meningkat. Hingga saat ini, lebih dari 100 institusi finansial global telah menarik diri dari pembiayaan pertambangan batubara maupun pembiayaan pembangkit energi listrik batubara (IEEFA, 2019). Hal ini terjadi karena tingginya tekanan terhadap kebijakan pendanaan lembaga finansial global agar berpartisipasi dalam mencegah dan mengatasi peningkatan frekuensi dan intensitas dampak krisis iklim. 

Fenomena pendanaan hijau (Green Financing) pun diproyeksikan akan semakin menguat. Namun, kesadaran global terkait urgensi pendanaan hijau ini tampaknya belum sampai di level nasional. Saat ini, belum ada langkah serius dari institusi finansial dalam negeri terkait kebijakan pendanaan hijau ini. Laporan Global Coal Exit List (2020) mencatat, bank dalam negeri mengguyurkan dana pinjaman sebesar 89  triliun rupiah ke proyek energi kotor batubara. Selama kurun waktu Oktober 2018-2020, Bank Mandiri, BNI, dan BRI menduduki posisi teratas sebagai lembaga keuangan nasional yang paling banyak membiayai perusahaan batubara (Urgewald, 2021). Bank Mandiri dan BNI bahkan menyatakan masih akan terus mendanai proyek PLTU batubara.

“Kesadaran masyarakat harus diperkuat. Kita boikot bank-bank yang membiayai batubara. Boikot itu civil right (hak sipil-red) kita. Perbankan itu uangnya dari masyarakat, jadi masyarakat  harus bersuara,” seru Faisal Basri, ekonom UI dalam diskusi Trend Asia Insight Hub bertajuk Green Finance: Tren Global dan Arah Lembaga Keuangan Nasional, beberapa waktu lalu.

Ia menambahkan, “Bank-bank ini dimiliki pemerintah, yang akan tunduk dan patuh kalau bosnya punya green policy. Sayangnya, pemerintah inilah sumber masalah karena justru memperluas ruang gerak industri batubara.”

Dalam acara diskusi yang sama, Ambarsari Dwi Cahyani, Sustainable Development Officer The Prakarsa juga menyatakan, “Pembiayaan pembangkit listrik batubara masih sangat dominan karena infrastruktur keuangan dan politiknya masih mendukung.”

Sebelumnya, DPR bersama pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dinilai hanya menguntungkan industri energi kotor batubara. Yakni UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang memberi perpanjangan izin otomatis kepada perusahaan tambang batubara raksasa yang kontraknya akan segera habis. Dan, Omnibus Law UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang memberi insentif royalti 0 persen pada perusahaan tambang minerba yang melakukan hilirisasi batubara. 

Selain itu, melalui PP No. 22 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari UU Cipta Kerja, pemerintah juga mengeluarkan aturan deklasifikasi limbah batubara fly ash bottom ash (FABA) dari limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) menjadi  non-limbah B3. Peraturan ini akan menghilangkan tanggung jawab perusahaan untuk mengelola limbahnya melalui proses pengujian ketat karena tidak adanya sanksi pidana. Tidak hanya itu, baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Keputusan Menteri No.66.K/HK.02/MEM.B/2021 yang menaikkan target kuota produksi batubara 2021 dari semula sebesar 550 ton menjadi 625 ton. 

Tidak seperti Indonesia, berbagai negara di dunia  justru memanfaatkan pandemi Covid-19 sebagai momentum untuk melakukan pemulihan hijau (green recovery) dan lekas beralih ke energi bersih terbarukan yang ramah lingkungan. Laporan World Energy Outlook 2020 oleh International Energy Agency juga menyatakan bahwa ketika ekonomi global kembali pulih seperti sebelum pandemi maka permintaan batubara global tidak akan kembali ke level sebelum pandemi. 

“Secara keseluruhan, pasar batubara itu sebetulnya sudah sulit. Untuk mencari pendanaan juga sudah sulit karena tren global sudah shifting (berpindah-red) ke investasi energi terbarukan,” ucap Binbin Mariana, Southeast Asia Energy Finance Analyst Market Forces.

Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia menambahkan, “Meski pemerintah bersikeras menjadikan batubara sebagai primadona, tetapi kekuatan pasar tidak bisa dilawan. Sebelum terlambat, sekarang adalah waktu yang tepat bagi bank-bank nasional ini mengalihkan investasinya ke energi bersih terbarukan. Lembaga finansial nasional akan mempertaruhkan reputasinya jika tetap memilih mendanai energi kotor batubara.”

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kebijakan pendanaan hijau akan membantu mempercepat proses transisi energi sebab rantai proses pembangunan energi kotor dapat dihalau sejak awal melalui tekanan pendanaan. Senada dengan Faisal Basri, Andri mengimbau para nasabah bank-bank nasional untuk segera mendesak bank-bank nasional agar melakukan investasi hijau.

Bank without people is nothing. Maka, kuasa dan kontrol akan kebijakan investasi itu ada di tangan nasabah. Saya secara personal mengajak anak muda sebagai target pasar bank-bank nasional ini untuk mencabut atau memboikot pelayanan mereka dan mengganti ke bank yang melaksanakan investasi hijau,” tutupnya.

###

Photo by Monstera