Sudah empat bulan Widyawaty tak berjumpa dengan suaminya, Robison Saul yang dikriminalisasi karena menolak tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) di Sangihe.  Namun siang itu, Kamis (27/10) Widyawaty melangkah ke Pengadilan Negeri Tahuna dengan senyum di wajahnya. Harapannya untuk bertemu dengan Robison mungkin saja terkabulkan jika majelis hakim mengizinkan suaminya hadir secara langsung dalam persidangan. Pasalnya, sejak pandemi semua terdakwa persidangan selalu dihadirkan secara online lewat televisi yang diletakkan di tengah ruang sidang. Meski demikian, tetap besar keinginan Widyawaty untuk berjumpa dengan Robison apalagi setelah mendengar kabar suaminya jadi korban penganiayaan di Lapas IIB Tahuna. 

“Semoga persidangan nanti bapak hakim ada niat baik untuk menghadirkan suami saya supaya kami bisa bertemu,” ujarnya kepada saya. 

Sekitar dua pekan sebelum berjumpa dengan Widyawaty saya hanya sempat berbincang dengan dia melalui telepon. Sebenarnya saya tidak pernah menyangka akan menapakkan kaki di daerah paling utara pulau Sulawesi, walaupun saya lahir dan tumbuh besar di ujung selatan pulau yang sama. Saya bersama tim kuasa hukum Robison berangkat ke Sangihe menggunakan kapal feri yang berangkat pukul 19.00 WITA dari pelabuhan kota Manado. Butuh waktu sekitar delapan jam untuk sampai ke Sangihe, gelapnya lautan dan iringan orkes yang menggelegar di seluruh kapal mengantar saya tidur untuk menghindari mabuk laut. 

Kami tiba di pelabuhan Tahuna sekitar pukul 4.30 WITA, sehari sebelum sidang saksi dari jaksa penuntut. Birunya laut dan hijaunya rentetan bukit yang mengelilingi kota Tahuna langsung memanjakan mata saya. Pun, tak ada waktu untuk bersantai menikmati keindahan alam Sangihe, kala itu saya mengikuti tim kuasa hukum Robison yang akan bertemu dengan nelayan berusia 45 tahun itu pukul 10.00 WITA nanti. 

Robison sendiri ditahan atas tuduhan melanggar Undang-undang Darurat No.12/1951 terkait tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata tajam saat mengikuti aksi penghadangan alat berat milik PT TMS di kampung Salurang. Waktu itu, Kamis (14/6), Robison bersiap melaut di pantai Dagho, tapi mengurungkan niatnya karena cuaca buruk. Saat ia merapikan perlengkapan melautnya, termasuk pisau besi putihnya, Robison menerima kabar bahwa PT TMS kembali membawa alat berat ke Sangihe.

Ketika tiba di lokasi penghadangan Robison membuka terpal yang menutupi truk dan alat berat tersebut. Namun, dua orang aparat militer dan seorang polisi segera menahannya karena pisau besi putih itu tersimpan di saku dalam jaketnya. “Biar jelas saya buka terpal yang menutupi truk dan ada mesin bor, tapi kami diberitahu itu ekskavator. Yang punya mobil juga diberitahu kalau mobilnya mengangkut ekskavator, tapi ternyata mesin punya TMS,” kata Robison saat ditemui tim kuasa hukumnya di Lapas IIB Tahuna. 

Penting untuk diketahui kepemilikan pisau besi putih merupakan hal yang lazim bagi warga Sangihe, apalagi bagi nelayan. Pisau besi putih membantu mereka memotong jala dan ikan. Adapun sisi magisnya untuk menangkal puting beliung atau menghadapi gangguan supranatural saat melaut. Tetapi, Robison tetap dikriminalisasi, Senin (27/6) ia mendapat surat panggilan yang menetapkannya sebagai tersangka. 

