Liputan 6-Puluhan kayu gelondongan dari sejumlah jenis pohon, seperti Meranti, Keruing (Dipterocarpus retusus), Racuk, terhampar dan menumpuk di area konsesi PT HAN yang berada di wilayah administrasi Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin, Jambi, pada awal April 2022. Tak jauh dari onggokan kayu-kayu logging itu, berdiri bukit-bukit coak. Pohon-pohonnya habis digaruk bulldozer.

Pada kayu-kayu gelondongan yang siap diangkut itu tak tampak barcode yang memuat informasi secara spesifik kayu. Namun, bekas komandan satpam perusahaan Khairul mengatakan, tumpukan puluhan kayu gelondongan itu milik PT HAN.

Tumpukan kayu-kayu bulat dengan panjang rata-rata belasan meter itu ditebang sekitar tahun lalu ketika Khairul masih bekerja di dalam perusahaan. Tanah merah bekas garukan alat berat terlihat jelas dengan sisa tumbangan kayu. Khairul mengatakan, kini kondisi hutan di desanya amat kontras dengan kondisi dulu sebelum ada izin perusahaan tersebut.

“Kayu di hutan yang ada di Nalo Gedang ini sudah habis, jadi sekarang PT HAN nebang ke arah desa tetangga–Desa Nalo Baru,” ucap Khairul.

PT HAN yang dimaksud pria paruh baya itu, adalah Hijau Artha Nusa–perusahaan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan nomor SK 183/Menhut-II/2013 tertanggal 25 Maret 2013 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman. Perusahaan mendapat izin konsesi seluas 32.620 hektare, separuh luas Jakarta.

Dalam dokumen akta perusahaan yang tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada Februari 2021, perseroan ini dipimpin warga negara Korea Selatan, Han Man Seong. Dia di perusahaan ini mengempit 30.475 lembar saham atau senilai Rp3,45 miliar.

Pemilik saham lain adalah Woorim Energy CO., Ltd yang berkedudukan di Bangi-dong, Songpa, Seoul, Korea Selatan. Woorim Energy yang menjadi pemilik saham mayoritas menggenggam sebanyak 142.000 lembar saham atau senilai Rp14,2 miliar. Dalam dokumen akta yang tercatat, perusahaan ini masuk penanaman modal asing (PMA).

Di Provinsi Jambi perseroan menguasai konsesi hutan di Kabupaten Merangin dan Sarolangun total seluas 32.620 hektare. Konsesi perusahaan di Blok I yaitu di Kecamatan Tabir, Tabir Ulu, dan Tabir Barat dengan luas penguasaan 11.104 hektare.

Pada kawasan Blok II yaitu di Nalo Tantan, dan Renah Pembarap dengan garapan seluas 10.964 hektare. Sementara itu, di Blok III Kabupaten Sarolangun, mencakup wilayah administrasi Kecamatan Cermin Nan Gedang dan Limun dengan menguasai konsesi seluas 10.169 hektare.

Dalam profilnya korporasi yang mendapat kucuran dana investasi dari Negeri Gingseng–julukan Korea Selatan ini bergerak dibidang pengembangan industri energi terbarukan lewat pemanfaatan produk biomassa–pemerintah menyebutnya Hutan Tanaman Energi (HTE) monokultur. Metode awal yang dilakukan perusahaan yaitu dengan menebang kayu alam.

Setelah kayu alam ditebang, perusahaan lantas melakukan penyiapan lahan atau land clearing, dan kemudian menanam dengan tanaman energi jenis kayu sengon (Albizia chinensis). Perusahaan mengalokasikan tanaman energi untuk jenis sengon itu seluas 10.001 hektare.

Dari kayu sengon itu, kemudian mereka proses menjadi bahan baku biomassa dalam bentuk wood pellet sebagai bahan bakar energi terbarukan. Wood pellet ini akan dijadikan sebagai campuran batu bara untuk (co-firing) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Manajer Umum PT HAN Muchlisin Madras mengatakan, pembukaan hutan tanaman industri itu bertujuan untuk menghasilkan kayu pertukangan dan kayu sengon sebagai bahan baku biomassa–energi baru terbarukan dalam bentuk wood chip dan wood pellet.

Produk energi biomassa ini diklaim rendah emisi dan bisa mengurangi penggunaan energi fosil batu bara. Muchlisin mengaku perusahaan berambisi mengembangkan rencana ini karena ingin mendukung pemerintah untuk membuat sumber energi terbarukan.

 “Perencanaan awal kita mau bikin industri green energy dalam bentuk pengolahan wood pellet sebagai pengganti batu bara. Rencana produknya juga mau diekspor ke Korea Selatan,” kata Muchlisin.

Tak hanya untuk bahan baku energi, wood pellet juga akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar penghangat ruangan. Penghangat ruangan ini sangat diperlukan bagi negara-negara yang mengalami musim dingin seperti Korea Selatan, Jepang, Tiongkok, dan berbagai negara di Benua Eropa.

Maka untuk kelangsungan produksi bahan baku wood pellet ini kata Muchlisin, diperlukan skema Hutan Tanaman Industri (HTI). Di samping menguasai izin konsesi HTI, perusahaan sambung Muchlisin, telah mendapatkan perizinan untuk pendirian kilang penggergajian (sawmill), pabrik triplek (plywood), dan pabrik pengolahan serbuk kayu (wood pellet).

Meski telah mengantongi ketiga pendirian pengolahan kayu itu, nyatanya perusahaan sekarang baru mampu mendirikan sawmill dan menjual kayu gelondongan yang ditebang dari alam.

 “Untuk yang plywood dan wood pellet belum ada, yang sudah didirikan baru sawmill,” kata Muchlisin.

Begitu pula dengan penanaman sengon, yang katanya bakal jadi sumber energi tak banyak direalisasikan perusahaan. Dari rencana tanaman energi jenis sengon yang dialokasikan seluas 10.001 hektare, perusahaan baru merealisasikannya satu persen atau 100 hektare dengan usia tanam 3 tahun.

Sedangkan hutan yang telah dibabat tampak dibiarkan begitu saja meninggalkan jejak hilangnya tutupan pohon. Muchlisin tak banyak menjelaskan secara gamblang mengapa prioritas perusahaan hanya menebang dan menjual kayu alam. Sementara produk turunannya biomassa masih jauh dari target.  “Sekarang ini untuk penanaman kayu sengon mandek,” ujar Muchlisin.

Rekam Jejak HAN Berlindung di Balik Investasi Hijau

Pemberian izin IUPHHK-HT kepada perusahaan asal Korea Selatan ini menjadi kisah tentang eksploitasi hutan di Kabupaten Merangin, Jambi. Sebelumnya pada tahun 2011, ada 13 desa yang wilayahnya administrasinya bakal masuk area konsesi perusahaan meminta pemerintah untuk menghentikan perizinan yang diajukan PT HAN.

Selain bisa memperpanjang konflik lahan, warga khawatir pemberian izin terhadap perusahaan bisa memunculkan bencana ekologis. Ini lantaran konsesi PT HAN berdekatan dengan sungai Mangkilam yang lebat dengan vegetasi kayu hutan. Warga takut eksploitasi kawasan akan merusak ekosistem dan memicu bencana ekologis ke depannya.

“Warga yang tinggal di pinggir sungai secara umum sudah merasakan dampaknya, sering kena banjir,” kata Kepala Desa Nalo Gedang Zuhadi seraya menambahkan bahwa ketika PT HAN hendak beroperasi, sempat ada penolakan dari warga.

Meski sempat ada penolakan, namun akhirnya pemerintah berkeras untuk tetap mengeluarkan izin konsesi pada tahun 2013. Setelah keluar izin tersebut, jajaran manajemen perusahaan mulai rutin menemui tokoh masyarakat dan pemilik lahan dengan membawa segudang janji atas nama menyejahterakan rakyat.

Kepala Desa Nalo Gedang menjelaskan, kiprah perusahaan ketika beroperasi juga tak memberi kontribusi yang signifikan kepada masyarakat desa. Bahkan bagi hasil dari kayu yang keluar berdasarkan kesepakatan, belum juga dibayarkan. Padahal sesuai perjanjian desa mendapat bagi hasil sebesar Rp50.000 per satu meter untuk setiap kubik yang dikeluarkan dari kawasan hutan.

Itu sebab, Zuhadi juga mempertanyakan soal transparansi kayu logging yang keluar dari konsesi. Seingatnya perusahaan masih punya tunggakan bagi hasil ratusan juta rupiah.

 “Perusahaan masih ada hutang kepada desa, yang dibayarkan baru sekitar Rp100 juta. Masih ada sisanya (hutang) sekitar Rp 150–200 juta yang belum dibayarkan. Sudah beberapa kali kami minta, yang ada hanya alasan-alasan,” ucap Zuhadi.

Begitu pula saat masuk ke desanya, Zuhadi mengaku, belum pernah mendengar rencana perusahaan yang akan mengembangkan bisnis wood pellet untuk bahan baku energi biomassa. Yang dia ketahui aktivitas perusahaan lebih aktif menebang kayu alam.

Alih-alih mengembangkan green energy lewat produk biomassa wood pellet, dalam praktiknya perusahaan justru gencar menebang kayu alam. “Kayu-kayu alam ditebang dan dijual, kalau untuk energi belum pernah dengar,” ujar Zuhadi.

Di Desa Nalo Gedang–28 kilometer dari Kota Bangko Merangin, perusahaan itu mulai menebang kayu pada tahun 2019. Menggunakan alat khusus, kayu-kayu gelondongan itu diangkut ke kilang penggergajian (sawmill) dan kemudian dijual ke Surabaya dan Medan.

Bila menilik bisnisnya, ternyata keuntungan menjual kayu alam lebih gede dibandingkan dengan bisnis kayu pellet. Mengacu pada situs yang mempertemukan penjual dan pembeli dalam skala business to business (B to B) Indotrading.com, harga jual wood pellet untuk boiler biomassa berkisar Rp1.500 per kilogram.

Sementara itu, jika mengacu harga jual kayu loging jauh lebih gede dan untung. Untuk jenis meranti ukuran paling kecil, 3 x 10 x 400 cm mencapai Rp5.700.000 per meter kubik. Dari kedua perbandingan ini ditengarai kalau perusahaan lebih melirik bisnis jual kayu alam.

Investasi dan label hijau yang terbungkus di PT HAN diduga sebagai kedok. Perusahaan hanya melakukan greenwashing dan kenyataan perusahaan ini sama sekali tak menjunjung konsep ESG (environment, social, and good governance). Mereka hanya menebang kayu alam dengan dalih mengembangkan energi baru terbarukan. Dugaan ini muncul lewat perbandingan dengan hutan yang telah ditebang itu lebih luas dibandingkan dengan luas penanaman sengon.

Manajer Humas PT HAN Marliyos menjelaskan, perusahaan mulai beroperasi sejak 2019 hingga saat ini telah menebangan pohon seluas sekitar 500 hektare. Pihaknya juga mengakui sebagian lahan sudah dilakukan land clearing, namun belum dilakukan penanaman penanaman jenis sengon. Dari luasan tebangan kayu alam ini, setelah berjalan tiga tahun perusahaan baru menanam 100 hektare sengon.

“Kalau tebangan pohon sudah agak luas atau sekitar 500 hektare. Rata-rata kalau sudah tebang itu tidak langsung di land clearing,” ujar Marliyos.

Kiprah perusahaan sebenarnya telah terkonfirmasi lewat hasil data post audit yang dilakukan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Hasil audit yang telah dipublikasikan itu menyatakan bahwa di lokasi PT HAN melakukan penanaman tidak sesuai target/rencana yang disusunnya di Rencana Kerja Tahunan (RKT). Kemudian pembibitan di PT HAN banyak belum ditanam dikarenakan masalah pegawai banyak dirumahkan.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Ahmad Bestari, mengklaim selalu melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Namun, ia tidak mengetahui secara gamblang soal tanaman energi yang digadang-gadang oleh PT HAN.

“Kalau wood pellet itu bagian dari bisnis perusahaan, kita tidak sampai (pengawasan) ke situ (bisnis),” ujar Ahmad Bestari ketika menghadiri rangkaian Pekan Rakyat Lingkungan Hidup di Jambi.

Sementara itu, hasil analisis geospasial yang dilakukan tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi disebutkan, wilayah konsesi PT HAN terdiri dari hutan hujan dataran rendah di Sumatra. Rentang waktu analisa menggunakan platform Global Forest Watch (GFW) ini dilakukan sejak 2014 atau setelah izin diberikan, sebanyak 4.312 hektare tutupan hutan di area konsesi perseroan musnah.

Adapun rinciannya pada tahun 2014, tutupan hutan yang hilang mencapai 537 hektare, dan 170 hektare (2015), 398 hektare (2016), 307 hektare (2017), 139 hektare (2018). Kondisi tutupan hutan semakin meningkat pada tahun 2019 ketika perusahaan mulai aktif menebang kayu.

Klaim Marliyos yang menyebut mereka telah menebang kayu seluas 500 hektare berbeda dengan hasil analisis geospasial yang diolah Walhi Jambi. Hasilnya sejak 2019–2021, luas tutupan hutan berkurang mencapai 990 hektare dengan rincian sebagai berikut; 254 hektare (2019), 495 hektare (2020), dan 241 hektare (2021).

Masih menurut analisis geospasial Walhi Jambi, dari kawasan konsesi PT HAN ada 25.272 peringatan deforestasi yang dilaporkan antara rentang waktu 17 Desember 2020–19 Juni 2022. Peringatan melalui sistem GFW ini memiliki kepercayaan 76 persen.

