CNN Indonesia–Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustaya mengatakan penggunaan gas oleh sejumlah negara hanya menjadi distraksi dari transisi energi, dan tidak sepenuhnya mengadopsi bebas emisi.
“Persoalan dari gas adalah ini bukan solusi yang sebenarnya dan akan menunda transisi yang sebenarnya. Jadi kalau kita dorong gas, berarti di sisi kita, kita tidak akan bisa zero emission di 2050 karena kalau kita bangun sekarang gasnya akan tetap ada 2060-2070,” ujar Tata dalam webinar Quo Vadis Komitmen Transisi Energi di G20? Refleksi Atas Hasil KTT G7 di Jerman, Selasa (19/7).

Tata menjelaskan meskipun gas menghasilkan lebih sedikit emisi ketimbang energi fosil, namun tetap membawa dampak buruk bagi lingkungan dan mempercepat krisis iklim.

Sebab itu, ia menegaskan pentingnya negara-negara untuk berhenti menunda transisi energi karena urgensi untuk mencegah krisis iklim semakin besar.

“Penundaan ini menjadi persoalan karena kita memiliki waktu yang sempit untuk menghentikan krisis iklim,” katanya.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia Andri Prasetiyo mengatakan banyak kajian yang membuktikan penggunaan gas sebagai sumber energi dapat mengunci negara, baik maju maupun berkembang, dalam ketergantungan dengan energi kotor.

“Jadi dia bukannya menjadi jembatan untuk menghubungkan energi terbarukan, justru malah dia mengunci karena sifatnya dia relatif menina-bobokan negara-negara yang memang sudah terlanjur memilih (gas),” sebut Andri.

Ia mengatakan sejumlah negara sudah terlanjur nyaman menggunakan gas sehingga tidak ada dorongan untuk melakukan transisi energi. Padahal, emisi yang dikeluarkan gas pun tidak lebih ramah dibandingkan karbondioksida dari energi fosil.

“Oh ya sudah gas lebih enak, tapi kuncinya adalah kita tahu bahwa gas juga menimbulkan methane dan itu juga tidak lebih ramah dibandingkan carbon dioxide,” katanya.

Baca selengkapnya…

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia