Pengembangan bioenergi dinilai dapat menimbulkan masalah lingkungan dan mengancam ketahanan pangan. Mengalokasikan bahan pangan untuk kepentingan energi dapat merampas kehidupan orang dalam mengakses pangan tersebut.

KompasProyek transisi energi dengan fokus pengembangan bioenergi dinilai dapat menimbulkan masalah lingkungan dan konflik lahan sekaligus mengancam ketahanan pangan. Program transisi energi ini perlu dilakukan secara partisipatif dengan mengedepankan aspek keadilan ekologis.

Manajer Portofolio Bioenergi Trend Asia Amalya Okta mengemukakan, salah satu program pengembangan bioenergi, yakni co-firing atau pembakaran bersama biomassa pelet kayu dan batubara, dapat menimbulkan deforestasi besar-besaran. Sebab, sebanyak 8 juta ton dari total kebutuhan 10,2 juta ton biomassa untuk co-firing tersebut berasal dari hutan tanaman energi (HTE).

”Pada awal pengembangan bioenergi, pemerintah menyebut bahwa program ini akan mengatasi masalah limbah karena banyak menggunakan limbah sebagai bahan baku. Namun, ternyata pengembangan ini bersumber dari HTE yang pembukaannya memicu deforestasi,” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Rabu (5/4/2023).

Potensi deforestasi dari pengembangan bioenergi ini juga telah ditunjukkan melalui hasil kajian Trend Asia tentang co-firing biomassa khusus dari kayu terhadap 52 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) eksisting dari 2021-Mei 2022. Trend Asia menemukan bahwa risiko terjadi deforestasi dan permintaan batubara akan tetap meningkat meski telah ada program co-firing.

Alih-alih mengatasi masalah lingkungan, meningkatnya deforestasi di berbagai wilayah untuk pengembangan bioenergi akan berimplikasi pada kenaikan emisi karbon. Implikasi lain dari deforestasi ini, yaitu hilangnya biodiversitas, sumber air, dan pangan, serta bertambahnya eskalasi bencana.

Baca selengkapnya…

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia