Jakarta, 5 April 2023 – Sejak program B30 diluncurkan pada 2018 hingga 2021, permintaan Crude Palm Oil (CPO) untuk sektor energi meningkat sebesar 14% per tahun. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) menunjukkan konsumsi CPO untuk biofuel naik dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020. Di sisi lain, pangsa CPO untuk industri makanan malah turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020. Hal ini tentu berdampak pada stabilitas harga pangan.

Selain itu, tarik-menarik ini juga berimbas pada konflik lahan. Pada 2022, luas perkebunan sawit di Indonesia sudah mencapai 16,8 juta hektar. Dengan program B50, yang dicanangkan untuk 2025, akan dibutuhkan tambahan lahan seluas 9,29 juta hektar lagi untuk kebutuhan energi. Kebutuhan lahan mendorong konflik agraria. Pada 2022, terjadi 80 kasus konflik agraria, meningkat dari 59 kasus pada 2021. Konflik semacam ini tentu merugikan masyarakat marjinal, seperti masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan. Belum menimbang potensi deforestasi dari pembebasan lahan bagi keanekaragaman hayati, suplai pangan dan air bersih, serta fungsi hutan sebagai penyimpan karbon [1].

Angka permintaan (demand) biofuel dalam bingkai transisi energi merupakan salah satu penyebab krisis. Sebagai contoh, pada rentang 2022 lalu Indonesia didera krisis kelangkaan minyak goreng yang cukup berdampak pada masyarakat. Hal ini tentu kontradiktif dengan posisi Indonesia yang merupakan negara produsen CPO terbesar di dunia dengan produksi 47,03 juta ton per tahun. Angka tersebut merupakan setengah dari angka produksi global, sehingga idealnya Indonesia memiliki suplai minyak sawit yang stabil dan aman. 

“Nyatanya, stok minyak goreng di pasar retail naik turun bahkan sampai benar-benar tidak ditemukan. Harganya pun, naik tajam hingga pemerintah harus mengeluarkan minyak goreng bersubsidi untuk masyarakat kurang mampu. Meskipun situasi ini telah mereda karena harga internasional sudah turun, akan tetapi potensinya masih ada. Dengan asumsi bahwa perkebunan sawit tidak akan ekspansi dan feedstock biodiesel tidak ada diversifikasi, maka krisis seperti tahun 2022 dapat berpotensi terulang kembali,” ungkap Ramada Febrian, Peneliti Senior Traction Energy Asia.

Hal ini diperumit dengan langkah pemerintah yang menggencarkan program co-firing (pembakaran bersama) biomassa pelet kayu dan batubara di PLTU dalam agenda transisi energi di Indonesia. Pemerintah menargetkan co-firing biomassa di 107 unit PLTU di Indonesia. Demi memenuhi target co-firing di PLTU tersebut hingga 2025, setidaknya dibutuhkan 2,3 juta hektar lahan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE). Kebutuhan masif ini semakin memperbesar risiko konflik akibat perampasan lahan dan deforestasi. Deforestasi juga menurunkan ketahanan pangan komunitas masyarakat adat yang kebutuhan pangannya tergantung pada hutan. 

“Hutan Tanaman Energi hanya varietas baru dari cara korporasi melakukan land grabbing terhadap tanah-tanah yang selama ini dikelola rakyat, sebelumnya kita tahu ada industri tambang, hutan tanaman industri, dan perkebunan kelapa sawit. Perampasan lahan ini dijustifikasi oleh pemerintah melalui narasi transisi energi, sehingga dimungkinkan ekspansi lahan dan lahirnya izin-izin baru hutan tanaman energi. Padahal implementasi co-firing biomassa hanya solusi palsu untuk memperpanjang pemakaian batubara. Namun, imbasnya bagi masyarakat adalah terputusnya akses untuk pemenuhan hak asasi manusia, yaitu hak atas pangan,” ungkap Amalya Oktaviani, Manajer Portofolio dan Riset Bioenergi Trend Asia.

Pengembangan sawit dan HTE untuk menyuplai bahan bakar secara langsung menyebabkan deforestasi, kerusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya sumber-sumber air, dan perampasan lahan masyarakat. Sementara di tingkat makro, kompetisi antara lahan untuk energi dan pangan, akhirnya menyebabkan kenaikan harga pangan yang membuat pemenuhan pangan yang baik semakin tidak terjangkau. Untuk mendorong transisi energi yang mewujudkan nilai-nilai partisipatif, menghormati HAM, adil secara ekologis dan ekonomi, serta transformatif, maka solusi-solusi palsu seperti ini perlu dikritisi di dalam narasi transisi energi di Indonesia.

Ketersediaan pangan merupakan hal yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pangan merupakan hak dan kebutuhan dasar setiap makhluk hidup, sehingga negara wajib memenuhinya. Sayangnya, kebijakan yang muncul beberapa tahun belakangan ini justru berkebalikan. Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan ekonomi, ketimbang pemenuhan hak dasar warganya.

Dalam hal minyak goreng misalnya, semakin besarnya dorongan untuk menumbuhkan sektor energi nabati tidak hanya menyebabkan hambatan akses dan pemenuhan hak atas pangan karena alokasi untuk pangan semakin kecil dari energi, tetapi situasi ini dapat menyebabkan terjadinya perluasan area kebun. Biasanya, perluasan area kebun kerap kali menyerobot hutan yang bagi sebagian masyarakat menjadi sumber pangan dengan keragaman yang dimilikinya.

“Sektor lain yang memiliki potensi ekonomi besar tidak bisa dijadikan alasan untuk mengorbankan pemenuhan hak atas pangan. Sektor energi hari ini menjadi salah satu yang berkembang dan didorong lebih green dengan memanfaatkan sumber nabati. . Betul bahwa kita juga perlu mengurangi laju penggunaan energi fosil untuk keberlanjutan, namun tidak dengan mengorbankan sektor pangan. Dua tahun terakhir kita memiliki pengalaman penting bagaimana kepentingan sektor energi menyebabkan persoalan serius pada pemenuhan akses pangan masyarakat,” ujar Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan. 

Catatan kaki:

[1] https://dataindonesia.id/ragam/detail/ada-212-kejadian-konflik-agraria-di-indonesia-pada-2022

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia