Jakarta, 4 Oktober 2020- Surat berisi permintaan dukungan kinerja operasional kepada PLN dari Menteri BUMN Erick Thohir pada Menteri ESDM Arifin Tasrif, belum lama ini beredar ke publik. Dalam suratnya, Erick Thohir meminta Kementerian ESDM agar membantu PLN dalam mengatasi kondisi oversupply (kelebihan pasokan) pembangkit dengan meningkatkan konsumsi listrik dari pelaku usaha, dan melakukan penyesuaian Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2029 dengan pertimbangan kapasitas infrastruktur ketenagalistrikan yang telah dan sedang dibangun, proyeksi demand, dan kemampuan pendanaan baik yang bersumber dari APBN maupun keuangan PLN.

Surat tersebut menyiratkan PLN sedang dalam kesulitan besar. Sebelumnya, dalam laporan keuangan kuartal I 2020, kerugian PLN tercatat mencapai 38 triliun rupiah. Tak hanya itu, PLN juga terjerat utang 500 triliun rupiah. Menurut Direktur PLN Zulkifli Zaini, utang ini untuk membiayai pengadaan program megaproyek infrastruktur listrik 35.000 MW yang diusung Presiden Joko Widodo saat kampanye pemilihan presiden 2014 lalu.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Meiki W. Paendong mengemukakan, kondisi oversupply PLN akan semakin diperparah dengan penambahan proyek PLTU batubara baru seperti di Indramayu dan Cirebon dalam waktu dekat. “Selain menambah oversupply, pembangunan ini akan semakin mempertajam penderitaan rakyat terdampak karena dipaksa kehilangan ruang lahan sumber kehidupan mereka. Mirisnya, rakyat lagi yang diperah, didorong untuk menyerap kelebihan listrik itu,” ujarnya.

Krisis yang terjadi pada PLN merupakan konsekuensi dari buruknya kualitas perencanaan dan pengelolaan perusahaan selama bertahun-tahun. Kondisi pandemi hanya semakin mengekspos masalah mendasar yang dialami PLN dan tak bisa lagi ditutup-tutupi. Selama ini, setiap tahun, PLN membuat RUPTL untuk proyeksi kebutuhan listrik ke depan dengan mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan ekonomi.

Saat ini, sistem kelistrikan Jawa-Bali mengalami oversupply karena faktor pertumbuhan ekonomi yang menjadi acuan, ternyata tidak sesuai dengan target yang ditetapkan. Dalam RUPTL 2019, asumsi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,5 persen, tetapi pencapaian pemerintah hanya sebesar 5,02 persen. Akibatnya, proyeksi penjualan listrik pun meleset dari target. Padahal, pendapatan PLN sepenuhnya bergantung dari penjualan listrik. Studi IESR menemukan adanya kelebihan proyeksi permintaan di regional Jawa-Bali dan Sumatera, berkisar 20-50 persen lebih tinggi dibandingkan tren pertumbuhan listrik dalam satu dekade terakhir. Melihat data rata-rata historis (2012-2017), pertumbuhan listrik di JawaBali sebesar 4,9 persen jika dibandingkan dengan pertumbuhan listrik berdasarkan RUPTL 2018-2027 sebesar 6 persen.

“Pemerintah harus segera mengambil langkah penyelesaian menyeluruh atas krisis yang dialami PLN. Tidak hanya berupaya menyelesaikannya dari sisi demand dengan meningkatkan konsumsi listrik, tetapi juga seharusnya fokus menyelesaikan permasalahan mendasar pada sisi supply dengan tidak membangun proyek baru. Pembangunan proyek baru dalam situasi ketidakpastian pasar hanya akan mengakibatkan PLN semakin merugi dan menambah beban utang hingga 600 triliun rupiah atau setara dengan seperempat APBN 2020,” kata Andri Prasetiyo, Peneliti dan Pengampanye Trend Asia.

Ia menambahkan bahwa wacana pemerintah –dalam surat Kementerian BUMN kepada Kementerian ESDM– untuk menghentikan pembangunan pembangkit bukan hanya sebatas pernyataan normatif. “Langkah yang rinci dan konkrit harus dilakukan. Pemerintah harus segera membuka daftar proyek pembangkit mana saja yang akan dihentikan dan kapan keputusan penghentiannya akan dikeluarkan,” tuntutnya.

Sebagaimana diketahui, hingga saat ini tidak sedikit rencana pembangunan pembangkit bahkan yang akan dimulai. Seperti pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 di Cilegon, Banten yang diprediksi akan membuat PLN mengalami kerugian lebih besar. Merujuk studi pra-kelayakan proyek yang dilakukan Korea Development Institute (KDI), dari segi bisnis, proyek PLTU Jawa 9 & 10 tak menguntungkan bagi investor dan mitranya di Indonesia yakni PLN karena hasilnya menunjukkan indeks profitabilitas negatif dan berpotensi menjadi aset terlantar. Ditambah, kehadiran PLTU Jawa 9 & 10 akan menambah beban kesehatan bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

“Pemerintah tidak perlu memaksakan membangun pembangkit baru, apalagi pembangkit listrik batubara, karena betul-betul tidak akan bermanfaat. Selain disebabkan pasokan listrik sudah berlebih, pembangunan PLTU Jawa 9&10 juga akan semakin memperburuk kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat di wilayah terdampak aktivitas PLTU,” tutup Edi Suriana, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FORMAPEL) wilayah terdampak PLTU Suralaya.