Katadata-Perang Rusia-Ukraina yang memantik kenaikan harga komoditas memberikan berkah kepada Indonesia. Terutama di sektor pertambangan dan penggalian yang kontribusinya mencapai 12,22% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2022.

Ini merupakan kontribusi terbesar dari sektor tersebut sepanjang satu dekade terakhir. Pada beberapa tahun sebelumnya, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian tidak pernah mencapai di atas 10%.

Namun, berkah tersebut jika tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat membuat Indonesia berpotensi mengalami kutukan sumber daya atau resource curse.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan Richard M. Auty, profesor geografi ekonomi dari Universitas Lancaster Inggris. Dalam Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis yang terbit pada 1993, dia menjelaskan negara-negara kaya sumber daya mineral seperti Bolivia, Cili, Peru, Jamaika, Papua Nugini, serta Zambia tidak mampu memanfaatkan kenaikan harga mineral dan minyak dunia pada 1970-an dan 1980-an untuk memberikan kesejahteraan rakyatnya.

Indonesia pada era boom minyak 1970-an dinilai sebagai salah satu negara yang mampu memanfaatkan rezeki minyak daripada negara pengekspor lain. Pemerintah pada waktu itu memanfaatkan keuntungan dari meroketnya harga minyak untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Salah satu kebijakan yakni melalui program SD Inpres yang membangun 61,8 ribu sekolah pada kurun 1973-1979. Esther Duflo, peraih nobel ekonomi 2019, pernah melakukan penelitian terhadap dampak kebijakan SD Inpres tersebut terhadap perekonomian masyarakat. Menurutnya, semakin tinggi tingkat pendidikan dapat meningkatkan rata-rata upah penduduk bekerja sebesar 3% – 5,4%.

Menurut mantan Wakil Presiden Boediono dalam artikel “Mengelola Rezeki ‘Export Boom’”, kunci keberhasilan tersebut terletak pada kemampuan mengelola dua hal, yakni mendapatkan bagian maksimal dari rezeki boom; dan mengamankan serta menggunakan dana itu secara efektif melalui APBN dan Repelita untuk mencapai sasaran pembangunan.

Hasilnya, penduduk miskin perkotaan di Jawa turun drastis dari 41,7% (1970) menjadi 13,1% (1981). Di perdesaan turun dari 43,7% menjadi 21,3%. Sementara di luar Jawa, penduduk miskin perkotaan turun dari 39,4% menjadi 17,7%, dan di perdesaan turun dari 29,3% menjadi 23,9%. Lalu penduduk tidak sekolah turun dari 45,2% (1971) menjadi 31,9% (1980). Kematian anak per 1.000 kelahiran turun dari 132 (1971) menjadi 71 (1985).

Bagaimana Kondisi Saat Ini?

Hania Rahma dkk. dalam “Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia” (2021) menemukan provinsi-provinsi kaya sumber daya alam tambang cenderung menghadapi ancaman resource curse yang lebih tinggi.

Menggunakan data 2019, penelitian Hania dkk. menyebut Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh merupakan lima provinsi paling rentan menghadapi fenomena resource curse. Fenomena ini membuat provinsi-provinsi tersebut sulit menciptakan pembangunan berkelanjutan dari kekayaan sumber daya tambangnya.

“Kalimantan Timur (misalnya) tidak cukup mampu menciptakan kinerja pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya yang sebanding dengan nilai kekayaan SDA tambang yang selama ini sudah dieksploitasi dari dalam bumi wilayahnya,” tulis penelitian yang terbit pada 2021 tersebut.

Suram di Provinsi Penghasil Nikel

Presiden Joko Widodo kerap menyebut keuntungan dari program hilirisasi nikel. Menurutnya, pendapatan dari komoditas nikel melonjak menjadi Rp510 triliun.

Namun, klaim presiden tersebut menuai kritik. Salah satunya dari ekonom Faisal Basri yang mengatakan program hilirisasi nikel tidak cukup dianalisis secara ekonomi atau bisnis. Menurutnya, perlu pendekatan lebih luas untuk membahas dampak hilirisasi ini, termasuk pendekatan kesejahteraan masyarakat.

Ada tujuh provinsi yang menjadi lokasi pertambangan dan pemurnian nikel. Ketujuh provinsi tersebut adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Sulawesi Tengah adalah provinsi yang paling memperoleh keuntungan dari industri nikel. Meski PDRB pertambangan dan penggaliannya hanya tercatat sebesar Rp49,7 triliun, PDRB industri pengolahan yang termasuk pemurnian nikel mencapai Rp130,4 triliun pada 2022.

PDRB industri pengolahan tersebut meningkat 56% dari tahun sebelumnya. PDRB industri pengolahan kini mencakup 40,3% dari total PDRB Sulawesi Tengah.

Meski begitu, besarnya porsi PDRB dari nikel tidak lantas menurunkan kemiskinan di Sulawesi Tengah. Tingkat kemiskinan di provinsi itu mencapai 12,4%, lebih tinggi dari angka nasional 9,36%.

Bahkan, hanya dua dari tujuh provinsi penghasil nikel yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah angka nasional. Kedua provinsi ini adalah Maluku dan Sulawesi Selatan.

Juru Kampanye Trend Asia Novita Indri mengatakan hal-hal ini menunjukkan tidak adanya trickle down effect dari nikel. Menurutnya, ada kerusakan struktural yang solusinya tidak sesederhana hilirisasi atau membangun perguruan tinggi di daerah-daerah tersebut.

“Devisa yang dihasilkan rasanya tak cukup untuk melakukan pemulihan lingkungan dan pemulihan sosial,” katanya.

Photo by Shane McLendon on Unsplash