Saat ini terdapat tren bahwa lembaga finansial seperti bank mulai meninggalkan pendanaan batubara. Dalam penghitungan bisnis dan manajerial, melepas portofolio batubara akan lebih banyak berdampak positif bagi perbankan.

Kompas-Bank nasional yang berkomitmen menerapkan pembiayaan hijau untuk mengatasi krisis iklim berpotensi menjadi pemimpin pasar di sektor finansial. Sebaliknya, bank yang masih mendanai industri kotor diyakini akan ditinggalkan nasabahnya karena kesadaran publik terhadap isu lingkungan dan krisis iklim yang semakin menguat.

Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo, mengemukakan, saat ini terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa lembaga finansial global mulai keluar dari bisnis batubara. Sebab, batubara merupakan sumber energi yang cukup dominan dalam menyebabkan kenaikan emisi dan memperparah krisis iklim.

Kecenderungan ini bahkan ditegaskan hasil studi dari The Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) yang menyebut bahwa lebih dari 100 lembaga finansial memutuskan untuk keluar dari pendanaan sektor energi batubara. Salah satu contoh ini ditunjukkan dari keluarnya Bank of China dalam pendanaan bisnis batubara beberapa waktu lalu.

”Tren ini tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara lain, termasuk Asia Tenggara. Maybank dan CIMB belum lama ini juga menyatakan berhenti mendanai batubara,” ujarnya dalam diskusi daring terkait komitmen pembiayaan hijau bank nasional, Senin (13/6/2022).

Menurut Andri, gelombang tren lembaga finansial global untuk berhenti mendanai batubara awalnya tidak cukup direspons oleh bank-bank nasional. Mereka beranggapan tren tersebut bukanlah sesuatu yang harus diikuti karena ada pasar baru lainnya.

Meski demikian, salah satu bank nasional, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI), mengumumkan secara verbal bahwa mereka memutuskan untuk keluar dari bisnis batubara. Komitmen ini menjadikan BRI sebagai bank nasional pertama yang secara terbuka dan eksplisit mengambil langkah penggantian pendanaan sektor industri ekstraktif batubara.

Akan tetapi, Andri memandang bahwa komitmen ini belum sepenuhnya dijalankan BRI. Sebab, ia mencatat bahwa pada Juli 2020 BRI masih terlibat dalam pembiayaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Jawa 9 dan 10. Pada April 2021, BRI juga terlibat dalam kredit sindikasi sebesar 400 juta dollar AS untuk perusahaan Adaro.

”Bila bank keluar dari pendanaan batubara, sudah jelas pertimbangannya tidak hanya aspek lingkungan. Dalam penghitungan bisnis dan manajerial, melepas portofolio batubara akan lebih banyak berdampak positif bagi perbankan, seperti mengurangi risiko aset terdampar dan mempertahankan reputasi,” ujarnya.

Reputasi perbankan dalam mendukung isu lingkungan harus tetap dijaga mengingat hasil survei Yayasan Indonesia Cerah menunjukkan bahwa 89 persen kaum muda khawatir dampak krisis iklim. Sementara bank besar di Indonesia secara simultan menyasar pasar kaum muda. Minimnya dukungan terhadap isu lingkungan diyakini dapat menggagalkan bank tersebut meraih pangsa pasar anak muda.

”Bank-bank yang segera mewujudkan kebijakan dan praktik pendanaan yang berpihak pada upaya untuk mengatasi krisis iklim berpotensi besar menjadi pemimpin pasar di sektor finansial. Pada saat bersamaan, bank yang tidak menunjukkan keberpihakan pada isu krisis iklim akan berpotensi besar ditinggalkan pangsa pasar muda,” ucapnya.

Tindak lanjut

Andri menegaskan, komitmen penghentian pendanaan batubara dari bank nasional tidak boleh hanya sekadar formalitas. Komitmen tersebut perlu ditindaklanjuti dengan menetapkan waktu yang efektif dalam pemberlakuan, meninjau kesepakatan proyek yang masih berproses, menjabarkan ruang lingkup komitmen, mengantisipasi jalan keluar lewat pendanaan hijau, hingga menuangkannya dalam dokumen resmi perusahaan.

Selengkapnya…

Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash