BBC-KTT perubahan iklim tahunan PBB dibuka pada Minggu dengan tuan rumah Mesir, disebut sebagai “momen penting” dunia dalam aksi iklim.

Lebih dari 120 pemimpin negara dunia hadir di resort Laut Merah, Sharm el-Sheikh.

Sekitar 30.000 orang akan hadir dalam pertemuan puncak selama dua-pekan yang dikenal sebagai COP27, meskipun sejumlah aktivis enggan hadir karena catatan HAM di Mesir.

Tahun lalu, sejumlah kasus cuaca ekstrem secara berturut-turut dihubungkan dengan perubahan iklim.

Dalam pertemuan ini, negara-negara berkembang – yang terdampak langsung perubahan iklim – menyuarakan situasi negaranya masing-masing, tak terkecuali Indonesia.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, mengatakan delegasi Indonesia akan menekankan target 2030 di Enchanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada Konferensi iklim PBB ke-27 (COP27).

NDC atau komitmen kontribusi nasional adalah tugas masing-masing negara untuk menahan pemanasan suhu bumi hingga 1,5C pada 2030.

Pembuatan NDC disepakati dalam Perjanjian Paris pada 2015 lalu, dan negara-negara bisa memperbaruinya.

Indonesia dalam NDC terbarunya (September 2022) menyebut akan meningkatkan target menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan upaya sendiri (unconditional), dan sebesar 43,20% jika mendapat dukungan dari internasional (conditional).

Pada tahun sebelumnya skenario untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia dipatok sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional.

Peningkatan target ini berdasarkan kebijakan-kebijakan nasional terkait perubahan iklim.

“Melalui penguatan kebijakan-kebijakan tersebut, kita semua optimis bahwa secara bersama-sama Indonesia akan mampu menghadapi tantangan dan dampak perubahan iklim yang meluas baik di tingkat nasional dan global,” kata Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam arahannya kepada delegasi Indonesia di COP27.

Lebih lanjut, Menteri Siti juga mengungkapkan di COP27, Indonesia akan menyerukan kelompok Negara Maju yang belum memperbarui target NDC 2030-nya untuk segera meningkatkan ambisi mitigasi, adaptasi, dan sarana implementasinya di COP 27.

Menurut peneliti dari Indonesia Trend Asia, Andri Prasetiyo, isu yang dibawa pemerintah Indonesia cukup krusial.

Namun, dokumen peningkatan target NDC Indonesia memiliki “Sejumlah pilihan kebijakan problematik yang berisiko besar menggagalkan upaya dekarbonisasi sektor energi, yang merupakan sektor yang berkontribusi paling besar pada tingkat emisi nasional”.

Dalam NDC yang dilaporkan, pemerintah Indonesia salah satunya akan mengambil pilihan infrastruktur listrik bertenaga gas untuk menggantikan batu bara. Namun, gas tetap berdampak pada buangan gas rumah kaca.

“Saat gas fosil diproduksi, diangkut, dan dikonsumsi, metana dalam jumlah besar bocor sebagai emisi gas rumah kaca (GRK). Ini mengganggu upaya untuk mencegah krisis iklim,” kata Andri.

Berdasarkan catatan Trend Asia, saat ini sektor ketenaga listrikan Indonesia hanya memiliki 11% energi terbarukan dari target 23% pada 2025. Rata-rata pengembangan hanya 0,8% per tahun.

“Ini berarti butuh extraordinary effort mendekarbonisasi sektor ketenagalistrikan untuk mengurangi emisi,” tambah Andri.

Di sisi lain, kata dia, pemerintah berusaha keras memensiunkan PLTU yang butuh biaya besar, dan akan menjadi tidak berarti apapun dalam pengurangan emisi apabila ruang yang tersisa dalam jaringan akan diisi oleh energi fosil lain yaitu gas-bukan energi terbarukan.

Selain itu, Andri juga melihat tidak adanya niatan konversi sumber energi listrik setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2022tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres EBT).

Dalam aturan ini, disebutkan kemungkinan pengoperasian listrik berbahan bakar batu bara berakhir pada 2050.

“Ini berarti hingga beberapa tahun ke depan, proyek PLTU baru masih akan dapat dibangun, menambah emisi,” kata Andri.

Baca selengkapnya…

Foto: Tiara Pertiwi/Trend Asia