Mongabay-Butiran-butiran halus berwarna hitam menempel di dinding, kaca jendela, lantai, dan meja belajar di  SMP Negeri 290 Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Jakarta.  Kelas jadi terkesan kumuh dan kotor padahal petugas kebersihan setiap hari membersihkan area sekolah.

Bahkan, dalam sehari, mereka lebih empat kali membersihkan sekolah tetapi debu selalu datang.  Tak hanya SMP, di sekolah satu atap itu juga ada SDN 05, dan TKN 02. Sekolah mereka berada dekat tempat bongkar muat batubara.

Sebagian besar dari para pelajar ini nampak gunakan masker sekali pakai. Walaupun sejak Mei 2022,  pemerintah sudah mengumumkan masker tidak lagi wajib di luar ruangan sebagai pelindung dari COVID-19 tetapi debu batubara dari fasilitas penyimpanan terdekat menghantui tempat belajar mereka.  Masker tak lepas demi keamanan dan kesehatan.

Yolanda,  siswi SMP ini sudah beberapa minggu ini pakai masker lagi. “Kemarin-kemarin sudah bersih. Gak ada debu lagi. Jadi, sudah berani tidak pakai masker. Tapi nggak tahu sudah dua mingguan ini debu muncul lagi,” katanya di sela istirahat sekolah, pertengahan Januari lalu.

Debu dari batubara yang jadi bahan bakar pembangkit listrik itu selain membuat kelas jadi kumuh, juga mengotori seragam sekolah.  Efeknya,  kulit jadi gatal. Seragam sekolah, katanya, harus sering dicuci.

Pernapasannya pun terganggu debu ini. Dia berharap,  debu batubara tidak muncul hingga proses belajar nyaman dan aman.

Kemunculan debu batubara di sekolah itu menjadi kekhawatiran bagi Ahmad Yulfi Ardi. Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 290 Marunda ini was-was dampak buruk bagi kesehatan jangka panjang mereka terutama sekitar 500-an siswa di sana.

Dari berbagai  referensi yang dia baca, debu batubara ini bisa menyebabkan masalah kesehatan, seperti gangguan pernapasan pneumokonomis, asbestosis, dan silikosis yaitu bentuk penyakit paru. Selain itu, debu batubara juga bisa meningkatkan risiko kematian lebih tinggi seperti penyakit jantung, dan ginjal kronis.

Apalagi, katanya, posisi sekolah berhadapan langsung dengan tempat bongkar muat batubara, berjarak sekitar 600 meter.

Ardi heran, meskipun Pemerintah Jakarta sudah memberikan sanksi kepada  PT Karya Citra Nusantara (KCN)  atas pencemaran itu tetapi debu batubara masih meghujani sekolah  mereka.

“Selain perih di mata, debu batubara ini baunya juga tidak enak. Seperti batu dibakar,” keluh pria asal Bekasi, Jawa Barat ini.

Pemukiman tercemar, beragam penyakit muncul

Bukan hanya sekolah, debu batubara itu juga mencemari rumah susun sewa (rusunawa) Marunda. Warga mengalami berbagai masalah kesehatan, seperti gatal-gatal hingga seluruh tubuh, sakit mata, batuk-batuk, sakit kepala dan masalah pencernaan.

Berdasarkan pemeriksaan Puskesmas Cilincing selama tiga hari,  yaitu Senin-Rabu (9-11 Januari 2023), setidaknya terdapat 63 warga mengalami gatal-gatal, 16 orang mengalami batuk pilek, delapan orang darah tinggi, tiga orang sakit mata. Lalu, tiga orang badan sakit, dua sakit campak, dan dua orang gangguan pencernaan.

Melalui keterangan tertulis, Cecep Supriyadi, Biro Media dan Informasi Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM) mengatakan, sudah berulang kali mendesak Dinas Lingkungan Hidup Jakarta dan Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara dan secepatnya menginvestigasi Pelabuhan Marunda dan Kawasan Berikat Nusantara.

Kalau terus terjadi, warga  hidup tak aman karena kesehatan terancam. Bukan hanya orang dewasa, katanya, gatal-gatal kulit diduga dampak debu batubara itu juga menyerang anak-anak.

Menurut Cecep, pencemaran debu batubara berulang di Marunda pasca pencabutan izin lingkungan dari KCN ini menunjukkan, pemerintah abai hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan sehat.  Dia bilang, fungsi pengawasan lingkungan hidup oleh pemerintah tak berjalan.

FRMR Rusunawa Marunda yang tergabung dalam Tim Advokasi Lawan Batubara pun mendesak Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta dan Sudin Lingkungan Hidup Jakarta Utara untuk verifikasi lapangan.

Forum ini juga mendesak, pemerintah berikan informasi hasil pemantauan atau penelitian berbasis data ilmiah yang akuntabel dan transparan kepada warga Marunda. Selain itu, juga memberikan jaminan ketidakberulangan dan melakukan berbagai upaya pemantauan, pengawasan serta pencegahan atas pencemaran lingkungan dari batubara di Marunda.

Yusiono A. Supalal, Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta mengatakan,  masih pemetaan sumber-sumber lain yang berpotensi menyebabkan pencemaran udara di Marunda.

“Tidak hanya merujuk pada satu atau dua kegiatan usaha saja. Ini akan lebih makro untuk mencari sumber pencemarannya. Kalau sudah ketemu baru diberi sanksi sesuai Undang-undang,” katanya dalam diskusi bertajuk Mengawal Kebijakan Udar bersih Jakarta, 25 Januari lalu.

Rio Tarigan dari Trend Asia menilai, pencemaran batubara di Marunda itu satu dari sekian banyak contoh kalau menindak satu perusahaan tidak cukup.

Baca selengkapnya…

Foto: Adiw/Bersihkan Indonesia