Penulis: Arif Yogiawan

24 September 1960, suatu sejarah baru bagi kemerdekaan Indonesia. Di mana UU Pokok Agraria, diterbitkan sebagai jalan menuju terwujudnya revolusi Indonesia. UU Pokok Agraria sendiri dimaksudkan, untuk melepaskan atau memerdekakan kaum tani dari belenggu imperialisme dan kolonialisme. Resmi pada saat itu Agrarishe Wet Undang-undang Agraria yg dibuat oleh negara kolonial dihapuskan.

Agrarische wet adalah suatu Undang-Undang yang memfasilitasi pencaplokan (baca ekspansi kapital) tanah-tanah rakyat oleh bangsa Eropa. Memfasilitasi perusahaan perkebunan dan kehutanan bangsa Eropa serta menjadi landasan bagi tanam paksa.

Karena semangat utama UUPA adalah melawan Imperialisme dan kolonialisme maka, UUPA memiliki beberapa nilai dan prinsip penting:

1. Anti ekspansi, hal ini digambarkan melalui larangan adanya tanah absente. Yaitu tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh orang-orang luar kecamatan.

2. Anti perbudakan di atas tanah, hal ini digambarkan melalui adanya larangan penguasaan tanah berlebih atau batas maksimum kepemilikan tanah. Karena jika seseorang memiliki tanah luas, otomatis akan melahirkan praktek perbudakan di atas tanah.

3. Anti terhadap kapitalisme, hal ini digambarkan melalui larangan menelantarkan tanah. Di mana menjaga kesuburan dan kelestarian tanah dinyatakan menjadi kewajiban seluruh warga negara, maupun badan hukum dengan memprioritaskan kepentingan ekonomi lemah.

4. Demokrasi ekonomi, tergambar karena hakekat dari ketentuan tentang larangan menelantarkan tanah adalah bahwa setiap jengkal tanah di Indonesia harus memberi manfaat bagi perekonomian terutama mereka yang lemah. Bahkan ketegasan itu dinyatakan dalam UU Pokok Agraria dengan “salah satu penyebab hilangnya hak atas tanah adalah karena tanah tersebut diterlantarkan”.

5. Dalam rangka itu pula kemudian kepada semua pemegang eks hak barat diharuskan untuk mendaftarkan tanah-tanah tersebut selambat-lambatnya tahun 1980. Jika tidak didaftarkan maka akan menjadi tanah negara.

6. Hal itu pula yang melandasi kebijakan land reform di Indonesia. Di antaranya adalah untuk menghilangkan ketimpangan penguasaan tanah dan akses redistribusi tanah yang merata bagi rakyat Indonesia terutama mereka yang secara ekonomi lemah.

Namun, setelah 62 tahun UUPA, yang hari lahirnya diperingati sebagai hari tani nasional justru nilai dan prinsip yg terkandung di dalam UUPA diabaikan.
Perluasan industri yang kapitalistik memberikan ruang luas untuk mencaplok dan menguasai tanah-tanah rakyat. Sebuah mitos yang bernama “kepentingan umum” atau agenda “pembangunan” justru menghempaskan hak rakyat dengan melabeli sebagai penyerobot lahan.

Instrumen kriminalisasi dan kekerasan negara untuk memuluskan pengambilalihan tanah rakyat melalui Proyek Strategis Nasional, Obyek Vital Nasional, Pengadaan Tanah untuk kepentingan Umum serta Bank Tanah nyata-nyata semakin menjauhkan rakyat dari hak akses atas tanah. Berbagai Undang-Undang melegitimasi instrumen kekerasan tersebut. Misalnya UU Cipta Kerja, UU Minerba dan berbagai UU lainnya.

Jadi, bagaimana kita merayakan hari tani dalam situasi seperti ini? Tak ada lain selain terus menyuarakan kebenaran, membalikkan mitos dengan fakta dan menebarkan semangat perlawanan.

Selamat Hari Tani Nasional

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia