• Menuju transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, pemerintah tempuh salah satu lewat mencampur biomassa dengan batubara di PLTU atau dikenal dengan co-firing. Seperti apa dan benarkah cara ini jawaban transisi menuju energi berkelanjutan?
  • Co-firing PLTU dengan biomassa dinilai bisa meningkatkan bauran energi terbarukan dengan cara relatif cepat. Edi Wibowo, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) bilang, 5% co-firing biomassa setara 0,9% bauran energi terbarukan.
  • Trend Asia pun sedang lakukan kajian soal co-firing PLTU dengan biomassa ini. Temuan awal, kata Mumu Muhajir, peneliti Trend Asia, kebijakan co-firing PLTU berpotensi mendorong perluasan lahan.
  • Syamsul Kamal dari Pusat Studi Energi Univeritas Gadjah Mada mengatakan, ada empat hal yang perlu perhatikan dalam konversi energi: teknologi, biaya produksi, ketersediaan dan dampak terhadap lingkungan.

Mongabay-Indonesia berkomitmen penurunan emisi, salah satu lewat sektor energi. Sesuai target net zero emission, pemerintah menyusun peta jalan menuju 100% energi terbarukan pada 2060. Dalam empat tahun ke depan, hingga 2025, dukungan diberikan dalam berbagai bentuk termasuk co-firing PLTU alias mencampur batubara dengan bahan bakar biomassa. Seperti apa dan benarkah cara ini jawaban transisi menuju energi berkelanjutan?

Edi Wibowo, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan, bioenergi menyumbang 50-55% bauran energi terbarukan, pada 2021 sekitar 11,5%.

Rinciannya, bioenergi tercapai 1,9 gigawatt dari target 5,5 gigawatt. Biofuel 9,3 juta kilo liter dari target 13,8 juta kilo liter. Biogas 26,28 juta kilo liter dari target 489,8 juta.

“Biomassa tak terdeteksi karena tak tau berapa masyarakat yang masih menggunakan kayu bakar,” katanya dalam seminar daring Trend Asia baru-baru ini.

Pengembangan bioenergi ini, katanya, unik, karena ada peran manusia dalam menyiapkan atau mengurangi bahan baku. Termasuk, co-firing biomassa pada PLTU yang menambahkan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam boiler batubara tanpa modifikasi signifikan.

Biomassa mengandung sulfur lebih rendah hingga dinilai dapat mengurangi pemanasan global. Co-firing dinilai bisa meningkatkan bauran energi terbarukan dengan cara relatif cepat. Edi bilang, 5% co-firing biomassa setara 0,9% bauran energi terbarukan.

Biomassa juga dianggap mudah dan murah tanpa perlu membangun pembangkit baru, karena hanya memanfaatkan PLTU yang ada. Sisi lain, ia mengurangi energi fosil atau batubara dan jadi alternatif pengelolaan sampah tanpa harus membangun PLTSA.

“Juga, memberikan kesejahteraan masyarakat karena menimbulkan multiplier effect bagi masyarakat dalam penyediaan biomassanya,” kata Edi.

Ada beberapa jenis teknologi co-firing, katanya, secara langsung, tak langsung dengan gasifikasi dahulu jadi fuel gas, dan co-firing paralel, dimana biomassa dibakar terpisah. Co-firing pararel ini biasa dalam industri pulp and paper.

Co-firing langsung opsi paling murah dan umum diterapkan.”

Saat ini, ada 52 lokasi dengan 113 PLTU dengan kapasitas 18.664 megawatt jadi target co-firing hingga 2030 dengan potensi bahan baku dari tanaman energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri kayu dan sampah rumah tangga.

Catatan KESDM, potensi bahan bakar biomassa untuk co-firing di hutan energi ada 49.578 hektar dengan potensi 991.560 ton. Klaim KESDM juga ada potensi pengembangan 27.223.454 hektar atau setara 544.469.073 ton.

Dari limbah pertanian atau perkebunan berupa batok atau tempurung kelapa 425.978 ton. Limbah industri, paling banyak cangkang sawit, 12.850.976 ton diikuti tankos (47 juta ton), sekam padi (10 juta ton), limbah kayu (2,4 juta ton) dan pellet kayu (789 ribu ton).

Ada sebagian bahan organik berupa sampah rumah tangga potensi eksisting 68,5 juta ton setara 42 juta ton pelet sampah.

Tahun lalu, implementasi pemakaian biomassa untuk co-firing pada PLTU PLN mencapai 285.000 ton menghasilkan 269 megawatt hour energi pada 27 lokasi.

Kajian Dirjen EBTKE, penggunaan co-firing biomassa akan hemat US$ 2,3 miliar dari operasional PLTU. Total manfaat dari substitusi batubara, pertambahan ekspor batubara, perdagangan karbon, penurunan emisi, perbaikan dampak kesehatan dan tambahan tenaga kerja mencapai US$ 7 miliar.

Edi bilang, ada beberapa tantangan penyediaan bahan bakar biomassa untuk co-firingterkait pengadaan, harga, ketersediaan dan teknis.

Untuk pengadaan, katanya, akan terpusat pada masing-masing unit PLTU, melalui anak perusahaan PLN, yang sinergi dengan BUMN sambil mendorong masyarakat, koperasi, BUMD atau BumDes sebagai penyedia biomassa.

Tantangan lain, katanya, saat ini beberapa bahan baku biomassa masih lebih dari harga batubara. Untuk itu, perlu skema dukungan untuk keekonomian. Untuk ketersediaan bahan bakar, katanya, pemerintah akan mengoptimalkan penyediaan bahan bakar berbasis limbah dan mendorong penciptaan pasar ekonomis dan memenuhi kelayakan teknis.

Belum lagi, katanya, secara teknis beberapa bahan baku belum bisa masuk dalam parameter standar nasional Indonesia (SNI).

Ada juga, target spesific fuel consumption (rasio perbandingan total konsumsi bahan bakar terhadap daya listrik) dari PLTU, hingga perlu memastikan co-firing layak teknis dan aman bagi lingkungan.

Data Internasional Energy Agency (IEA) 2019 mencatat bioenergi tradisional dan modern menyumbang 9,5% dari total pasokan energi primer dan sekitar 70% dari energi terbarukan yang saat ini. Bioenergi modern menyumbang 50% energi terbarukan yang dikonsumsi pada 2017 atau empat kali lebih banyak dari gabungan energi surya dan angin.

Dorong perluasan lahan?

Trend Asia pun sedang lakukan kajian soal co-firing ini. Temuan awal, kata Mumu Muhajir, peneliti Trend Asia, kebijakan co-firing PLTU berpotensi mendorong perluasan lahan.

Di sektor ini, ada asumsi lahan tersedia luas untuk produksi bioenergi dan dianggap murah serta rendah emisi juga tidak menghadapi tantangan intermitten seperti PLTS dan PLTB.

Dengan kata lain, bioenergi dianggap bisa berperan sebagai based load energy systemkarena kontribusi fosil akan terus turun.

“Tapi, lahan adalah sumber daya terbatas dan ada masalah perhitungan emisi gas rumah kaca, bukan zero karbon,” kata Mumu.

Kajian Trend Asia menunjukkan, perlu 11 juta hektar lahan konsesi untuk memenuhi kebutuhan co-firing semua PLTU yang terdaftar dalam One Map KESDM.

Kajian ini berdasarkan data kapasitas terpasang dengan faktor kapasitas PLTU 70%. Nilai kalori batubara yang dikaji 5.311 kkal/kg dan nilai kalori pellet kayu 4.254 kkal/kg. Luas konsesi eksisting dan luas lahan tertanami 60% dengan asumsi, sisanya untuk tanaman kehidupan.

Produktivitas kayu akasia 30 m3 per hektar per tahun dan kaliandra 50 m3 per hektar per tahun.

Mumu bilang, ini angka optimis dengan rotasi lahan masing-masing, akasia enam tahun dan kaliandra 10 tahun dengan hasil produksi dari panen kayu 94%, sisanya limbah. Rendemen kayu jadi chip dihitung 80% dan chip jadi pellet kayu 80%. Skenario co-firingyang dipakai 10%, 5% dan 1%.

“Akasia dan kaliandra dinilai paling siap untuk jadi bioenergi, lainnya masih dalam riset,” kata Mumu.

Hasilnya, ditemukan kebutuhan untuk co-firing seluruh PLTU skenario 10%, perlu 24,3 juta ton pellet kayu kaliandra.

Sebagai catatan, ini memang tidak sama dengan 52 PLTU yang menjadi target pemerintah karena, jelas Mumu, tak ada data publik PLTU mana saja yang jadi target.

Jadi, kajian ini gunakan 200 lebih PLTU termasuk milik swasta dan PLN.

Sementara kapasitas pellet kayu saat ini masih 300.000 ton per tahun.

Untuk skenario 5%, perlu 12 juta hektar lahan dan 1%, sekitar 2 juta ton m3 ekuivalen per tahun.

Sedangkan jika pakai pellet kayu dari akasia perlu 1,1 juta lahan atau 4 juta ton per tahun dengan masa daur ulang enam tahun. Jadi, katanya, perlu 7,1 juta hektar lahan untuk skenario cofiring 10%.

Singkatnya, secara keseluruhan perlu 11 juta hektar lahan untuk memenuhi kebutuhan co-firing akasia skenario 10%.

Kalau 5% perlu 900-an hektar, dengan daur ulang butuh 3,5 tahun.

Untuk kaliandra, kata Mumu, harus perhatikan daur ulangnya. Tanaman ini bisa panen setiap tahun. Daur ulang untuk hasilkan 24 juta ton pellet kayu perlu 2,3 juta hektar.

“Lahan ini akan didapatkan dari mana?”

Mengingat alokasi hutan tanaman industri (HTI) 2021-2025 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya 400.000 hektar.

“Itupun lihat dulu lokasinya. HTI sekarang tak sesuai regulasi. Banyak HTI ada di hutan alam.”

Membuka lahan baru, katanya, jelas berisiko kehilangan keanekaragaman hayati yang sudah terjadi saat ini.

“Kita sedang alami krisis iklim dan kehilangan sumber makanan, obat-obatan. Karena begitu berubah jadi lahan bioenergi, intensif, dibudidayakan, lahan yang dulu beragam akan hilang. Butuh ratusan tahun untuk kembali.”

Selain itu, katanya, ada juga tantangan konflik lahan yang tak pernah selesai di berbagai daerah termasuk Papua. Pembukaan lahan baru, bisa memicu konflik baru dan menyebabkan kehilangan hutan alam.

Bioenergi dia nilai juga akan berkompetisi dengan kebutuhan ekspor ke Jepang, Korea Selatan, Inggris dan Uni Eropa– yang gunakan bioenergi termasuk untuk penghangat. Dia khawatir, sama dengan yang terjadi pada batubara, saat harga tinggi kebutuhan domestik justru tidak dipenuhi. Harga ekspor pellet kayu juga lebih tinggi. Belum lagi, persaingan dengan produk lain seperti pulp.

Belum lagi, secara teknologi, co-firing batubara dengan bioenergi, umumnya hanya bisa 5-10%.

“Bisa sampai 50% tapi belum ada yang melakukan. Apalagi untuk PLTU besar 1.000 megawatt,” kata Mumu.

Mayoritas PLTU yang menjadi sasaran co-firing ada di Jawa, sementara pasokan solid bioeneri di luar Jawa.

Untuk penghitungan emisi, kata Mumu, ada ‘utang’ emisi karbon ketika lahan berubah jadi HTI untuk pasokan bioenergi.

“Sekarang juga banyak menanam di lahan gambut yang emisinya tinggi.”

Kebijakan co-firing juga berpotensi mengunci transisi energi ke energi terbarukan. Ia akan memberi napas PLTU tua hingga suplai batubara bisa dipakai kembali.

“Pengalihan insentif yang harusnya diberikan pada energi terbarukan lain dialihkan untuk co-firing,” katanya.

Insentif ini bisa berupa kemudahan HTI utuk memperluas wilayahnya.

Selengkapnya…

Photo by Kelly on Pexels.