Jerman lirik batu bara di tengah berkurangnya pasokan gas dan minyak Rusia. Indonesia seolah dapat durian runtuh. Aktivis ingatkan mahalnya ongkos lingkungan yang harus dibayar.
Deutsche Welle-Jerman saat ini sedang menghadapi situasi pelik untuk memenuhi pasokan energi dalam negerinya, utamanya menjelang musim dingin 2022. Berkurangnya pasokan gas dari Rusia memaksa Jerman kembali melirik batu bara.
Bahan bakar fosil nan tidak terbarukan itu digadang sebagai solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan energi Jerman. Kepada Indonesia, pemerintah Jerman pun telah secara resmi mengajukan permintaan untuk mengimpor batu bara sebesar 150 juta metrik ton, seperti dikutip dari Bisnis.com, 17 Juni 2022.
Namun alternatif jangka pendek ini dikhawatirkan akan kembali meningkatkan popularitas batu bara sebagai sumber energi. Padahal, dunia tengah berupaya mengurangi pemakaian bahan bakar fosiluntuk meredam dampak perubahan iklim.
Apa hanya Jerman yang kembali ke batu bara?
Tidak. Beberapa negara Uni Eropa (UE) juga tengah mempertimbangkan mengambil langkah yang sama untuk memenuhi pasokan energi mereka. Untuk sementara UE akan beralih kembali menggunakan batu bara guna mengatasi terbatasnya aliran gas dari Rusia.
“Invasi yang melanggar hukum oleh Rusia ke Ukraina telah mengakibatkan situasi darurat di UE,” ujar Elina Bardram, penjabat direktur untuk Urusan Internasional dan Keuangan Iklim di Komisi Eropa, dalam Forum Energi Afrika di Brussel, Belgia, seperti dikutip kantor berita Reuters pada Rabu (22/06). Bardram menegaskan bahwa peningkatan penggunaan batu bara adalah tindakan yang bersifat sementara.
Rusia selama ini diketahui sebagai negara pemasok energi yang signifikan kepada kawasan Uni Eropa, baik dalam bentuk minyak, gas, dan batu bara. Menurut data International Energy Agency (IEA), Rusia adalah negara produsen gas alam terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Namun dalam urusan ekspor-mengekspor gas, Rusia juara pertama.
Masih menurut IEA, pada tahun 2021 Rusia memproduksi 761 miliar meter kubik (bcm) gas, dan mengekspor 250 bcm di antaranya. Sekitar 210 bcm diekspor lewat aliran pipa, sedangkan 40 bcm lainnya diekspor sebagai gas alam cair atau LNG. Namun suplai gas ke negara-negara Uni Eropa termasuk Jerman kian berkurang sejak perang di Ukraina.
Menteri Keuangan Jerman Christian Lindner pada Selasa (21/06) malam mengatakan ada bahaya krisis ekonomi yang serius dan menggarisbawahi perlunya alternatif untuk mengatasi kelangkaan energi yang diperkirakan akan berlangsung selama tiga tahun atau lebih ini.
Sementara Asosiasi Importir Batu Bara di Jerman (VDKi), dalam pernyataan persnya pada April 2022 mengatakan bahwa dalam jangka menengah impor batu bara dari Rusia sangat mungkin digantikan dari negara lain. VDKi menyebut Amerika Serikat, Afrika Selatan, Australia, Kolombia, Mozambik dan Indonesia sebagai negara alternatif.
Kepada VDKi, DW Indonesia bertanya tentang kapan dan berapa lama mereka akan mengimpor batu bara dari Indonesia. Namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari pihak VDKi.
Pikirkan titik order perpisahan
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan kepada DW Indonesia bahwa pihaknya bisa memfasilitasi pasokan batu bara bila ada permintaan dari perusahaan Jerman. Hendra menambahkan bahwa APBI juga terbuka bila ada calon pembeli dari negara Uni Eropa lainnya, tidak hanya Jerman.
Hendra menceritakan bahwa pihaknya pernah difasilitasi oleh Kedutaan Besar Indonesia di Jerman pada Mei 2022 untuk membahas permintaan pasokan batu bara kepada Jerman. Kendati demikian, sampai sejauh ini belum ada permintaan resmi.
“Pemerintah koordinasi dengan pembeli dari Jerman. APBI juga koordinasi. Mungkin juga bisa perusahaan dengan perusahaan (B2B) tanpa melalui APBI,” kata Hendra kepada DW Indonesia.
APBI beranggotakan sekitar 150 perusahaan di sektor batu bara baik perusahaan tambang maupun penjual. Hendra mengatakan anggota APBI berkontribusi kurang lebih 70% dari produksi nasional di tahun 2021.
Andri Prasetiyo, peneliti senior lembaga nonpemerintah di bidang transformasi energi, TrendAsia, mengingatkan agar pelaku usaha jangan sampai terlena dengan angin segar seolah-olah mendapat “orderan meledak.”
“Pengusaha perlu memikirkan kondisi sebagai titik order perpisahan,” kata Andri mewanti-wanti. Setelah melewati fase krisis energi saat ini, Jerman bisa menjadi lebih serius dalam proses peralihan energi dan masa-masa sulit bisa berpindah tangan ke Indonesia di kemudian hari, ujarnya.
Bukan cuma cuan, perhatikan ongkos lingkungan batu bara
Andri juga menyayangkan solusi jangka pendek yang ditempuh pemerintah Jerman. Sebagai negara yang memelopori proses transisi energi, Jerman seharusnya bisa menghindari situasi ini apabila negara itu mempercepat proses peralihan energi, terang Andri.
“Bahan bakar fosil sangat volatile dan mengikuti harga pasar. Dinamika harga pasar sangat dipengaruhi faktor eksternal misalnya geopolitik,” kata Andri kepada DW Indonesia.
Andri juga menyoroti jumlah batu bara yang dibutuhkan pemerintah Jerman dapat menimbulkan masalah baru di Indonesia. Misalnya, lubang tambang yang tidak ditutup, deforestasi, dan pencemaran air sungai.
Photo by Kelly on Pexels.