Kemenangan kembali diraih warga Sangihe ketika Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi izin produksi dan operasi PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Januari lalu. Pasalnya, sudah hampir tiga dekade PT TMS menancapkan kukunya di pulau kecil Sangihe. Agustinus Mananohas, tetua warga dari Kampung Salurang, selalu kekeh menolak kehadiran tambang emas yang merangsek ruang hidup masyarakat itu. Walaupun rambutnya sudah memutih dan menginjak usia 77 tahun, Agustinus yang ramah disapa Opa Agus selalu siap pasang badan ketika alat berat masuk ke Sangihe sampai ikut menjadi penggugat utama izin operasi produksi PT TMS di PTUN Jakarta . 

Saya mencintai pulau Sangihe yang hijau membiru ini. Itu (keindahan alamnya) pertanda kalau Sangihe subur dan berkati Tuhan. Bagi saya Sangihe itu serpihan dari eden (surga), tempat tinggal saya punya keturunan hidup,” ujarnya. 

Keinginan Opa Agus menjaga kelestarian lingkungan Sangihe tak hanya untuk mempertahankan lahan agar anak dan cucunya bisa menyambung hidup. Namun, penghormatan kepada nenek moyangnya Gumansalangi, raja pertama Sangihe yang berasal dari Mindanao Selatan, Filipina. Secara garis keturunan, kira-kira Opa Agus lahir 20 generasi setelah Gumansalangi. 

“Ancaman TMS ini kan sama dengan penghancuran torang punya ruang hidup sama torang punya keturunan. Sangat menyakitkan,” kata Opa Agus.

“Sebelum tambang hadir tidak ada permasalahan, Torang di sini saling baku hormat, sekarang hancur kedamaian di kampung. Ruang pertanian rusak, ada juga yang kena racun karena tambang.”

Perusahaan yang sahamnya dipegang Sangihe Gold Corporation asal Kanada itu menandatangani Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah pada 27 April 1997. Kontrak tersebut berlaku sampai tahun 2027 dan dapat diperpanjang dua kali selama sepuluh tahun. Sejak saat itu PT TMS menerima lampu hijau dari pemerintah untuk melakukan aktivitas eksplorasi di pulau kecil yang berbatasan langsung dengan Filipina. 

Luas lahan konsesinya pun mencapai 42.000 hektare atau sekitar 420 km2, sementara luas Pulau Sangihe hanya 736,98 km2. Artinya lebih dari 50 persen wilayah Sangihe ada di tangan perusahaan itu. Kalau mengumpamakan luas pulaunya, seseorang bisa memulai perjalanan mengelilingi Sangihe menggunakan kendaraan roda empat dari ibukota Tahuna pukul sembilan pagi dan selesai mengitari pulau tersebut pukul sepuluh malam. 

Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil menegaskan, PT TMS seharusnya tidak menerima izin beraktivitas di Sangihe karena pulau tersebut tergolong sebagai pulau kecil. Mengacu pada Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. 

“Artinya Sangihe bahkan tidak sampai setengah 2.000km2, pulaunya sangat kecil,” kata Jamil. 

PT TMS Tak Patuhi Hukum

Jika merujuk pada Undang-undang Pertambangan No.4/2009 pasal 142 ayat 2, pemerintah dapat memberi teguran kepada pemerintah daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Karenanya, PT TMS tidak memiliki legitimasi untuk beraktivitas di Sangihe. 

“Tidak ada lokasi tambang dalam tata ruang Sangihe. Dalam RZWP3K (Ruang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) juga tidak ada ruang untuk pelabuhan pertambangan. Kalau melihat UU Penataan Ruang No.26/2007 ketika sebuah usaha atau proyek tidak sesuai dengan tata ruang, perizinannya wajib dicabut dan batal dalam hukum. PT TMS tidak memiliki legitimasi, mereka hanya bertumpu pada KK yang diberikan Soeharto tahun 1997,” jelas Jamil.  

Ia juga berpendapat, dalam UU No.27/2007 pasal 35 huruf K setiap orang secara langsung maupun tidak langsung dilarang untuk melakukan penambangan mineral apabila menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan dan merugikan masyarakat sekitarnya. 

“Daya rusak lingkungan dan konflik sosial ini sudah terjadi di Sangihe, bahkan ada kriminalisasi (Robison Saul). Teluk mereka sudah tercemar, sungainya kini berwarna merah, mangrove ditebang. Jadi kegiatannya terlarang,” ujarnya. 

Elbi Pieter, seorang ibu rumah tangga mengatakan, warga sangat terdampak ketika air sungai yang mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari jadi tercemar. “Kami pernah kehilangan air, sungai juga tidak bisa dipakai (tercemar). Begitu juga dengan air laut, suami saya selain petani dia juga nelayan, ini berdampak sama dia (hasil melaut sedikit). Hutan sekarang gundul. Saat ibadah ada pro dan kontra (tambang) yang terjadi di antara jemaat gereja,” ujarnya. 

Perempuan berusia 55 tahun itu juga terkejut ketika mendengar PT TMS mengantongi izin produksi dan lingkungan. “Waktu itu ada penawaran harga (membeli tanah warga) dan saya tanya berapa, mereka yang duduk di meja pimpinan bilang satu hektare itu Rp50 juta. Saya diam sedikit dan berpikir satu meternya itu Rp5 ribu. Lebih mahal kangkung di pasar,” kata Elbi. 

“Saya menolak tawaran, tapi bukan masalah harga.”

Senada dengan Elbi, Yudith, ibu rumah tangga dari Kampung Bawone juga merasakan sulitnya mendapatkan air karena limbah yang mengotori sumber air warga. Tambang emas yang merangsek ruang hidup mereka itulah yang memotori 56 perempuan Sangihe untuk menggugat pemberian izin lingkungan kegiatan penambangan emas PT TMS di PTUN Manado. 

Saya bertanya pada Yudith, “Kenapa perempuan yang menggugat?”

“Karena kami, perempuan dan ibu-ibu yang paling terdampak. Ketika air tercemar karena limbah dan sudah tidak ada lagi air bersih, kami mau ambil air dari mana? Posisi kampung Bawone kan kesulitan air. Ekskavator PT TMS pernah membuat air kami jadi macet,” jawabnya. 

PTUN Manado mengabulkan gugatan perempuan Sangihe untuk menunda pemberian izin lingkungan PT TMS dari Kepala Dinas Provinsi Sulawesi Utara, Juni lalu. Mengikuti kemenangan itu, gugatan banding oleh tujuh warga Sangihe–salah satunya Opa Agus–tentang pencabutan izin persetujuan peningkatan tahap kegiatan produksi PT TMS dikabulkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Dalam putusan Majelis Hakim surat izin operasi yang diberikan Kementerian ESDM itu dibatalkan. 

Meski demikian, PT TMS terus ngotot membawa alat berat semacam ekskavator dan alat bor. Pada 17 Agustus lalu, PT TMS melakukan mobilisasi alat berat ke kampung Bawone yang merusak gapura perayaan hari kemerdekaan. “Ini sangat mengecewakan karena bendera merah putih rusak dan jatuh ke tanah,” ujar Opa Agus. 

Dua  bulan sebelum insiden itu, tak lama setelah PTUN Manado mengeluarkan putusannya dan Komnas HAM menerbitkan surat agar PT TMS mematuhi putusan tersebut, PT TMS kembali melakukan mobilisasi alat bor, Kamis (14/6). Tepat di hari itu nelayan dan pembela lingkungan Robison Saul menggantungkan jalanya dan menghadang alat bor PT TMS di kampung Salurang. Robison dikriminalisasi atas tuduhan membawa senjata tajam pisau besi putih saat aksi penghadangan alat tersebut. 

Walaupun warga Sangihe menggenggam kemenangan Januari silam, di bulan yang sama Robison divonis bersalah dengan hukuman penjara sembilan bulan dan hampir tuntas. Namun, perjalanan menuju keadilan bagi pembela lingkungan masih panjang. 

Baca juga tentang Robison Saul, nelayan yang dikriminalisasi sebab tolak tambang PT TMS

Foto: Save Sangihe Island