“Tuduhan membawa senjata tajam jenis besi putih tidak terlepas dari upaya kriminalisasi PT TMS atas Robison yang vokal menolak tambang. Kasus yang menimpa Robison, kini berproses di Pengadilan Negeri Tahuna, terlalu dipaksakan dan bagian pembungkaman bagi Robison, seorang aktivis lingkungan,” kata kuasa hukum Robison, Frank Tyson Kahiking dari Lembaga Bantuan Hukum Manado (LBH Manado). 

Widyawaty merasa dunianya runtuh ketika Robison ditahan. Juni yang menjadi bulan paling bahagia untuk keluarganya karena sang putra semata wayang berulang tahun, kini diwarnai awan hitam. “Anak dan orang tua kami merasa sedih mendengar kabar itu. Tapi saya beri penguatan kalau Robison melakukan hal baik untuk kita semua, menolak tambang ini. Dia tidak melakukan hal-hal jahat,” ujarnya.

Perempuan berusia 44 tahun itu selalu berusaha untuk menemui Robison di Lapas, tetapi kerap terhambat perkara administrasi, seperti harus membawa KTP, kartu vaksin, dan surat izin tertulis dari pengadilan. Meskipun Widyawaty tak pernah menyerah, ia masih disulitkan untuk bertemu suaminya. Saat tim kuasa hukum bertemu dengan Robison saya menitipkan pertanyaan kepada mereka, “Apakah Robison sudah bertemu dengan Widyawaty?”

Ia menjawab: “Belum kemari nampaknya. Kemarin cuma ada barang yang dititip, tapi tidak baku dapat.” 

Widyawaty berujar kalau sekarang memang masa-masa yang sulit untuk keluarganya. Tetapi, orang-orang di sekitarnya terus memberikan penguatan, baik bantuan lewat bahan makanan, finansial, bahkan remaja di tempat kosnya sering menyemangati ketika mereka melakukan ibadah bersama setiap Kamis.

“Kalau di sini kami sebut itu baku kongkong (saling membantu),” kata Widyawaty. 

Hari itu sidang saksi dari jaksa penuntut seharusnya dimulai sekitar pukul sebelas siang, tetapi ditunda hingga pukul dua sore ketika permohonan tim kuasa hukum untuk menghadirkan Robison secara langsung dikabulkan majelis hakim. Widyawaty lalu bergegas membeli makan siang yang nantinya akan diberikan kepada Robison. Selama kami menunggu langit perlahan-lahan menggelap. Sangihe yang lembap menjadi lebih dingin dengan setiap hembusan angin, di sana Widyawaty menitip sebuah harapan. 

“Semoga ada angin bawa kabar baik,” ujar Widyawaty. 

Dianiaya Hingga Pingsan, Keadilan untuk Robison Saul

Waktu menunjukkan pukul 15.38 WITA saat Widyawaty dan tim kuasa hukum diizinkan untuk bertemu Robison di ruang tahanan Pengadilan Negeri Tahuna. Dalam ruang kecil berwarna putih itu Robison duduk mengenakan rompi merah, kemeja putih, dan celana hitam. Saat melihat Widyawaty ia tak langsung berdiri tapi berbicara dengan suara sangat pelan. Robison sesekali menyentuh dadanya kemudian mengangkat kaki celana dan menunjukkan betisnya seolah-olah ada bekas luka di sana. 

Pertemuan itu hanya berlangsung sekitar 10 menit, tapi Robison menceritakan penganiayaan yang ia terima selama di lapas. Perut Robison dipukul ketika masuk Lapas, Kamis (28/6), ia juga dipaksa jalan bebek karena itu menjadi tradisi untuk tahanan baru. Robison melakukan hal tersebut dalam keadaan tangan diborgol, dipukul, dan ditendang. Keesokan harinya ia dipaksa melakukan push-up dengan tangan diborgol dan diinjak punggungnya. Dadanya lalu ditendang sampai ia tidak sadarkan diri. Sampai saat ia bertemu dengan tim kuasa hukumnya di pengadilan, Robison masih merasakan sakit di dadanya. 

“Saat ketemu tadi ada bekas luka di kaki, dia dipukul sampai pingsan. Badannya juga jadi lebih kurus karena dia merasa tertekan atas situasi yang dia alami di Lapas,” kata Widywawaty. 

Tak lama setelah pertemuan singkat Robison dan Widyawaty sidang segera dimulai. Widyawati bersama kawan-kawannya melangkah cepat masuk ke ruang sidang, sementara orang-orang di luar mulai berkumpul dan mengintip dari jendela ingin ikut menyaksikan persidangan Robison Saul. Dalam ruangan sudah hadir empat saksi; dua anggota militer Junior Simon dan Fresly Ladi, polisi Laurensius Manopo, dan warga Frits Salenda. Saat memberikan kesaksian Junior Simon menyampaikan keterangan yang berubah-ubah. Awalnya ia mengatakan Robison pernah memegang pisau besi putih tersebut. Tetapi, saat kembali ditanya oleh hakim, ia menyatakan tak ada gerakan yang membahayakan orang lain dari Robison. 

“Terdakwa (Robison) sudah mendengar (kesaksian) tadi. Ada yang salah?” tanya hakim. 

“Mohon maaf, Yang Mulia, katanya tadi saya memegang pisau, saya tidak pernah pegang pisaunya.” ujar Robison. “Pisau itu bukan (diletakkan) di pinggang, Yang Mulia. Tapi ada di jaket, jadi dia (pisau) tidak dekat di badan. Karena di jaket itu ada tempatnya, ada kantongnya, Yang Mulia.”

Kuasa Hukum Robison, Adhitiya Augusta dari Trend Asia mengatakan, proses pidana yang dialami Robison jauh dari makna fair trial bahwa semua orang harus diperlakukan adil dan manusiawi ketika berhadapan dengan masalah hukum. Karenanya, penggunaan UU Darurat tampak seperti pemaksaan pidana dan situasi darurat yang dimaksud merujuk pada negara dalam keadaan kacau, seperti perang serta kerusuhan besar yang berdampak pada kondisi sosial, politik, dan ekonomi. 

“Sedangkan kondisi Robison, peristiwa yang menyebabkannya dipidana hanya sebatas penghadangan alat berat perusahaan yang masuk untuk memulai aktivitas pertambangan emas di Sangihe. Aksi spontan Robison dan masyarakat hanya bentuk penyampaian aspirasi dan penolakan untuk mempertahankan ruang hidup. Ini adalah hak asasi yang dijamin konstitusi dan UU tentang HAM,” jelas Adhitiya. 

Saat sidang berakhir kedua tangan Robison kembali diborgol, ia dikawal oleh polisi untuk kembali ke lapas. Langit sudah hitam dan hujan deras mengguyur Sangihe, kabarnya tak akan ada kapal yang bersandar di pelabuhan Tahuna sampai akhir Oktober nanti. Sementara Widyawaty terus berharap pasti akan ada keadilan hukum untuk Robison. 

“Untuk persidangan selanjutnya saya memohon kepada semua orang untuk melihat situasi yang ada dan membaca kembali agar suami saya menerima hukuman yang lebih ringan. Saya juga memohon agar orang yang menganiaya suami saya terungkap,” ujarnya. 

Sayangnya, saat Widyawaty dan anak laki-lakinya menghadiri sidang putusan, Selasa (17/1) lalu, Pengadilan Negeri Tahuna memberikan vonis bersalah sembilan bulan penjara. Putusan itu membawa kekecewaan, tak ada perlindungan bagi pembela lingkungan yang berjuang untuk rumahnya. 

Baca juga tentang PT TMS tak ada legalitas pertambangan di Sangihe

Foto: Tabayyun Pasinringi/Trend Asia