Di balik keindahan alam Minangkabau, dan putra-putri terbaik bangsa yang lahir di sini, ada cerita mengerikan tentang candu pemerintah pada sumber energi kotor batubara. Di sini ada cerita yang tak berkesudahan tentang anak-anak SD, generasi penerus bangsa yang paru-parunya disesaki abu batubara. Kisah tentang hidangan di meja makan yang nyaris saban hari ditaburi topping abu batubara. 

Aida, Warga Sijantang Koto, Sumatera Barat, tinggal dekat dengan PLTU Ombilin. Dalam film dokumenter “BaraDwipa”, Ia bercerita, satu kali, pihak PLTU bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah Sawahlunto pernah menyelenggarakan program screening pernapasan 50 anak-anak murid kelas 5-6 SDN 19 Sijantang pada 2016-2017. Hasilnya mengerikan: Sebanyak 76% dari mereka, paru-parunya sudah rusak. 

Yang sangat kami sayangkan sampai sekarang kami tidak tahu anak-anak siapa yang paru-parunya itu rusak dan tidak ada kejelasan sama sekali dari pihak PLTU dan RSUD. Mereka tidak menjelaskan sama sekali apa yang terjadi pada anak-anak yang sekarang anak-anak itu (kini) sudah duduk di kelas 2 SMP.”

Semburan abu batubara di pembangkit listrik tua Ombilin, di Sijantang Koto, Sawahlunto semakin parah ketika alat saring abu batubaranya rusak pada tahun 2011. Dan satu dekade berikutnya, alat penyaring abu di cerobong PLTU itu tak juga diganti. Sejak itu, anak-anak dan para perempuan Desa Sijantang Kota harus menanggung risiko lebih besar karena mereka kelompok rentan. 

Nurjanah, warga terdampak PLTU Sepang, Bengkulu. Sumber foto: Youtube Watchdoc Documentary.

Kisah pahit para puan di Sumatera dalam menghadapi teror pembangkit batubara kotor ini juga dialami Nurjanah, seorang ibu di Bengkulu, kampung kelahiran ibu negara Fatmawati Soekarno. Suatu pagi, warga Teluk Sepang, Bengkulu yang juga perempuan petani ini mendapati lahannya telah dipagari tembok tinggi. Tembok-tembok ini berdiri menjulang membatasi wilayah kebunnya dengan areal perusahaan PLTU Teluk Sepang. 

Nurjanah sama sekali tak mengetahui rencana ini. Ia bilang, tak ada satu pun kalimat pemberitahuan yang sampai kepadanya. “Tidak kompromi pihak PLTU dengan ibu, nak gusur kebun ibu.

Sebelumnya, rencana proyek pembangunan PLTU Teluk Sepang  telah menuai sejumlah masalah dan mendapat penolakan keras dari warga setempat. Sebabnya, pertama, lokasi PLTU berkapasitas 2×100 MW ini tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bengkulu. Awalnya, lokasi pembangunan ini direncanakan di Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara. Namun justru dibangun di daerah Pulai Baai, Kota Bengkulu. Kedua, dari hasil penyelidikan, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), PLTU Teluk Sepang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. 

Ketiga, saat masa uji coba, 28 ekor penyu yang ditemukan mati tidak jauh dari saluran pembuangan limbah Teluk Sepang (Kanopi Bengkulu, 2020). Warga setempat menduga penyu-penyu tersebut mati oleh limbah air bahang PLTU Teluk Sepang. Ironinya,  proyek PLTU ini diresmikan Presiden Joko Widodo, pihak perusahaan PLTU Teluk Sepang justru belum mengantongi dokumen izin pembuangan limbah. PLTU Teluk Sepang merupakan bagian dalam megaproyek listrik 35.000 MW yang digadang Presiden Joko Widodo dengan dukungan dana dari Cina, yakni Power China dan PT Intraco Penta Tbk.

Kemunculan tembok yang dibangun perusahaan PLTU telah menyebabkan masalah baru bagi Nurjanah. Kebunnya tergenang air. Pun berbagai tanaman yang telah ia rawat dan menjadi sumber utama penghasilannya, seperti sawit, pisang, terong, cabe, dan jenis lainnya, porak-poranda digusur proyek perusahaan.

“Dengan berdirinya PLTU, habis lah kebun ibu digusur. Ibu ndak dapek apo-apo lagi (Ibu tak dapat apa-apa lagi-red).”

Kemandirian Nurjanah dalam menghidupi kebutuhan keluarganya dihancurkan. Ia tidak lantas diam. Ia melawan. Nurjanah menuntut ganti rugi atas lahan dan tanamannya. Namun, tuntutannya tak diacuhkan.

“Jadi udah kemano-mano nak ibu udah nuntut keadilan ke Pelindo, ke kantor gubernur, tapi ndak do reaksi. Pengusaha China, penguasa Bengkulu itu lah yang benar. Rakyatnya gak ada lagi yang benar. Untuk ibu undang-undang udah ga berlaku. Kenapo? Yang setahu ibu undang-undang ko adil dan beradab tapi kenyataannya di ibu, adil biadab.”

Cerita Aida dan Nurjanah di atas ialah sepenggal potret dari berbagai kisah perempuan terdampak industri energi kotor batubara yang terekam dalam BaraDwipa. Sebuah film hasil kolaborasi Watchdoc Indonesia bersama dengan jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STUEB) dan Trend Asia. Film ini merekam dampak nyata yang dialami warga Sumatera mulai dari Aceh hingga Sumatera Selatan akibat gempuran masif industri energi kotor batubara.

Ini adalah kisah tentang pemerintahan  yang memaksakan investasi penuh masalah  agar akumulasi keuntungan  bagi oligarki batubara dapat terus berlangsung. Padahal Pulau Sumatera sudahlah berkelebihan pasokan listrik hingga 55 persen. Namun saat ini Presiden Joko Widodo sedang gencar menggenjot rencana proyek PLTU tambahan di Sumatera. Pemerintah masih bersikeras membangun 22 unit PLTU baru dengan total kapasitas hampir 7 GW melalui dukungan dana dari lembaga keuangan China.  

Jauh dari semua rencana ambisius dan tak strategis itu, ada pengalaman pilu para perempuan yang dipinggirkan dan tak jadi pertimbangan penting bagi pengambil kebijakan. Melalui BaraDwipa, kita dapat turut menyelami kisah selain Aida, Nurjanah, yakni Darna, Nidar, Salbiah, Agustina, dan Yanti. Perempuan-perempuan yang terjebak di tengah kepungan proyek industri energi kotor batubara yang menghimpit dan mengabaikan keberadaan mereka.

Darna, warga terdampak PLTU Nagan Raya. Sumber: Youtube Watchdoc Documentary

Pengalaman Darna, Warga Suok Puntong, Kabupaten Nagan Raya, Aceh yang dipaksa pindah karena pencemaran udara mengerikan dari PLTU Nagan Raya.  Tiap hari dan tiap beberapa jam, hujan abu batubara terus memenuhi meja-meja di warungnya. Dagangannya semakin tidak laku karena ia harus berurusan dengan abu-abu racun itu. 

Ia tak tahan dengan guyuran abu hitam itu dan khawatir dengan kondisi kesehatan anak-anaknya yang mulai menurun. Ia pun terpaksa pindah. Kini, di rumah “baru”, ia tetap berdagang guna menghidupi keluarganya. Namun, dagangannya tersendat karena lokasinya jauh dari keramaian. Rumahnya yang lama, yang dekat dengan lokasi PLTU, ia tinggalkan. 

Kedatangan PLTU telah mengubah hidup para perempuan menjadi makin sulit.  Proyek pembangunan PLTU juga kerap menimbulkan konflik di masyarakat. Konflik penguasaan lahan, kerusakan lingkungan, hingga efeknya terhadap kesehatan. Atas seluruh pengalaman konflik ini, kaum perempuan tak sekadar terima nasib dan pasrah. Mulai dari Nurjanah hingga Aida, mereka melawan. Mereka terus mendesak berbagai pihak terutama  pemerintah, agar lekas mengatasi permasalahan yang menimpa mereka, anak-anak mereka, keluarga dan kerabat mereka. Mereka melakukan aksi di jalan hingga audiensi ke para pemangku kepentingan. Namun, tetap tak ada perubahan signifikan hingga hari ini. PLTU tetap berdiri, warga kehilangan mata pencaharian, anak-anak menghirup udara penuh polusi beracun.

Perempuan kerap tereksklusi dari kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini khususnya  energi. Temuan Komnas Perempuan bersama The Asia Foundation pada 2014 menemukan banyak konflik terkait pengelolaan sumber daya alam terjadi karena penyelenggaraannya mengabaikan masyarakat, terutama perempuan, yang tinggal di sekitar wilayah proyek tersebut. Konflik ini punya sejarah panjang yang terjadi merata hampir  di berbagai daerah di Indonesia. 

Selama industri energi kotor batubara masih tegak berdiri dengan sokongan keistimewaan kebijakan dari pemerintah, selama itu pula industri energi kotor batubara akan menghancurkan kualitas hidup dan memperparah penderitaan perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. 

Di BaraDwipa, para perempuan-perempuan tangguh, penyokong keluarga ini terus melawan dan mengirimkan pesan kuat kepada Presiden Jokowi, bahwa kecanduan pada batubara harus diakhiri jika ingin menyelamatkan rakyatnya sendiri. 

Cerita selengkapnya terkait cerita Nurjanah, Darna, Nidar, Salbiah, Agustina, Yanti, dan Aida, bisa disaksikan dalam film BaraDwipa di Youtube Watchdoc Documentary.  (***)

Foto: Youtube Watchdoc Documentary

Penulis: Marina Nasution