Jakarta, 23 Desember 2022-​​Selama 10 bulan pertama pada 2022, Indonesia mengalami 2.654 bencana alam yang terkait dengan hidrometeorologi dan iklim dengan dominasi kejadian banjir, longsor dan cuaca ekstrem [1]. Pemanasan global yang menyebabkan bencana iklim ini disumbang oleh sektor penggunaan bahan bakar fosil dan batubara selain hutan dan penggunaan lahan. Bagaimana praktik kebijakan Presiden Joko Widodo dalam sektor energi dan di sisi lain komitmen iklim global? Berikut adalah rangkuman Trend Asia terhadap iklim dan transisi energi di Indonesia selama 2022.

Krisis pasokan batubara yang terjadi di pembuka tahun 2022, menjadikan pemerintah mengawali tahun ini dengan kebijakan pelarangan ekspor batubara selama sebelas hari pada bulan Januari. Krisis batubara untuk kebutuhan PLTU domestik ini disebabkan oleh produsen batubara yang mangkir dari kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) ketika harga batubara melambung. Namun, kebijakan yang semula diberlakukan selama satu bulan, sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022, itu akhirnya hanya berlangsung 5 hari dan kembali dibuka pada 11 Januari 2022, setelah Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, membatalkan aturan itu [2].

Krisis pasokan batubara awal tahun 2022 ini seharusnya membuat pemerintah sadar bahwa ketergantungan terhadap energi kotor akan terus membawa Indonesia terhadap ancaman krisis energi akibat fluktuasi harga global. Namun, kebijakan pemerintah pada 2022 justru sebaliknya, praktik transisi energi di Indonesia berjalan mundur. Pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) misalnya, yang seharusnya menjadi langkah transisi ke energi bersih dan berkelanjutan, justru banyak memuat poin yang mendukung solusi palsu dan cenderung, seperti pemberian insentif termasuk di antaranya proyek gasifikasi batubara.

Selain itu, pada September 2022, Kementerian ESDM justru memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada PT Adaro tanpa proses evaluasi yang jelas. Adaro merupakan perusahaan batubara terbesar kedua di Indonesia yang memiliki rekam jejak lingkungan dan sosial yang buruk, khususnya bagi warga Kalimantan Selatan. Ekspansi pertambangan dari PT Adaro telah menggusur paksa warga Desa Wonorejo. Warga yang tak mau menjual tanahnya pun seringkali diintimidasi oleh aparat keamanan [3].

Dengan diberikannya IUPK untuk PT Adaro ini, tentu membuat kita mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap transisi energi. Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk ke dalam sepuluh besar penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia yang didominasi dari sektor energi. Penggunaan energi kotor batubara merupakan salah satu penyebab kenaikan suhu global yang pada tahun 2022 semakin terasa dampaknya di seluruh dunia, contoh nyata yakni bencana gelombang panas (heatwave) yang terjadi pada pertengahan tahun 2022 di wilayah Eropa dan Amerika. Meski heatwaves tak terjadi di Indonesia, tapi cuaca ekstrem di Indonesia juga terjadi di pertengahan 2022 [4].

Dikeluarkannya kebijakan kontroversial PP No. 26 Tahun 2022 yang memuat pembebasan royalti sebesar 0% bagi perusahaan tambang, seakan-akan memberikan “peningkatan nilai tambah” dan memihak pada kepentingan industri ekstraktif. Kebijakan ini membuat perusahaan tambang ramai-ramai melakukan proyek hilirisasi, seperti proyek gasifikasi batubara yang ditargetkan secara masif oleh para tambang batubara raksasa dalam negeri seperti PT Bukit Asam Tbk, Bumi Group, PT Indika Energy Tbk, dan PT Adaro Energy Tbk. Proyek gasifikasi batubara ini kemudian semakin kuat diakomodir oleh pemerintah lewat RUU EBET.

