Jumat, 6 Januari 2023-Para pelaku industri batubara di tanah air kembali mendapat perlakuan istimewa. Terbaru, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang di dalamnya mengatur pemberian royalti atau iuran produksi sebesar 0 persen bagi perusahaan batubara yang melakukan produk hilirisasi antara lain berupa Dimethyl Ether (DME). 

Andri Prasetiyo, Peneliti & Manajer Program Trend Asia menilai kebijakan Perppu Cipta Kerja yang tiba-tiba dikeluarkan pemerintah di penghujung akhir tahun 2022 merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintahan Presiden Jokowi dalam upaya transisi energi.

“Sebagai negara yang menyepakati Perjanjian Paris dan baru saja menyatakan keseriusan untuk melakukan transisi menuju energi bersih terbarukan di forum COP27 dan G20, ini adalah langkah kontraproduktif. Pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya fokus mempersiapkan kerangka kebijakan yang meningkatkan pengembangan energi terbarukan, alih-alih terus mendorong penggunaan energi batubara melalui pemanfaatan produk turunannya,” ujarnya.

Industri batubara secara global dinilai mulai memasuki masa senja, karena tekanan penguatan komitmen iklim global dan tren pendanaan hijau yang semakin meningkat (IEA, 2022). Perppu Cipta Kerja secara substantif lantas berusaha mengamankan pemain batubara dalam negeri dengan meningkatkan serapan pasar domestik, sebagai antisipasi ketika batubara tidak diminati di luar negeri.

“Jika diturut secara kronologis, bukan sekali ini pemain batubara besar tanah air mendapat keistimewaan berbisnis. Pemerintah telah memberi karpet merah untuk praktik hilirisasi batubara lewat serangkaian pembuatan regulasi,” tutur Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia.

Wacana hilirisasi batubara telah masuk dalam pembahasan RUU Minerba hingga sah menjadi UU Minerba. Substansi hilirisasi batubara kemudian masuk juga dalam UU Cipta Kerja. Pada November 2021, MK menetapkan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Bukan memperbaiki, Presiden Joko Widodo justru menggunakan hak prerogatifnya-di tengah situasi yang tidak darurat, dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Kebijakan ini dibuat untuk menjustifikasi nilai keekonomian proyek hilirisasi batubara. 

Tidak hanya itu, pemerintah juga sedang membuat regulasi turunan lainnya. Seperti Rancangan Keputusan Menteri ESDM tentang harga khusus batubara yang digunakan untuk hilirisasi, dan Rancangan Peraturan Presiden tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga DME. 

Berbagai insentif dan subsidi produk akhir batubara dalam berbagai kebijakan ini jelas diapresiasi pelaku industri batubara. Mengutip pernyataan Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara, dalam wawancaranya dengan Kontan (2/1), “… dukungan konsistensi regulasi merupakan faktor mutlak.” Selain meminta kepastian regulasi dan insentif fiskal-nonfiskal, pengusaha batubara selanjutnya juga meminta jaminan ketersediaan pasar untuk produk hilirisasi batubara kepada pemerintah. 

Sekian banyak dukungan insentif-subsidi itu, kata Andri, seharusnya bisa dialihkan untuk membangun ekosistem bisnis energi terbarukan. Mengingat situasi terkini, imbuhnya, bauran energi terbarukan Indonesia juga masih mencapai angka sekitar 11 persen dari target 23 persen pada 2025. Pun merujuk studi Trend Asia (2022), tingkat pertambahan energi terbarukan rata-rata per tahun sangat kecil hanya 0,8 persen.

“Kami memiliki kekhawatiran besar dan mewanti-wanti soal proyek hilirisasi ini sangat mahal dan tidak seperti dicita-citakan di awal. Sepanjang prosesnya, gasifikasi batubara banyak meminta kepastian insentif dan subsidi. Selain itu, sumber pembangunannya dari utang, dan berpotensi menjadi stranded assets (aset mangkrak). Jelas akan merugikan publik terlalu besar.” 

“Segala paket kebijakan yang begitu besar disiapkan untuk mendukung keberlangsungan energi kotor batubara, seharusnya bisa direorientasi untuk menciptakan iklim investasi energi terbarukan yang saat ini masih sangat rendah,” tutur Andri. 

Saat ini, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menjadi perusahaan batubara pertama yang telah mendapat persetujuan pemerintah untuk melakukan hilirisasi. PTBA bersama dua stakeholder lainnya, PT Pertamina, dan Air Products & Chemical akan mengolah batubara menjadi DME. Proyek yang mendapat status Proyek Strategis Nasional (PSN) ini telah mulai dibangun sejak Januari 2022 di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan. 

Proyek yang mendapat status Proyek Strategis Nasional (PSN) ini diklaim pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor liquid petroleum gas (LPG).

Total investasi proyek PTBA ini mencapai Rp30 triliun. Namun, alih-alih untung, proyek ini dinilai hanya akan meraup kerugian. Studi IEEFA mengungkap, proyek ini tidak layak dijalankan karena nilai keekonomian proyek yang tidak masuk akal.

Hasil analisis dalam studi IEEFA menunjukkan, proyek gasifikasi batubara ini tidak hanya akan menimbulkan utang baru sebesar 30 triliun rupiah, tetapi juga akan mengakibatkan kerugian negara sebesar 5,43 triliun rupiah per tahunnya. Nilai kerugian itu jauh lebih besar dibandingkan nilai penghematan impor LPG sebesar setara 273,7 miliar rupiah.

Selain kerugian ekonomi, risiko lingkungan juga tak terhindarkan. Studi AEER (2020) menemukan bahwa proyek gasifikasi batubara ini akan menghasilkan emisi lima kali lebih banyak, 4,26 juta ton CO2-eq per tahun, dibandingkan proses pembuatan LPG dengan kapasitas sama, 1,4 juta ton per tahun. 

***

Baca selengkapnya insight Trend Asia terkait proyek gasifikasi batubara di sini.

Foto: Tiara Pertiwi/Trend Asia