VOA Indonesia-Momentum tahun politik 2024 menjadi pertaruhan masa depan hutan di Indonesia, yang turut menentukan arah kebijakan iklim, perlindungan lingkungan hidup beserta tata guna lahan. Sejumlah pegiat lingkungan mensinyalir isu lingkungan tetap akan menjadi isu nomor buntut dalam Pemilu 2024.

Program Manager Natural Resource and Economic Governance, Transparency International Indonesia, Ferdian Yazid, menyebut luputnya masalah lingkungan dari bahasan masa kampanye tidak lepas dari kepentingan sumber dana kampanye calon presiden maupun partai politik yang bersingungan dengan bisnis ekstraksi sumber daya alam.

“Misalkan dia sebelum pemilu, bilangnya pro-lingkungan, tapi setelah pemilu ternyata, bahasanya demi mengademkan (mendinginkan) suhu politik, tidak tahunya yang tadi awalnya musuhan pas pemilu, pas pasca-pemilu tiba-tiba malah berkoalisi,” tukas Ferdian.

Hal senada juga diungkapkan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. Ia mengingatkan pentingnya dalam memilih calon pemimpin masa depan yang berpihak pada kelestarian lingkungan secara cermat.

“Di momen ini adalah saatnya, atau peluang di mana kita bisa menentukan atau memilih calon pemimpin nantinya, pemimpin kita, yang bisa merealisasikan agenda-agenda perubahan atau perlindungan terhadap bencana, atau perubahan iklim nanti yang akan kita hadapi,” tukasnya.

Masalah pemimpin pro-lingkungan ini juga menjadi muncul di akar rumpit. Regina Bay, perwakilan masyarakat adat lembah Grime, Jayapura, misalnya. Ia mengatakan masalah pemimpin berwawasan lingkungan turut menjadi harapan warga di wilayahnya. Harapan itu muncul sejalan dengan banyaknya pemberian izin untuk membuka hutan di Grime hingga pada akhirnya mereka merasakan dampak berupa peningkatan suhu udara dan kesulitan air.

“Kami mengkhawatirkan juga di tahun politik ini. 2024 ini. Kalau pemerintahannya pro-lingkungan hidup, ya hutan yang tersisa ini akan selamat,” ujarnya.

Transisi Energi Korbankan Hutan

Direktur Eksekutif Trend Asia, Yuyun Indradi, menggarisbawahi program energi terbarukan pemerintah sulit terlaksana tanpa mengorbankan hutan. Misalnya saja program pemanfaatan limbah biomassa sebagai campuran bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pemerintah memilih biomassa untuk memangkas penggunaan batu bara di 52 unit PLTU sejalan dengan dilarangnya pembangunan PLTU baru.

Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Mufti Barri mengatakan penggunaan campuran biomassa seperti limbah kayu untuk mengoperasikan PLTU berpotensi meningkatkan pemanfaatan tanaman hutan menjadi bahan energi. Hal ini, katanya, tentu saja akan menambah cepat laju deforestasi hutan yang masih terisa. Upaya mendorong lebih cepat produksi tanaman energi ini, dikhawatirkan akan merusak lahan sehingga tidak lagi dapat ditanami.

Baca selengkapnya…

Foto: Kasan Kurdi/Trend Asia