Jumat lalu, beberapa bank di Asia telah menyetujui kredit sindikasi sebesar USD 2.6 miliar selama jangka waktu 183 bulan atau 15.25 tahun untuk membangun PLTU batubara ‘Jawa 9 dan 10’ yang akan menyumbang polusi udara yang sangat besar di Banten. Pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 disponsori oleh PLN, Barito Pacific dan juga BUMN asal Korea Selatan, Korea Electric Power Corporation (KEPCO).

Hari ini sejumlah organisasi lingkungan dan masyarakat sipil di Canberra, Australia dan Cilegon, Indonesia mengecam keputusan pemerintah Korea untuk membiayai proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 di Banten. Di Cilegon, Banten, provinsi tempat proyek industri kotor itu akan dibangun, mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Moon Jae-In: Your Dirty New Deal Starts Here” yang dalam bahasa berarti “Moon Jae-In: Kesepakatan Kotor Korea Dimulai di Sini”.

Sebuah laporan dari lembaga think tank Carbon Tracker menyatakan bahwa investasi energi terbarukan di Indonesia lebih murah dan menguntungkan daripada investasi di batubara. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berpengaruh pada penurunan permintaan listrik, Dirut PLN menyatakan permintaan listrik bisa turun sebesar 9.7% akibat COVID-19. Menurut Rida Mulyana, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, pada tahun ini kelebihan kapasitas di grid Jawa-Bali bisa mencapai 41.5%

“Banten kini sudah darurat polusi. Dan bahkan pesisir Banten mulai direnggut, penghidupan dan kehidupannya mulai terusir melalui Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Perda ini sendiri dipaksakan sementara masyarakat tidak dilibatkan. Ditambah lagi dengan keputusan sindikasi bank-bank yang mendanai pembangunan PLTU 9-10 akan menciptakan masa depan penuh polusi bagi warga Banten. Pilihan investasi energi harusnya tidak pada sumber kotor, tapi sudah saatnya kita berbagi ruang kehidupan dengan energi bersih,” kata Madhaer Efendi, Koordinator Pena Masyarakat.

Dalam studi pra-kelayakan untuk PLTU batubara Jawa 9 dan 10 yang disusun oleh Korea Development Institute (KDI), proyeksi keuntungan PLTU ini adalah negatif sebesar USD 43.58 miliar. Nilai investasi arus kas yang masuk ke dalam proyek PLTU ini lebih besar dari proyeksi pendapatan sampai dengan PLTU ini selesai beroperasi.

“Tidak ada hal positif dari pembangunan PLTU ini. Investor dan pemberi kredit akan merugi dan kehilangan uangnya, polusi udara di sekitar PLTU akan semakin buruk dan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat sekitar dan mengundang bencana perubahan iklim,” ucap Binbin Mariana, Energy Finance Campaigner Market Forces, organisasi dari Australia.

Terdapat temuan tentang polusi udara yang mengerikan terkait dengan penyakit pernafasan dan kulit di provinsi Banten dan daerah sekitarnya, di lokasi PLTU Jawa 9 dan 10 berada. Pemodelan dampak kesehatan yang dilakukan terhadap PLTU Jawa 9 dan 10 memperkirakan hal itu akan menyebabkan lebih dari 4.700 kematian dini selama masa PLTU beroperasi.

“Sudah saatnya Indonesia beralih dari batubara yang dampaknya sangat buruk atas kesehatan dan mata pencaharian masyarakat sekitar. Pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 hanya akan menambah risiko buruknya kualitas kesehatan di Banten yang saat ini sudah dikelilingi oleh banyaknya PLTU batubara yang beroperasi”, ucap Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia. “Korea dan negara maju lainnya di Asia, seharusnya membantu saudara serumpunnya untuk investasi di energi terbarukan, alih-alih membiayai pembangunan PLTU batubara baru.”

Lembaga keuangan publik dari Korea Selatan memiliki andil yang sangat besar dalam pembiayaan PLTU Jawa 9 dan 10. Selain KEPCO, Korean Development Bank (KDB) dan The Export Import Bank of Korea (KEXIM) juga diketahui sebagai pemberi pinjaman yang bergabung dalam sindikasi kredit untuk pembangunan PLTU batubara Jawa 9 dan 10.

“Investasi di PLTU batubara Jawa 9 dan 10 adalah langkah pemerintah Korea Selatan yang sangat memalukan. Langkah ini menunjukan bahwa pemerintah Korea Selatan tidak peduli atas dampak ekologis yang ditimbulkan oleh PLTU batubara, tidak hanya di Indonesia tapi juga dampaknya terhadap seluruh dunia, mulai dari ancaman kualitas udara yang buruk hingga krisis iklim global. Sejarah akan mencatat keputusan yang diambil pemerintah Korea Selatan hari ini akan menjadi bom waktu ekologis bagi bumi dan manusia di masa depan,” ucap Didit Wicaksono, Juru Kampanye Iklim dan Energi untuk Greenpeace Indonesia.

“Proyek PLTU batubara Jawa 9 dan 10 ini hanya akan merusak reputasi pemerintah Korea Selatan di mata masyarakat global. Komitmen Green New Deal Korea Selatan akan dilihat sebagai lelucon karena emisi karbon dari PLTU Jawa 9 dan 10 ini lebih besar dari pengurangan emisi yang direncanakan dari berbagai program inisiatif Green New Deal.” kata Sejong Youn, Direktur direktur Solutions for Our Climate (SFOC) lembaga penelitian kebijakan publik di Korea Selatan. “Selain itu, proyek ini dapat membawa kerugian ekonomi yang signifikan bagi lembaga keuangan publik yang terlibat, dan akan mengganggu proses transisi industri berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan di Korea Selatan.”

Manajer sindikasi kredit PLTU batubara Jawa 9 dan 10 adalah bank DBS Singapura. Bank dari Malaysia juga diketahui terlibat sebagai peserta sindikasi yaitu CIMB dan Maybank, juga Bank of China, Tiongkok. Sedangkan dari Indonesia, bank yang terlibat adalah Bank Mandiri, BNI dan Indonesia Eximbank.

“Keterlibatan DBS sebagai manajer sindikasi menunjukan kemunafikan bank DBS. Dalam kebijakan pembiayaan batubara DBS yang dikeluarkan tahun lalu, DBS mengakui perlu segera mengatasi perubahan iklim dan menyatakan tidak akan lagi membiayai PLTU batubara baru.” kata Binbin.
###

Narahubung:

Binbin Mariana, Market Forces Energy Finance Campaigner, [email protected],

Yuyun Indradi, Trend Asia Executive Director, [email protected],

Didit Wicaksono, Climate and Energy Campaigner for Greenpeace Indonesia, [email protected]

Sejong Youn, Solutions for Our Climate Director, [email protected]

Madhaer Efendi, Koordinator Pena Masyarakat