Menurut organisasi lingkungan Walhi Jambi, alih fungsi hutan atas nama tanaman energi dapat menimbulkan masalah baru. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi Abdullah mengatakan, eksploitasi hutan selain dapat menimbulkan konflik lahan, juga dapat memicu bencana ekologis seperti banjir.

“Kalau wilayah hutan di hulu dihabiskan akan berpotensi menimbulkan bencana. Banjir datang lebih cepat karena daerah tangkapan air sudah hancur,” kata Abdullah.

Apa yang dikhawatirkan masyarakat kini jadi kenyataan. Eksploitasi hutan di Kabupaten Merangin mendatangkan bencana banjir. Pada November 2020 lalu, otoritas penanggulangan bencana setempat melaporkan, ratusan rumah di 4 kecamatan, yakni Tabir, Tabir Ilir, Tabir Timur dan Margo Tabir, terendam banjir. Banjir itu kata Abdullah, tentu saja bukan karena curah hujan yang tinggi. Namun masifnya aktivitas ekstraksi di hulu mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi.

Banjir itu diperparah oleh kondisi kerusakan di bagian hulu, dimana mana hutan yang menjadi benteng pertahanan telah dibabat habis, ujar Abdullah.

Selain itu, hutan yang dibabat di wilayah konsesi PT HAN itu adalah wilayah penting dan menjadi habitat satwa dilindungi. Pada April lalu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi menangani konflik satwa Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di Desa Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Merangin, Jambi.

Harimau yang telah memangsa belasan ternak warga desa itu, akhirnya bisa ditangkap tim penanganan konflik satwa BKSDA Jambi. Setelah menjalani rehabilitasi sekitar satu bulan lebih, satwa itu akhirnya kembali dilepasliarkan ke habitatnya di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS)

Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh menjelaskan, lokasi Desa Nalo Gedang, tempat harimau ditemukan itu hanya berjarak 20 kilometer dari batas paling luar TNKS atau hanya terpisah dengan kawasan HTI di Desa Nalo Gedang.

Rahmad menduga, wilayah jelajah harimau jantan tersebut berada di kawasan hutan di Nalo Gedang. Namun karena kondisi sekarang kawasan yang menjadi habitat harimau ini sudah beralih fungsi jadi hutan tanaman industri, sehingga memaksa satwa predator itu mendekati pemukiman warga dan memangsa ternak. “Banyaknya aktivitas manusia dan alih fungsi jadi penyebab harimau mendekati pemukiman,” kata Rahmad.

Sementara itu, upaya konfirmasi terkait implementasi Hutan Tanaman Energi (HTE) ini tak mendapat respon dari kementerian. Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugrah telah meminta daftar pertanyaan secara tertulis. Namun hingga artikel ini ditayangkan ia tak kunjung memberikan jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan.

Transisi Energi Setengah Hati

Pemerintah hingga kini terus memopulerkan Biomassa menjadi satu dari sederet sumber energi terbarukan pengganti energi fosil. Tapi menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rio Rompas, celah untuk mendapatkan bahan baku alternatif sebagai pengganti energi fosil batu bara itu bakal menyisakan persoalan penggundulan hutan.

Kondisi itu nantinya justru akan menambah emisi dari sektor kehutanan, pertanian, dan lahan (AFOLU). Rio menilai dari awal memang tidak ada niat yang tulus dari pemerintah untuk benar-benar meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi bersih. Persoalan krisis iklim saat ini Rio bilang, sudah jelas dan tidak terbantahkan, sehingga jika skema palsu (co-firing PLTU) ini tetap dijalankan akan memperparah emisi.

Co-firing ini kan sumber bahan bakar energinya tetap masih dari batu bara dan ditambah dari biomassa HTI. Justru ini dobel dan membuat emisi baru dari pembukaan lahan dan hutan,” kata Rio.

“Kalau memakan lahan dan nebang pohon sudah tidak terbarukan lagi,” sambung Rio.

Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo mengatakan, Indonesia, menjadi salah satu negara yang aktif untuk program energi terbarukan dengan menggunakan biomassa. Program ini Edi bilang, sejalan dengan  target net zero emission yang tersusun dalam peta jalan menuju 100 persen energi terbarukan pada 2060.

Dalam webinar yang diselenggarakan Trend Asia itu, Edi mengatakan, dukungan untuk mencapai net zero emission ini diberikan dalam berbagai bentuk, salah satunya menggenjot co-firing PLTU atau mencampur batubara dengan bahan bakar biomassa.

Dari sektor ketenagalistrikan, co-firing PLTU jadi salah satu cara pemerintah untuk mempercepat capaian energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025. Edi Wibowo menjelaskan, proses co-firing adalah dengan menambahkan biomassa sebagai bahan pengganti parsial ke dalam boiler batubara tanpa modifikasi yang signifikan.

“Biomassa dianggap mudah dan murah karena tanpa perlu membangun pembangkit baru, karena hanya memanfaatkan PLTU yang ada,” kata Edi Wibowo.

Sesuai peta jalan transisi energi saat ini ada kata Edi, terdapat 52 lokasi PLTU dengan total kapasitas 18.664 megawatt akan jadi target co-firing hingga tahun 2025. Adapun potensi bahan baku biomassa untuk co-firing PLTU ini dari tanaman energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri kayu dan sampah rumah tangga.

“Setelah itu tergantung pengurangan PLTU dengan transisi energi menuju net zero emission,” ujar Edi. Dia menambahkan target pemanfaatan EBT ini sesuai dengan PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.

Kementerian ESDM mengklaim program biomassa co-firing pada PLTU akan meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 1,8 persen dengan proyeksi kebutuhan biomassa sekitar 10,2 juta ton per tahun pada 2025.

Untuk saat ini kata Edi, Indonesia memiliki eksisting bahan bakar biomassa (B3m) untuk co-firing dari hutan energi seluas 49.578 hektare dengan produk yang dihasilkan sebanyak 991.560 ton. Selain itu Indonesia juga punya potensi pengembangan untuk hutan energi seluas 27,2 juta hektare dengan potensi produk biomassa yang dihasilkan sebanyak 544,4 juta ton.

Di samping untuk penggunaan co-firing dalam negeri, ternyata Indonesia menjadi pemasok produk biomassa wood pellet untuk pembangkit tenaga listrik berbasis biomassa. Data statistik perdagangan internasional PBB menyebut rentang waktu lima tahun terakhir 2016-2020, ada 44 negara penerima palet kayu dari Indonesia untuk pembangkit tenaga listrik berbasis biomassa yang besarnya mencapai 20.905 ton dengan nilai impor 15.4 juta dolar Amerika.

Korea Selatan dan Jepang menjadi negara importir kayu palet terbesar mencapai 14.888 ton dengan nilai impor 11.7 juta dolar Amerika.

Sarah Agustio, Juru Kampanye Biomassa dan Peneliti Trend Asia–sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada isu energi bersih terbarukan, dalam kajiannya awal mengatakan, pemenuhan kebutuhan co-firing biomassa untuk PLTU memiliki banyak risiko. Penggunaan biomassa skala besar untuk co-firing PLTU justru mendorong penggunaan lahan secara besar-besaran dan mengancam keragaman hayati.

“Ini merupakan ancaman terbesar untuk alih fungsi lahan dan pembakaran komoditinya akan memperburuk krisis iklim. Dan juga biodiversitas dan ekosistem di dalam hutan akan berdampak,” ujar Sarah.

Metode co-firing biomassa sudah digunakan sejak akhir 1990-an di berbagai negara, termasuk Cina dan India. Menurut sejumlah penelitian, biomassa disebut sebagai sumber energi terbarukan. Di Indonesia, isu transisi energi dengan biomassa mulai gencar digulirkan pemerintah pada tahun 2019.

Namun Sarah menilai, co-firing biomassa adalah solusi palsu transisi energi. Hasil biomassa yang dicampur dengan batubara tidak akan mengurangi paparan polusi yang sudah lebih dahulu diderita warga baik di sekitar pembangkit maupun kehidupan di sekitar hutan.

Jika pemerintah serius untuk melakukan transisi energi, seharusnya sambung Sarah, pemerintah lebih fokus melihat peluang lain untuk energi bersih terbarukan yang tidak berbasis penguasaan lahan dan hutan besar-besaran, yang justru memperparah krisis iklim. “Membakar palet dan serpih kayu sama saja dengan membakar hutan,” ujar Sarah.

Pembukaan hutan alam dengan dalih untuk tanaman energi biomassa seperti dilakukan PT HAN di Jambi bak pisau bermata dua yang menancap pada upaya mitigasi perubahan iklim. Selain mendorong kerusakan hutan alam di wilayah hulu Jambi, pembangunan hutan tanaman energi yang belum jelas juntrungannya, malah menyisakan duka bagi Khairul. Impian hidup sejahtera dengan bekerja di perusahaan ini pupus. “Sampai hari ini hak gaji saya belum dibayarkan,” ucap Khairul.

Baca selengkapnya…

Hasil liputan ini juga terbit di Ekuatorial.com pada 18 Juli 2022.

Foto: Melvinas/Trend Asia