Jakarta, 30 September 2023-Trend Asia, LBH Padang, dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) menyelenggarakan “Riung Mentawai: Cerita tentang Energi dari Hutan dan Budaya Mentawai” pada Sabtu (30/09/2023) di KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan. Acara ini diselenggarakan untuk menunjukkan kepada publik tentang ancaman penghancuran budaya dan lingkungan yang dialami oleh masyarakat Suku Mentawai akibat proyek energi di Indonesia.

Indonesia berencana mengurangi emisi di sektor energi dan memiliki target Net Zero Emission pada 2060. Salah satu strategi energi terbarukan yang digodok oleh Pemerintah Indonesia adalah memanfaatkan biomassa kayu untuk dibakar menjadi energi. Padahal, untuk melawan perubahan iklim, ia tidak murni netral karbon karena dalam prosesnya menghasilkan hutang karbon dari deforestasi. Biomassa kayu dari hutan primer sudah tidak lagi dianggap sebagai energi terbarukan di beberapa negara maju, termasuk Belanda dan Australia.

Namun, pembalakan hutan primer tampaknya tidak akan terhindarkan dari rencana pemanfaatan energi biomassa kayu di Indonesia. Pengembangan energi ini akan diintegrasikan dengan ekspansi Hutan Tanaman Energi (HTE), atau perkebunan kayu. Menurut kajian, pemanfaatan biomassa pelet kayu dalam program co-firing (oplosan) di 52 PLTU saja akan membutuhkan lahan hingga 2,3 juta hektar. Perluasan HTE akan berpotensi merampas lahan-lahan produktif warga, pemukiman, sekaligus memperuncing ketimpangan akses atas lahan. Ancaman ini tengah terjadi di Mentawai, Sumatera Barat.

Pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) bambu telah dibangun di Kepulauan Mentawai pada tahun 2019. Pembangunan ini didanai oleh Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia, senilai US$12,4 juta dengan pengembang PT.Charta Putra Indonesia (CPI). Peresmiannya dihadiri oleh Bambang Brodjonegoro yang saat itu menjabat sebagai Menteri Bappenas. Namun, tiga unit PLTBm tersebut hanya beroperasi selama sekitar 6 bulan – dengan menggunakan sebagian besar biomassa kayu yang berasal dari hutan adat masyarakat – sebelum terkendala oleh kekurangan pasokan dan rusaknya mesin. Proyek tersebut mangkrak, meskipun dorongan menanam bambu sudah mengganggu aktivitas dan pola tanam masyarakat.

Di tahun yang sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga memberikan konsesi lahan 19.876,59 hektar di Pulau Siberut kepada PT Biomass Andalan Energy (BAE), dengan perkiraan nilai investasi lebih dari Rp 1 triliun. Dari luasan konsesi perkebunan kayu itu, 11 ribu hektare di antaranya merupakan tutupan hutan. PT BAE juga akan akan membangun PLTBm mereka sendiri, yang biomassanya akan disuplai oleh kayu dari lahan konsesi.

“Kami ingin memperkenalkan budaya adat Mentawai yang terancam oleh proyek PLTBm kepada publik, salah satunya melalui film dokumenter. