Tepat di Hari Anti Tambang (HATAM), 29 Mei 2019, Natasya Aprilia Dewi (10), menghembuskan nafas terakhirnya setelah tenggelam di lubang bekas tambang batu bara di Simpang Pasir, Samarinda. Gadis kecil ini adalah korban ke-34 yang mati tenggelam di lubang-lubang tambang yang ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan setelah kandungannya habis.

Seperti biasa, usai sahur, Rabu kemarin, Natasya berangkat ke langgar untuk salat subuh. Bedanya, kali ini ia tidak sempat berpamitan. Ia bermain bersama enam teman sebaya dan mengajak berenang ke lubang tambang yang tak jauh dari pemukiman warga. Saat berenang, Natasya dan teman perempuannya tenggelam. Mereka sempat diselamatkan warga yang mendengar teriakan anak-anak.

Purwanti (29) sang ibu, berlari dari rumah dan mendekap tubuh kecil yang kuyup itu kemudian membawanya ke Instalasi Gawat Darurat RSUD I.A Moeis. Kondisinya memburuk. Penjelasan dokter, seperti dikutip dari media lokal, paru-paru Natasya penuh air. Ia banyak menghirup kotoran dan beberapa pembuluh darahnya pecah. Lepas tengah hari, gadis ciliknya meninggal. Purwanti menangis menjadi-jadi. Lebaran yang tinggal beberapa hari, tidak akan sama lagi bagi keluarga.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, lubang kematian itu milik PT Insan Baraperkasa (IBP), anak perusahaan PT Resource Alam Indonesia Tbk, Rain Group. Sebuah perusahaan yang meninggalkan begitu saja lubang-lubang pertambangannya. Luas konsesinya 24.477 hektar setara dengan hampir dua kali Kota Jakarta Selatan. Dan pada Juni 2018, Gubernur Kaltim memberikan sertifikat peringkat “hijau” dalam program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup tahun 2017-2018. Izin operasi produksi yang diperbaharui pada 2016 berstatus clean and clear.

Jejak anak-anak yang mati di konsesi PT IBP tercatat pada 2012 silam. Seorang anak laki-laki Maulana Mahendra tewas tenggelam di lubang konsesi. Dan pada 9 April 2016, anak laki-laki bernama Muhammad Arham terjatuh di limbah batu bara yang tengah terbakar. Arham berkali-kali operasi.
“Total ada enam kasus (di PT IBP) dengan dua korban jiwa,” kata Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim kepada media.

Sesuai dengan Undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No.78 tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, sangat jelas bahwa perusahaan wajib menutup lubang bekas tambang paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan. Namun penegakan hukum inilah yang tidak pernah dijalankan.

Komnas HAM mencatat, selama 2011-2016, dari 27 kasus kematian di lubang tambang, 25 di antaranya anak-anak, hanya satu kasus yang lanjut di pengadilan. Itu pun hanya menghukum satpam dengan 2 bulan kurungan. Sementara pemilik konsesi yang harus bertanggung jawab oleh hukum Indonesia, justru tidak pernah disentuh.

“Jelas peristiwa itu pidana, bisa dikenakan sangkaan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain mati. Ancaman hukumannya 5 tahun penjara,” kata Herdiansyah Hamzah, Dosen Universitas Mulawarman kepada Tribun Kaltim, 31 Maret 2019. Ia juga menyebut pemerintah bisa beri sanksi administrasi berupa pencabutan izin.

Terlepas dari oligarki tambang dalam film dokumenter Sexy Killer-nya Watchdoc, yang akan membuat para elit pemerintah terperangkap karena diduga mendapat keuntungan besar dari bisnis batu bara ini, saya tergelitik mencoba mencari tahu apa saja tanggapan mereka atas kematian anak-anak bangsa ini.

Saya obrak-abrik berita di media daring tentang apa saja tanggapan para pemegang kendali pemerintah baik Gubernur, Menteri hingga sang Presiden Indonesia atas kematian mereka.

Beginilah tanggapan Isran Noor saat ditanya oleh kru film dokumenter Sexy Killers. “Korban jiwa itu di mana-mana terjadi. Yah, namanya nasib, dia meninggalnya di kolam tambang khan.”

Ketika korban ke-30 jatuh di Kutai Kartanegara: “Oh gitu. Sikap apa? Oh, enggak masalah. Nasibnya kasihan. Ikut prihatin. Pastilah ikut prihatin.”

Ketika korban ke-32 di Jalan Harun Nafsi, Samarinda: “Heran juga aku. Jangan-jangan ada hantunya. Kok, banyak korban anak-anak.”

Ketika korban ke-34, Natasya tewas: “Innalillahi wa innailaihi rajiun. Semoga ditabahkan keluarganya, diberikan kesabaran pula bagi keluarganya.” Wartawan lalu menanyakan langkah konkret mencegah terulangnya peristiwa ini, gubernur dua kali menjawab: “Ya, itu.” Ditanya lagi maksud jawabannya itu: “Ya, itu.”

Sementara itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya saat kuliah umum di Universitas Mulawarman, 8 Maret 2019: “Lubangnya sudah lama ada,emang bisa dikerjakan sekejap? Emangnya Sangkuriang gitu bereskan sekarang, keesokannya selesai. Ini khan semua dalam proses diperbaiki.”

Bagaimana dengan presiden Joko Widodo? Setelah korban ke-30 dan ketika presiden berada di Samarinda, 25 Oktober 2018: “Silahkan tanyakan ke gubernur.” Ia mengatakan: “Di situ juga ada pidana. Jadi hati-hati.”

Peringatan sang presiden hanya jadi pepesan kosong. Sejak omongan itu disampaikan Jokowi, sudah lima korban anak tewas di lubang tambang.

Natasya, kamu mungkin sedang berada di surga, bersama 33 temanmu. Meski dalam hukum negara kita sudah cukup jelas bagaimana tindakan yang harus dilakukan pemerintah terhadap perusahaan tambang perusak dan perenggut nyawa itu, mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk memberikan pernyataan simpati atas kematian kalian, mereka tak mampu.

Soal simpati ini, Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman mengatakan pemerintah selama ini memang tidak punya sense of humanity sama sekali. “Sisi kemanusiaannya sudah mati,” katanya.

Natasya, di hari internasional perlindungan anak-anak yang jatuh hari ini, kami ingin menyampaikan permohonan maaf. Maaf karena punya gubernur dan presiden yang tak bisa bertindak apa pun. Meski mereka sangat bisa mencegah kematian anak-anak lainnya setelah kamu. Oligarki tambang telah menjerat leher mereka. (*)