Hal lain yang menunjukkan kemunduran transisi energi di Indonesia yakni rencana pembangunan 13,5 gigawatt PLTU baru yang ada dalam RUPTL 2021-2030 yang tertulis dalam Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022. Dalam Perpres tersebut juga tidak mengatur tenggat pembatasan pembangunan PLTU baru dan masih diperbolehkannya penambahan PLTU untuk penggunaan industri. Rencana pembangunan PLTU baru ini akan mempersulit ruang bagi pembangunan energi bersih karena keberadaan PLTU baru akan menambah oversupply listrik, khususnya di Jawa-Bali dan Sumatera. Pembangunan PLTU di tengah oversupply listrik tentu akan menambah beban keuangan negara karena skema take or pay, sehingga PLN harus membayar kapasitas listrik yang ada, meskipun listrik itu sudah tidak dipakai dan tidak diperlukan [5].

Beban keuangan negara yang ditimbulkan oleh PLTU tidak hanya akibat skema take or pay, tetapi juga potensi beban keuangan negara akibat bencana. Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Pada tahun 2021, bencana di Indonesia didominasi oleh gempa dan cuaca ekstrem, dan pada 2022 ini, kejadian gempa bumi terjadi berulang kali dengan kekuatan yang besar. Cuaca ekstrem merupakan salah satu akibat dari penggunaan PLTU [6]. Selain itu, pembangunan PLTU yang masih terus dilakukan tentu berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya dan memicu kerugian negara. Kejadian gempa, tsunami, dan likuifaksi tahun 2018 yang meluluhlantakan PLTU Panau, Sulawesi Tengah dan mengakibatkan kerusakan sistem ketenagalistrikan, serta mengakibatkan biaya bencana yang besar, seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah agar berhenti membangun PLTU dan beralih ke energi bersih, terbarukan, adil, dan berkelanjutan.

Di penutup 2022, jalan bagi oligarki ekstraktif pun semakin dipermudah. Setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan proses Judicial Review UU Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah dan DPR memperkuat posisi oligarki ekstraktif dengan mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-undang predator itu semakin memperburuk posisi rakyat yang menolak keberadaan industri ekstraktif di wilayahnya. Pasal 162 yang terdapat dalam UU Minerba memudahkan para pebisnis tambang memenjarakan masyarakat karena dianggap menghalangi pertambangan. Ini diperkuat dengan keberadaan pasal anti demokrasi dalam KUHP yang menjadikan masyarakat sulit menyampaikan kritik ke Presiden maupun lembaga negara. 

Saat ini, upaya kriminalisasi terhadap warga penolak tambang telah berulang kali terjadi. Di Pulau Wawonii misalnya kegiatan pertambangan nikel PT GKP yang diduga ilegal tak hanya mengancam keselamatan lingkungan, tapi juga memicu intimidasi warga oleh aparat kepolisian. Selain Pulau Wawonii, ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat penolak tambang emas di Pulau Sangihe, pulau kecil di Sulawesi Utara. Selain upaya kriminalisasi kepada Robison Saul, nelayan penolak tambang, upaya intimidasi juga dialami oleh 14 warga lainnya dari Bawone dan Salurang. Di Lombok Timur, warga yang melawan keberadaan PLTU diintimidasi oleh keberadaan TNI yang membantu melakukan penggusuran warga.

Sebelum adanya KUHP, demokrasi di Indonesia telah berjalan mundur. Dalam perhelatan G20 yang digelar di Bali misalnya, pemerintah melarang kegiatan masyarakat sipil di Bali. Pemerintah menggunakan aparat negara untuk mengintimidasi dan membubarkan berbagai macam diskusi yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil, termasuk diskusi yang diselenggarakan oleh masyarakat terdampak industri ekstraktif yang dihelat di Universitas Udayana.

Keberadaan KUHP juga semakin melanggengkan langkah para pebisnis batubara yang hendak melakukan praktik korupsi karena berkurangnya sanksi pidana dalam KUHP. Sebagai contoh, kasus Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang ada di Kalimantan Timur marak terjadi. Bahkan kasus ini melibatkan aparat kepolisian dan laporan warga juga tidak diproses oleh pihak kepolisian. Fakta itu menguatkan bahwa praktik industri ekstraktif telah terbukti hanya menguntungkan segelintir orang karena pada kenyataannya, PLTU justru menghancurkan kehidupan sosial dan ekonomi warga di sekitarnya. 

Co-firing Biomassa dan Solusi Palsu Lainnya

Di tengah kecanduan kronis batubara, mengejar target angka bauran energi terbarukan dan mengurangi emisi tentu bukan tugas mudah. Transisi menuju energi bersih juga dipersulit oleh kondisi oversupply jaringan listrik Jawa-Madura-Bali. Sebelum energi bersih bisa masuk, pemensiunan dini PLTU batubara harus menjadi prioritas utama pemerintah.

