BBC Indonesia-Waktu menunjukkan tepat pukul 23.00 ketika lampu-lampu di Desa Long Peleban padam. Seketika, satu-satunya desa tertinggal di Kabupaten Bulungan ini menjadi gelap gulita.

Itu menandakan genset komunal milik desa telah selesai menjalankan tugasnya pada malam itu. Sebagai satu-satunya sumber listrik warga, genset ini hanya beroperasi setiap pukul 18.00 hingga 23.00.

Setidaknya 1.000 liter bahan bakar solar dihabiskan per bulan untuk genset tersebut. Sebagian besar dibeli warga menggunakan bantuan dari perusahaan kayu yang beroperasi di sekitar desa. Selebihnya, warga harus urunan Rp35.000 per keluarga per bulan demi menerangi sebagian malam mereka.

Ketika desa-desa lain di sepanjang Sungai Kayan terus berkembang, desa ini belum juga dialiri listrik dan tidak terjangkau jaringan telekomunikasi.

Salah satu pemicunya adalah lokasinya yang begitu terpencil dan sulit dijangkau.

Satu-satunya akses yang memungkinkan menuju desa adalah dengan menyusuri Sungai Kayan selama paling tidak empat jam menggunakan speedboat dari Tanjung Selor.

Perjalanan menjadi lebih berbahaya ketika cuaca sedang buruk atau arus sungai sedang deras. Ditambah lagi ada jeram di sebagian titik di Sungai Kayan.

“Sedih, kami ini di pelosok sekali, sangat tertinggal informasi dan perkembangan apapun sangat lambat di desa kami,” kata Sekretaris Desa Long Peleban, Patra Marsoni kepada BBC News Indonesia.

“Kami merasa malu dengan pembangunan dan perkembangan desa-desa lain. Sejak ada wacana PLTA, kami bisa membangun tapi dibatasi, sampai-sampai status desa kami satu-satunya yang tertinggal di Kabupaten Bulungan,” tutur Patra.

Masyarakat pernah mengajukan agar di desa mereka dibangun pembangkit listrik tenaga air berskala mikro. Namun permohonan itu tidak kunjung terwujud.

Mereka justru dibuat gelisah dengan rencana pembangunan megaproyek PLTA berdaya 9.000 megawatt di Sungai Kayan.

Tujuan dari proyek itu bukan untuk menyediakan listrik bagi warga, melainkan untuk mengaliri proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) yang digadang-gadang pemerintah akan menjadi kawasan industri hijau “terbesar di dunia”.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga pernah menyatakan bahwa PLTA Kayan akan menjadi sumber energi bersih bagi Ibu Kota Nusantara.

Meski, peneliti dari Trend Asia Zakki Amali menilai itu tidak realistis karena jaraknya yang jauh dengan IKN akan membutuhkan transmisi berbiaya mahal.

Di tengah ambisi pemerintah itu, masyarakat Desa Long Peleban akan menjadi pihak yang akan paling berkorban.

Mereka akan kehilangan desa mereka, yang berarti juga kehilangan sumber-sumber penghidupan, peninggalan nenek moyang, serta tradisi bermasyarakat.

Para pakar dan pegiat lingkungan pun telah mengingatkan dampak sosial dan lingkungan yang luas dari “proyek hijau” ini.

Baca selengkapnya…

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia