Lewat wacana pemberian subsidi kendaraan listrik, pemerintah ingin membidik satu solusi untuk banyak masalah. Namun, rencana itu sebaiknya tidak terburu-buru agar tidak menjadi solusi semu yang memunculkan masalah baru.
Kompas-Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Lewat satu kebijakan, dua tiga masalah teratasi. Kira-kira begitu harapan pemerintah di balik wacana pemberian subsidi motor listrik yang belakangan ini santer diberitakan.
Rencana tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat menjadi pembicara dalam acara Welcoming Stronger Investment Post-pandemic yang diadakan oleh Permata Bank, 30 November 2022 lalu.
Meniru Thailand yang telah duluan memberi subsidi untuk pembelian motor listrik, pemerintah juga akan memberi subsidi sebesar Rp 6,5 juta untuk meringankan harga jual motor listrik dan mendorong masyarakat beralih dari penggunaan sepeda motor berbahan bakar minyak (BBM).
Sampai hari ini, wacana itu belum final dan masih terus dibahas. Belum ada kejelasan terkait skema dan besaran subsidi yang akan disalurkan, termasuk timing-nya. Sumber pendanaannya juga belum diketahui, bisa dari belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam bentuk subsidi langsung maupun berupa insentif perpajakan dan kepabeanan.
Apa pun bentuk dan besarannya nanti, dari sinyal yang muncul, dukungan instrumen fiskal untuk mendorong konsumsi kendaraan listrik dan transisi energi di sektor transportasi akan tetap digulirkan pemerintah dalam waktu dekat. Bukan hanya motor, tetapi juga mobil listrik.
Saat ditemui di sela-sela acara Annual International Fiscal and Economic Development (AIFED) 2022 di Bali, pekan ini, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wahyu Utomo mengatakan, pemerintah tetap mendorong insentif kendaraan listrik selama itu dalam koridor pengelolaan fiskal yang sehat.
”Artinya, kebijakan itu harus menghasilkan net gain (keuntungan), bukan net loss (kerugian). Makanya, sedang kami timbang-timbang antara insentif yang nanti diberikan dengan nilai tambah yang bisa diperoleh, baik dari sisi fiskal, sosial, dan environmental,” kata Wahyu.
Setidaknya, ada tiga problem yang sekaligus ingin diatasi pemerintah lewat kebijakan tersebut, yakni mempercepat transisi energi dan pengurangan emisi karbon dengan mendorong demand daya listrik, menjawab masalah pasokan listrik berlebih, serta mengurangi besarnya beban impor minyak dan biaya subsidi BBM di APBN.
Pemerintah berharap bisa menggeser pelan-pelan beban anggaran untuk subsidi BBM menjadi subsidi kendaraan listrik. ”Kami maunya satu kebijakan ini bisa selesaikan banyak masalah. One policy for all solution. Soalnya tantangan sekarang ini berat, tidak bisa satu masalah dijawab hanya dengan satu solusi. Cost-nya terlalu besar,” ujar Wahyu.
Semu
Lantas, apakah pemberian subsidi motor listrik lebih banyak memberi untung ketimbang rugi? Soal itu, Wahyu belum bisa memastikan karena kajiannya masih bergulir. ”Belum diputuskan di level tertinggi,” ucapnya.
Berkaca dari pengalaman Thailand, subsidi yang ditawarkan pemerintah memang bisa menggerakkan investasi dan penjualan di sektor kendaraan listrik. Mengutip artikel ”Inside Thailand’s EV Revolution” di laman Bangkok Post, potensi demand akibat subsidi terbukti menarik lebih banyak investasi.
Pada triwulan I tahun 2022, komitmen investasi di sektor otomotif Thailand naik lebih dari empat kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi 1,2 miliar dollar AS. Sementara angka penjualan kendaraan listrik berbasis baterai di Thailand melonjak 223 persen pada sembilan bulan pertama 2022 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Menurut Manajer Program Trend Asia Andri Prasetiyo, jika tujuan pemerintah adalah untuk mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik, solusi subsidi terhadap harga jual bisa saja efektif, seperti yang terjadi di Thailand. Namun, jika tujuannya untuk mendorong dekarbonisasi, subsidi menjadi solusi yang semu.
Selama listrik masih dipasok dari batubara, subsidi untuk menggencarkan penggunaan motor listrik tetap tidak akan signifikan mengurangi emisi. Apalagi, kebijakan itu masih diarahkan bagi kendaraan pribadi, bukan untuk mendorong penggunaan transportasi umum listrik.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sektor yang paling banyak menyumbang emisi pada 2019 adalah industri produsen energi (43,83 persen) dengan penyumbang terbesar yaitu pembangkit listrik (97,22 persen). Adapun transportasi menyumbang 24,64 persen emisi.
“Kecuali di hulu (pembangkit listrik) sudah diganti dari batubara ke energi terbarukan, baru kita bisa mendorong demand untuk kendaraan listrik. Makanya, ini tergantung tujuan. Kalau golnya dekarbonisasi, solusi ini agak melompat,” katanya.
Sekilas, problem over suplai listrik seolah teratasi lantaran demand kendaraan listrik meningkat. Namun, dalam jangka panjang, jika demand meningkat tanpa diiringi pengembangan pembangkit listrik baru yang hijau serta ketegasan pemerintah untuk menghentikan pembangunan PLTU baru, pemberian subsidi justru akan kembali menambah ketergantungan pada batubara.
Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia