Mongabay-Beberapa pekan lalu, kabar baik datang dari Mahkamah Agung yang memutuskan izin operasi produksi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) harus dicabut. Tak lama setelah itu, masih bulan sama, 17 Januari lalu, Robison Saul, nelayan Sangihe yang tak mau pulau jadi tambang emas perusahaan yang sama kena vonis bersalah sembilan bulan penjara oleh Pengadilan Negari Tahuna.

Koalisi Save Sangihe Island mengecam vonis hakim ini. Vonis itu menambah catatan buruk perlindungan bagi pembela HAM dan lingkungan hidup di Indonesia.

Vonis terhadap Robison bermula 14 Juni 2022, ketika nelayan ini diamankan polisi Ketika aksi spontan menghadang alat berat TMS di Kampung Saluran, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, bersama warga penolak tambang yang lain.

Penolakan alat berat mewarnai gejolak penolakan TMS, di hari-hari sebelumnya. Di hari itu, alat berat yang dihadang Robison akan menuju Kampung Bowone, pusat aktivitas perusahaan.

Polisi tangkap Robison dengan tudingan bawa pisau berbesi putih yang terselip di sakunya. Polisi anggap barang itu senjata tajam.

Beberapa jam sebelum penghadangan, Robison masih di rumah, menyiapkan perlengkapan buat melaut di Pantai Dagho, Kecamatan Tamako. Pagi itu, cuaca memburuk. Robison tak pergi melaut dan menyimpan seluruh perlengkapan di perahu.

Tak lama kemudian, Robison menerima kabar kalau alat berat TMS kembali memasuki Sangihe dan sudah berada di Salurang, kampung berjarak 13 kilometer. Robison pergi.

Menurut Koalisi Save Sangihe Island, besi putih itu dibawa Robison sebelum ikut menghadang alat berat.

Koalisi SSI dalam siaran pers yang diterima Mongabay, mengecam keras vonis terhadap Robison. Koalisi bilang, Robison tak hanya nelayan, juga membela hak dan lingkungan karena tak ingin kampung dan hidup nelayan rusak karena tambang skala besar.

“Demi keadilan, seharusnya majelis hakim dapat melihat keadaan masyarakat di Sangihe,” kata Adhitiya Augusta, kuasa hukum Robison dari Trend Asia, organisasi non-pemerintah yang mendorong percepatan transformasi energi dan pembangunan di Asia Tenggara.

“Seperti apa dan penyebab Robison sampai duduk di kursi pesakitan ini, karena apa? Majelis hakim masih melihat secara legalistik di kasus Robison ini.”

Vonis itu, kata Adhitiya, menambah catatan buruk terhadap perlindungan bagi pembela HAM dan lingkungan di Indonesia. Dia kecewa, lantaran majelis hakim tak menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kepemilikan pisau seperti Robison, kata koalisi, bukanlah hal asing bagi masyarakat Sangihe, terutama nelayan karena berguna untuk memotong ikan, jala hingga mencabut karang yang menempel badan kapal.

Menurut Adhitiya, apa yang dituduhkan kepada Robison “mengada-ada” dan pasal yang disangkakan “tidak tepat.”

“Mengingat besi putih merupakan senjata untuk pekerjaan yang tidak dapat dipidana sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Darurat 12/1951.”

Baca selengkapnya…