Surat terbuka untuk industri fashion global mendesak merek-merek fashion untuk mempertimbangkan kembali penggunaan biomassa sebagai alternatif bahan bakar fosil dalam rantai pasok mereka untuk melindungi hutan.

  • Merek-merek fashion seperti H&M, Adidas, dan Zara berencana mengganti batu bara dengan biomassa, tetapi ini merupakan taktik greenwashing yang akan menunda transisi ke energi terbarukan yang benar-benar bersih.
  • Produksi biomassa meningkatkan risiko deforestasi – mengancam hutan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati, habitat bagi hewan-hewan yang terancam punah, mata pencaharian bagi masyarakat lokal, dan pertahanan penting terhadap perubahan iklim.
  • Industri fesyen harus menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, menghentikan praktik pembakaran biomassa, dan mempercepat adopsi sumber energi yang benar-benar bersih seperti tenaga surya dan angin.

    Pemerintah Indonesia berencana untuk mengganti 5 – 10% porsi batubara di Pembangkit Listrik batubara dengan biomassa seperti serbuk gergaji, pelet kayu, cangkang kelapa sawit, dan sekam padi. Menurut Trend Asia, peningkatan perkebunan tanaman energi untuk memenuhi suplai 10 juta ton biomassa yang diperlukan,dapat berisiko hilangnya lebih dari 2 juta hektar hutan alam – setara dengan 35 kali luas provinsi Jakarta atau 3,27 juta lapangan sepak bola.

    Indonesia memiliki salah satu hutan tropis terluas yang tersisa di dunia, termasuk satu-satunya habitat alami orangutan Sumatera yang terancam punah dan rumah bagi beragam masyarakat adat. Namun, surga ini semakin tergusur oleh deforestasi yang sebagian besar disebabkan oleh industri kayu, bubur kayu, dan kelapa sawit. Perluasan perkebunan monokultur untuk tanaman energi berpotensi semakin mencederai hak asasi manusia, yang di dalamnya termasuk ketahanan pangan, kualitas udara, mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat.

    Industri fashion mendorong permintaan bahan bakar kontroversial ini dengan mempromosikan biomassa sebagai alternatif batu bara untuk semua pemasok mereka di Asia Tenggara. Klaim bahwa biomassa bersifat netral karbon biasanya didasarkan pada celah akuntansi yang mengasumsikan bahwa pohon dan tanaman akan tumbuh kembali dan mengembalikan CO2 yang dilepaskan ke atmosfer dari deforestasi yang terjadi – sebuah klaim yang telah dibantah oleh para ilmuwan iklim.

Terlebih lagi, biomassa kayu sebenarnya menghasilkan lebih banyak emisi rumah kaca per kilowatt jam listrik daripada batu bara karena CO2 dihasilkan pada setiap tahap pemanenan, pemrosesan, dan transportasi. Oleh karena itu, jika berbagai merek fashion tersebut benar-benar serius tentang keberlanjutan, mereka harus fokus pada penghapusan batu bara secara bertahap serta tidak menggunakan pembakaran biomassa untuk mendorong transisi energi yang lebih bersih dan lebih ramah lingkungan.

Sebanyak 16 organisasi nirlaba yang berfokus pada keadilan iklim, energi, serta konservasi alam telah menandatangani surat tersebut, antara lain: Enter Nusantara, Kanopi Hijau Nusantara, Auriga Nusantara, Koaksi Indonesia, The Rainforest Action Network, 350 Indonesia, Srikandi Lestari, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), WALHI Jawa Barat, Traction Energy Asia, Koprol Iklim, Sajogyo Institute, AEER, PENA Masyarakat, YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan Trend Asia.

Amalya R. Oktaviani, Manajer Portofolio Bioenergi di Trend Asia, mengatakan:
“Transisi energi seharusnya mengeksklusi biomassa dari sumber energi terbarukan. Penelitian Trend Asia menunjukkan bahwa penggunaan biomassa kayu di pembangkit listrik termal dapat menghasilkan surplus emisi hingga 26,48 juta ton emisi setara karbon. Selain pembakarannya memproduksi particulate matter dan nitrogen oksida yang berbahaya bagi kesehatan. Implikasi buruk penggunaan biomassa tidak hanya berhenti di situ, ekspansi perkebunan monokultur untuk memproduksi biomassa akan mengakibatkan deforestasi, perampasan lahan, memperuncing konflik sosial, dan ancaman bagi ketahanan pangan.”

“Contoh nyata bisa kita lihat pada pengembangan biomassa di Merauke, Papua, yang sudah merampas hutan masyarakat adat dan menyebabkan kematian akibat kerawanan pangan. Contoh lain adalah praktik tipu-tipu pengembangan pembangkit listrik biomassa di Kepulauan Mentawai, yang mengancam hutan beserta eksistensi komunitas masyarakat adat Mentawai. Pengelolaan kebun monokultur juga akan menyumbang limbah yang mencemari air, tanah, dan udara. Jika industri fesyen bersikeras menggunakan biomassa agar dianggap telah bertransisi menuju energi terbarukan, maka hanya akan menambah daftar panjang kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat. Langkah ini juga akan memperburuk krisis iklim dan kontradiktif dengan komitmen mereduksi emisi. Kalau industri serius untuk transisi energi, maka harus bisa melampaui sumber energi yang berasal dari pembakaran. Kami mendorong transisi energi yang tidak hanya menggunakan energi terbarukan, tapi juga mengedepankan prinsip keadilan dan keberlanjutan. “

Selain di Indonesia, biomassa juga dipromosikan oleh industri fashion sebagai alternatif ‘rendah karbon’ dari batu bara untuk energi termal di negara-negara Asia Tenggara lainnya termasuk Kamboja, di mana investigasi baru-baru ini mengungkap adanya kaitan antara pabrik-pabrik garmen dengan aktivitas penebangan liar yang berbahaya.

Surat ini mendesak merek-merek fashion untuk mempertimbangkan kembali strategi dekarbonisasi rantai pasok mereka yang mengandalkan biomassa sebagai alternatif bahan bakar fosil dan, sebagai gantinya, mengalihkan investasi ke sumber energi terbarukan yang benar-benar bersih seperti tenaga surya dan angin.


PDF surat terbuka dapat ditemukan di sini.
Mohon hubungi Ahmad Ashov ([email protected]) untuk informasi lebih lanjut.

Photo by Ksenia Chernaya/Pexels