Namun, pemerintah malah terdistraksi dengan solusi-solusi palsu yang lebih melayani kepentingan-kepentingan oligarki batubara. Berbagai strategi seperti Carbon Capture, Utilisation and Storage (CCUS), co-firing ammonia, dan terutama co-firing biomassa, didukung pemerintah sebagai metode mengurangi emisi dan menambah bauran energi terbarukan. Namun, semua strategi ini rawan digunakan untuk memperpanjang usia PLTU dengan mempermaknya dengan embel-embel “hijau”.

Di antara solusi tersebut, co-firing biomassa tampaknya mendapatkan perhatian lebih pemerintah. Co-firing biomassa pun dijadikan bahan jualan oleh pemerintah dalam perhelatan G20 yang digelar di Bali pada November 2022 lalu. Praktik co-firing biomassa dilakukan dengan cara mencampur 1-10% biomassa, seperti pelet kayu (wood pellet), sabut kelapa, atau sekam padi, sebagai bahan bakar oplosan di PLTU batubara. Per Mei 2022, praktik co-firing ini telah dilakukan di 33 lokasi PLTU. Pemerintah berencana memperluas praktik ini hingga ke 52 lokasi PLTU di seluruh Indonesia per 2025 [7]. Saat ini, mayoritas PLTU yang melakukan co-firing beroperasi dengan porsi oplosan biomassa 1% hingga 5%. Namun, PLN menyatakan rencana untuk mengembangkan praktik co-firing 10% di seluruh PLTU di Indonesia. Apa implikasinya?

Pemerintah kerap menjual praktik co-firing biomassa sebagai strategi murah yang bersih dan netral karbon. Mereka menekankan aspek pemanfaatan limbah yang dijanjikan akan membantu ekonomi rakyat. Namun, semua klaim ini bermasalah.

Dalam laporan bertajuk “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi1, Trend Asia menghitung bahwa untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar co-firing biomassa 10% yang direncanakan pemerintah, akan dibutuhkan pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) seluas hingga 2 juta hektare, atau setara 35 kali luas Provinsi Jakarta atau 3.270.000 lapangan sepak bola [8].

Melihat rekam jejak pemerintah yang kerap melakukan pembebasan lahan secara tidak transparan dan represif, pembebasan lahan semasif ini berpotensi besar mendisrupsi kehidupan masyarakat, khususnya kelompok masyarakat marginal. Selain itu, rekam jejak pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI) selama ini kerap kali dilakukan dengan cara membuka hutan alam. Jika praktik serupa dilakukan pada HTE, ada kemungkinan deforestasi besar-besaran. Ironisnya, hal ini akan bertolak belakang dengan misi utama transisi energi untuk melawan perubahan iklim.

Apalagi, klaim netral karbon pemerintah tentang praktik co-firing dari kebun kayu juga banyak ditentang. Laporan Trend Asia bertajuk “Adu Klaim Mengurangi Emisi”, mengungkapkan bahwa jika dihitung secara menyeluruh dari hulu ke hilir, emisi dari praktik ini akan berujung pada utang karbon yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dilunasi [9].

Daripada memilih strategi yang menjaga kepentingan oligarki ekstraktif, pemerintah harusnya bersikap lebih tegas dalam transisi.

Upaya Transisi Energi Berkelanjutan dan JETP

Praktik baik penggunaan energi terbarukan sebenarnya telah dilakukan di skala daerah, seperti Desa Batu Sanggan, Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau yang menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) yang bergantung terhadap debit air sungai Sanggan. Akan tetapi, PLTMh yang sebenarnya telah berdiri sejak tahun 2008 itu belum berjalan dengan optimal sebab kerap terjadi kerusakan pada sistem pembangkit, kebocoran bendungan, hingga faktor cuaca yang memengaruhi banyak atau tidaknya suplai air. Karena itu, aliran listrik yang mengalir di sekitar 100 rumah warga sering naik-turun, kadang masyarakat bisa menikmati aliran listrik 24 jam ketika musim hujan, tetapi situasi berbalik ketika debit air menjadi dangkal. PLTMh itu berkapasitas 30kW, tetapi daya yang dialirkan hanya mencapai 25kW [10].

Panjangnya napas PLTMh juga bergantung pada dana iuran masyarakat untuk memperbaiki kerusakan sistem pembangkit, tetapi warga tetap membutuhkan bantuan dana dari pemerintah sebesar Rp200-250 juta untuk perbaikan bendungan. Namun, masuknya PLN ke desa tersebut justru mengancam keberadaan PLTMh milik warga karena jaringan tiang-tiang PLN yang ditancapkan di 12 desa di Kampar Kiri Hulu.  

Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan sampai 417,8 GW, yang hanya baru termanfaatkan tidak lebih dari 2,5%. Potensi tertinggi ditemukan dari energi surya yang mencapai 207,8 GW disusul dengan tenaga air sungai sebesar 75 GW, yang saat ini hanya dimanfaatkan masing-masing sebesar 0,07% dan 8,2%. Pada bulan Agustus tahun ini, PLN melaporkan capaian bauran EBT pada pembangkit listrik nasional hanya mencapai 12,6% dari target Nationally Determined Contribution (NDC) bauran EBT sebesar 23% pada 2025. Pada RUPTL 2021-2030 disebutkan bahwa PLN menetapkan kenaikan 51,6% pembangkit listrik EBT yang berasal dari tenaga air sebesar 10,4 GW, De-Dieselisasi (Konversi) Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan beberapa energi lain. Sejumlah pembangunan dari sumber EBT ini memicu penolakan dari warga yang tidak hanya dibangun secara tidak adil, tetapi juga menghasilkan kerusakan lingkungan ketika proses eksplorasi, misalnya pembangkit panas bumi yang kapasitasnya mencapai 3,4GW [11].

Menjelang perhelatan G20 di Bali, pemerintah dan PLN juga sangat ambisius membangun 36 unit pembangkit PLTS berkapasitas 869 KWp. Empat hari sebelum puncak acara KTT G20 di Nusa Dua, Bali, PLTS terapung berkapasitas 100 KWp diresmikan November silam. Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, PLTS tersebut menjadi showcase G20 untuk menunjukkan Indonesia mampu membangun PLTS dengan sumber daya yang ada dalam negeri. Akan tetapi, pembangunan dan rencana pembangunan pembangkit listrik tersebut membutuhkan dana yang tak sedikit serta terkesan hanya gimmick pemerintah karena tidak mempertimbangkan adanya oversupply pembangkit listrik Jawa-Bali [12].

Upaya percepatan transisi energi didukung dengan mekanisme Energy Transition Mechanism (ETM) yang resmi diumumkan pemerintah dalam perhelatan G20 di Bali, November lalu. Salah satu skema pendanaan berupa Just Transition Energy Partnership (JETP) yang menggelontorkan uang sebesar US$20 miliar (US$10 miliar dari negara G7 dan sisanya dari sektor swasta) dalam jangka waktu tiga sampai lima tahun ke depan. Perjanjian tersebut memfasilitasi untuk pemensiunan dini dan penghentian konstruksi pembangkit listrik tenaga batubara, mengurangi emisi sektor energi pada 2030, dan mencapai nol emisi pada 2050. Pendanaan JETP ini berbentuk hibah, pinjaman lunak, pinjaman tarif pasar, guarantees, dan pendanaan swasta. 

Namun, perlu digarisbawahi pemerintah masih kontradiktif dalam komitmen iklimnya karena masih membangun 13,5 GW PLTU batubara di luar PLTU captive untuk industri. Selain itu, dukungan pendanaan untuk akselerasi transisi energi kepada negara berkembang seharusnya bukan berupa pinjaman yang berpotensi menjerat Indonesia dalam lilitan utang, sementara JETP memiliki risiko tersebut. Berkaca pada pendanaan JETP Afrika Selatan yang disepakati pada COP26 di Glasgow, Skotlandia tahun lalu, ada dominasi utang atau pinjaman lunak dan komersial, sedangkan porsi hibah kurang dari 3% [13]. Porsi hibah yang kecil tak cukup untuk membantu Indonesia keluar dari ketergantungan batubara.

Ancaman korupsi juga terus menghantui, Bank Dunia dalam laporan Elite Capture of Foreign Aid, Evidence From Offshore Bank Account menyatakan, diperkirakan 7,5% bantuan asing ke negara penerima bantuan diambil oleh elite koruptor. Dengan demikian, pendanaan JETP harus dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif agar Indonesia mencapai transisi energi yang berkeadilan serta berkelanjutan [14].

Perjuangan warga jadi harapan transisi energi

Meski demikian, ada kemenangan kecil dari warga yang membawa harapan untuk percepatan proses transisi energi. Sebagai contoh yakni kemenangan warga dalam kampanye #BersihkanBankmu yang berhasil mendesak Bank BRI menjadi bank nasional pertama yang terang-terangan menyatakan akan menghentikan pembiayaan batubara. Inisiatif itu menjadi langkah yang perlu diikuti aktor perbankan lainnya untuk memiliki komitmen pendanaan bebas batubara. Akan tetapi, BRI belum menunjukkan komitmen pasti untuk menindaklanjuti pernyataannya yang tak lagi mendanai energi kotor. Perlu menjadi catatan juga, pada Juli 2020 BRI berperan dalam pembangunan beberapa PLTU batubara, seperti PLTU Jawa 9 dan 10. Pada April 2021, BRI juga terlibat dalam pemberian kredit kepada PT Adaro Energy Indonesia Tbk sebanyak 400 juta dollar [15]. 

Harapan lain juga dibawa oleh warga Indramayu karena berhasil mendesak pemerintah Jepang untuk mundur dari pendanaan proyek pembangunan PLTU Indramayu 2. Tak hanya itu, masyarakat Cirebon juga memenangkan gugatan pembatalan izin lingkungan pembangunan PLTU Tanjung Jati A berkapasitas 2x660MW serta fasilitas penunjangnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. 

Kemenangan warga Cirebon atas pembatalan izin lingkungan pembangunan PLTU Tanjung Jati A tersebut semakin menguatkan bahwa saat ini telah terjadi perubahan iklim dan pemerintah harus mengambil langkah penting untuk melakukan pencegahan. Transisi energi menuju energi bersih, terbarukan, adil, dan berkelanjutan sudah harus segera dilakukan.

Catatan Editorial:

[1] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/10/05/ada-2654-bencana-alam-terjadi-di-ri-hingga-awal-oktober-2022-banjir-terbanyak

[2] https://trendasia.org/ancaman-krisis-listrik-terus-berulang-larangan-ekspor-batubara-tidak-cukup-jadi-solusi-pemerintah-indonesia-harus-segera-percepat-transisi-energi/

[3] https://projectmultatuli.org/en/for-the-sake-of-coal-life-disappears-from-wonorejo-village/

[4] https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6074815/fenomena-cuaca-panas-di-indonesia-bakal-sampai-kapan-ya-simak-penjelasannya 

[5] https://trendasia.org/momentum-transisi-energi-di-tengah-windfall-profit-batu-bara/

[6] https://bnpb.go.id/infografis/kejadian-bencana-tahun-2021

[7] https://trendasia.org/co-firing-biomassa-agenda-pembalakan-hutan-dibalut-transisi-energi-bersih/

[8] “Riset “Membajak Transisi Energi” Seri 2: Ancaman Deforestasi Tanaman Energi.” 2022. Trend Asia

[9] “Riset “Membajak Transisi Energi” Seri 1: Adu Klaim Menurunkan Emisi.” 2022. Trend Asia

[10]  Listrik Mikro Hidro di Batu Sanggan: Meski Biarpet, tetap Jadi Andalan Warga

[11] Bauran EBT di Pembangkit Listrik PLN Capai 12,6% Hingga Agustus 2022

[12] https://finance.detik.com/energi/d-5961669/dukung-g20-pln-bangun-36-plts-atap-di-bali

[13] https://www.climatechangenews.com/2022/11/04/south-africa-pitches-84bn-plan-to-shift-from-coal-to-clean-energy/ 

[14] Skema Pendanaan dan Implementasi Transisi Energi Harus Adil dan Berkelanjutan.

[15] https://katadata.co.id/syahrizalsidik/finansial/6299a95137b39/bri-batasi-penyaluran-kredit-ke-sektor-batu-bara

Trend Asia adalah organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia.

Kenali kami lebih jauh dengan mengunjungi situs https://trendasia.org/

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia