Jakarta, 22 Maret 2023 – Dalam rapat Paripurna masa persidangan ke IV yang diadakan pada Rabu, 21 Maret 2023, DPR menerabas konstitusi dan mengesampingkan kepentingan publik sebab memilih untuk mengesahkan Perppu Cipta Kerja Nomor 2 tahun 2022 yang seharusnya sudah kadaluarsa menjadi undang-undang. Seharusnya Perppu tak boleh lagi disahkan karena “masa persidangan terdekat” dari dikeluarkannya Perppu yakni masa persidangan ke III yang diadakan pada 10 Januari-16 Februari 2023, sesuai dengan amanat pasal 22 ayat 2 UUD 1945.

Gelagat pengangkangan konstitusi oleh para penyelenggara negara sudah terlihat jelas ketika pada tanggal 15 Februari 2023, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengambil sikap setuju untuk mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. Bahkan sebelum disahkan menjadi undang-undang pun pemerintah telah membentuk tim satgas sosialisasi Perppu Cipta Kerja. Niat untuk mengesahkan Perppu Cipta Kerja terlihat sangat besar karena di tengah gelombang penolakan masyarakat dari berbagai elemen, mereka memilih untuk mendengar kepentingan elite. Kesepakatan yang dilakukan DPR ini menunjukkan bahwa lembaga itu telah kehilangan harga dirinya karena tak menjalankan fungsi pengawasannya terhadap kerja pemerintah yang anti demokrasi, mengangkangi konstitusi dan melindungi kepentingan elite oligarki.

Sejak pertama kali disebut Jokowi pada tahun 2019, UU Cipta Kerja membabat hampir 80 peraturan lainnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan hingga perlindungan lingkungan, yang sejak awal proses pembentukannya cacat prosedur karena mengabaikan partisipasi publik dan tidak terbuka. Hingga puncaknya, Mahkamah Konstitusi dalam pembacaan putusan pada 25 November 2022 telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta kepada pemerintah serta DPR untuk merevisi aturan tersebut dengan partisipasi bermakna dari masyarakat. Namun, di akhir tahun 2022, Presiden Jokowi justru memberi kejutan kepada rakyat dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang memiliki substansi serupa dengan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional. 

Saat menerbitkan Perppu, pemerintah berdalih untuk menyelamatkan ekonomi, atas dasar kegentingan krisis iklim, dan krisis pangan. Namun, pasal-pasal yang terkandung dalam Perppu Cipta Kerja justru berkebalikan dan disusupi oleh kepentingan pebisnis perusak lingkungan. Selain itu, pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang semakin menunjukkan bahwa  transisi energi yang berulang kali digembar-gemborkan para penyelenggara negara hanya omong kosong.

Dalam pasal 128A misalnya, disebutkan soal royalti 0% kepada pemegang IUP/IUPK yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara. Pasal ini disisipkan di antara pasal 128 dan pasal 129 dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Artinya, Royalti 0% ini akan dinikmati bila perusahaan besar batubara melakukan proyek peningkatan “nilai tambah” semu melalui kegiatan hilirisasi seperti gasifikasi batubara. 

Padahal hilirisasi seperti gasifikasi batubara berpotensi akan menjadi proyek yang merugikan keuangan negara. Selain itu, penggunaan batubara juga akan memperparah dampak krisis iklim di Indonesia karena proyek pembuatan DME dengan kapasitas sebesar 1,4 juta ton per tahun dengan kebutuhan 6 juta ton batubara akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,26 juta ton CO2-eq/tahun,” ujar Novita Indri, juru kampanye Trend Asia.

Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang merupakan cara pemerintah memberi subsidi paling baru bagi industri batubara. Selain itu, aturan ini akan terhubung dengan pembentukan RUU EBET yang saat ini dibahas oleh DPR. Hal ini menambah deretan keistimewaan bagi industri energi kotor dalam memperpanjang umur penggunaan batubara, sumber energi yang dalam proses hulu hingga hilirnya jelas menimbulkan kerusakan dan bencana bagi lingkungan dan manusia.

“Akal-akalan ini hanya akan mengunci Indonesia dalam laju kenaikan emisi yang dapat memperparah krisis iklim yang artinya bertolak belakang dengan alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja dan juga akan menjadi  batu sandungan upaya transisi energi,” tegas Novita. 

Alasan bodong lain pemerintah atas penerbitan Perppu terkait memperparah krisis iklim juga tercermin dalam Pasal 110 A yang disisipkan di antara pasal 110 dan pasal 11 dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Aturan ini justru memberi kelonggaran pada perusahaan yang menggunakan hutan secara ilegal. Dengan disahkannya Perppu No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, perusahaan tersebut tidak akan dikenai sanksi pidana apabila mengurus izin sebelum 2 November 2023.

“Keberadaan Pasal 110 A dalam UU Cipta Kerja lagi-lagi memberi karpet merah kepada pengusaha sektor energi yang berniat mengalihfungsikan hutan lindung menjadi hutan tanaman energi yang digunakan sebagai bahan “oplosan” batubara dalam menciptakan energi listrik di PLTU sebagai  biomassa (pelet kayu). Potensi pengalihan fungsi dan luas hutan lindung ini semakin memperparah krisis iklim dan menghambat proses transisi energi yang bersih serta berkelanjutan,” ujar Adhitiya Augusta, Tim Advokasi Trend Asia.

Pembabatan hutan pun dapat semakin merajalela akibat pengubahan Pasal 18 UU Kehutanan yang menghilangkan ketentuan batas minimal luas kawasan hutan dari yang semula harus dipertahankan minimal 30%. Hal ini terlihat bahwa pemerintah memprioritaskan ekonomi, investasi dan kelancaran usaha industri ketimbang perlindungan terhadap hutan, lingkungan serta pengentasan krisis iklim.

Wajah asli Pemerintahan jokowi secara tidak langsung mengatakan bahwa “l’etat c’est moi” yang berarti “negara adalah saya”. Mulanya dalam UU P3, negara tidak mengakui metode pembentukan “omnibus” lalu direvisi menjadi diakui. Pemerintahan Jokowi telah mengubah negara hukum menjadi negara yang “rule by law”. Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ini penuh dengan “conflict of interest” dari para pebisnis di sektor energi dan tambang. Ini terlihat jelas dengan pengesahan revisi UU KPK, UU Mineral dan Batubara, UU IKN, dan KUHP yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan alasan kegentingan yang dibuat-buat, rezim pemerintahan sekarang melegitimasi kekuasaan dan pembentukan kebijakan yang dalam prosesnya problematik serta melanggar prinsip participation meaningful dan ugal-ugalan (fast-track legislation and cruelty process), bahkan melanggar hak-hak asasi manusia baik itu hak-hak prosedural maupun hak-hak substantif demi keuntungan segelintir pihak.

“Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang menjadi contoh bahwa gejala legalisme otokratis sedang menjangkit rezim pemerintahan Jokowi-Ma’ruf saat ini, dan kepentingan elite oligarki sangatlah besar dalam mempengaruhi tatanan hukum negeri ini,” tegas Adhitiya.

***

Foto: Trend Asia