Mongabay-Satu per satu rumah kayu di Dusun Rogdok, Mentawai, menyembulkan cahaya. Suara tawa dan orang berbincang terdengar sampai beranda rumah Malaikat Sarogdok. Rumah tetangganya kebetulan warung yang menjual barang kebuthuan sehari-hari.  Ada beranda tempat leyeh-leyeh, di sanalah empat warga berinteraksi selepas pulang dari ladang.

Hari memang belum benar-benar gelap, tetapi listrik di Dusun Rogdok, Desa Madobag,  Kecamatan Siberut Selatan, Mentawai, Sumatera Barat ini hanya bisa dari pukul 18.00 hingga 00.00 WIB. Warga pun coba memaksimalkan penggunaan listrik.

Malaikat mengatakan,  dulu sama sekali tak ada penerangan. Mereka pakai lampu minyak. “Dulu, kalau sudah malam, semua tidur,” katanya.

Sempat ada pembangkit listrik tenaga biomassa atau PLTBm  berbahan bakar bambu tetapi terhenti. Kini,  mereka nikmati lampu diesel PLN.

Saat pembangkit biomassa, kata  Malaikat,  bambu di masyarakat terbatas maka perlu ditambah bibit bantuan. Bibit ini berbeda dengan bambu yang biasa tumbuh di Mentawai. Kulit lebih tebal dan diameter sedikit lebih besar.

Pemerintah sudah sosialisasi dan membangun pembangkit listrik di Rogdok sejak 2017.

Pada 2019, PLTBm beroperasi. Sayangnya, kebahagiaan masyarakat mendapat listrik dari bambu ini hanya sebentar. Dalam hitungan bulan PLTBm mulai bermasalah. Karena persediaan bambu tak mencukupi maka bahan bakar bambu diselang-seling dengan kayu. Pada 2020, bahan baku berganti solar.

Kerusakan pembangkit biomassa ini menyebabkan bambu-bambu yang mereka tanam di ladang masing-masing tak lagi berharga. Selain itu, bambu kemudian mengganggu tanaman warga lain. Bambu bantuan itu dinilai jadi ‘hama.’ Sebagian warga kemudian menebang tanaman bambunya.

Masih terlihat batang-batang  bambu ditebangi warga. Pada kebun masyarakat khusus untuk ternak babi dan uma,  bambu itu diberi penanda plastik warna merah seukuran kelingking. Sebagai penanda bambu akan digunakan untuk PLTBm.

Masyarakat mendapat jumlah bibit berbeda-beda. Malaikat dapat 100 bibit. Dia pun kesal sendiri tetapi apa boleh buat.

Saat PLTBm mengalami kerusakan warga Rogdok kembali pakai lampu minyak atau lampu togok. “Cukup lama itu,” katanya.

Berbeda dengan di Rogdok, Desa Saliguma,  Kecamatan Siberut Tengah punya pasokan bambu sedikit dan harus mengirim dari luar desa pakai transportasi air.

Mateus Sakubou, warga Saliguma mengatakan,  awalnya warga bisa saja terbantu tetapi PLTBm ternyata tak berjalan normal.

Saat Menteri Bappenas datang ke SLaiguma bahan baku pakai bambu. Setelah itu, bahan bakar pembangkit adalah kayu-kayu lunak yang dipotong kecil-kecil sepanjang jari kelingking. Mereka dibayar Rp700 per kg.

Listrik mati-hidup dalam waktu berdekatan. “Menyala dua jam. Tiba-tiba mati. Sejam atau dua jam kemudian padam lagi,” katanya.

Lantas kayu-kayu yang sudah mereka potong akhirnya tidak menghasilkan apa-apa. Hanya menghabiskan tenaga dan waktu.

Muksin Sakorokoinan,  Kepala Dusun Silabok Abak,  Desa Saliguma mengatakan,  awalnya warga cukup antusias gunakan listrik biomassa bambu. Mereka membeli televisi, kulkas dan alat elektronik lain. “Belum tiga bulan,  televisi dan kulkas itu mati. Rusak,” kata Muksin terkekeh.

Martha, warga Saliguma mengatakan,  kalau listrik menyala 24 jam mereka bisa berkegiatan lebih banyak. Anak-anak bisa belajar di malam hari.

Matias, suami Martha membayangkan kalau listrik hidup 24 jam di Saliguma, ekonomi akan bergerak. “Masyarakat bisa punya pekerjaan lain,” katanya dengan volume suara dibesarkan karena suara hujan makin deras.

Saat di Madobag, Mongabay bertemu dengan pekerja di PLTBm. Leinge Simalaget, namanya. Dia sudah sembilan bulan bekerja di PLTBm Madobag.

“Waktu itu cuma sebulan yang gunakan bahan bakar bambu. Cuma mati setiap dua jam dan ganti solar,” katanya.

Dia mengatakan,  mesin pun sempat terbakar. “Bagian yang menampung bambu itu debu menyumbat terus terbakar,” katanya saat ditemui Desember lalu.

Pembangkit biomassa gagal?

Energi listrik berbahan bakar bambu di Mentawai gagal. Alih-alih pakai bambu, malah lebih sering bahan bakar kayu dan solar. Itu pun ada yang bertahan hanya empat sampai enam bulan. Sisanya,  gunakan solar dan anggaran subsidi Pemerintah Kepulauan Mentawai. Sejak 2022,  PLN membantu mesin diesel dan itu pun sementara.

Pada 2018,  tiga PLTBm berbahan bakar bambu terbangun, di Desa Saliguma, Madobag dan Matotonan. Pembangkit di Desa Saliguma kapasitas 250 Kwh, Madobag (300 kwh) dan Matotonan (150 Kwh).

Pada 2022,  semua pembangkit itu berhenti total.

Hendrikus,  mantan kepala perusahaan daerah (perusda) di Mentawai yang pernah bertanggungjawab terhadap PLTBm di Siberut mengatakan,  serapan listrik dari masyarakat juga rendah. Seperti di Matotonan, daya serap masyarakat hanya 11 kwh dari 150 kwh.

”Di Madobag, ada kapasitas 300 kWh tapi daya serap 28 kWh. Di Saiguma daya 250 kWh dengan serapan sekitar 22 sampai 24 kWh,” katanya.

Pemerintah Mentawai juga terbebani anggaran mensubsidi PLTBm ini. Tahun pertama pada 2019, mereka alokasikan Rp4 miliar, tahun kedua Rp6 miliar dan tahun ketiga Rp2 miliar.

Selama tahun-tahun itu subsidi habis untuk biaya operasional. Tahun 2022,  belum ada alokasi karena pemerintah daerah beralasan tidak ada anggaran.

Pada 8 Januari 2022,  perusda membuat surat penyerahan wewenang ke pemerintah daerah. Hendrikus mengatakan,  ada komunikasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PT PLN Sumbar dan wakil bupati.  Mereka  menyepakati PLN masuk untuk mengaliri listrik dan bawa genset. “Seluruh biaya dari PLN tapi status hanya sementara,” katanya.

PLN Unit Induk Distribusi (PLN UIW) Sumatera Barat mencatat rasio elektrifikasi per Oktober di Kepulauan Mentawai 72,43% dengan total 99,52%. Dalam rilis PLN mengatakan, saat ini PLN membantu listrik dengan genset mobil milik PLN untuk pasokan listrik di Desa Saliguma, Madobag dan Matotonan.

Bantuan ini sementara, kata PLN,  mungkin sampai ada pembangkit baru atau pembangkit energi terbarukan baru yang mengakuisisi pengoperasian genset mobil di sana.

Sekarang,  seluruh pasokan listrik Mentawai masih dari PLTD termasuk SIberut. PLN memiliki 14 pembangkit listrik di Siberut dengan kapasitas terpasang 3.537 kW.

Sedang pembangkit listrik biomassa di Pulau Siberut,  sudah tidak beroperasi sejak November 2021.

Hendrikus mengingat, awal mulai proses pengoperasian pembangkit. Kurang lebih empat bulan, katanya,  mesin pembangkit tidak tersentuh sama sekali.

“Pada 2018,  awal sampai Agustus baru Bappenas turun tangan,” katanya.

Pada tiga sampai empat tahun pertama,  mesin ini boleh menggunakan kayu residu karena menunggu bambu tumbuh. “Maka didatangkanlah kayu untuk bahan bakar. Dari ladang-ladang masyarakat kita kumpulkan lalu kita timbang. Lalu ada yang mengatakan itu ditebang, ketika masyarakat sudah menebang ratusan kita tidak bisa lagi mengontrol,” katanya.

Saat itu yang mereka terima kayu basah. “Daripada membusuk yang ditumbangkan, itulah yang kita pakai. Itu di Saliguma. Kalau di Madobag dan Matotonan,  kita pakai bambu. Akhir 2018,  pembangkit itu hidup berbahan bambu dan kayu di Saliguma,” katanya seraya bilang, solar pasti dibeli karena hidup hanya enam jam.

Operasi hanya enam jam, katanya karena setiap kali menghidupkan pertama butuh bahan bakar cukup banyak hanya untuk menghidupkan. “Bisa 100 liter untuk memancing pertama, normalnya keluar gas dari bambu baru secara otomatis.”

Persoalan lain, adalah tidak tentunya hitungan penggunaan bambu. “Kalau seperti solar itu bisa kita hitung satu liter untuk berapa lama. Bambu ini tidak. Terkadang pada jam ketiga, keempat atau kelima berbeda-beda,” katanya.

Meski pun begitu Hendrikus yakin kalau dia hidupkan 24 jam akan lebih hemat. Tentu saja dengan tambahan biaya. Niat itu tak terwujud.

Baca selengkapnya…

Foto: Jaka Hendra/Mongabay Indonesia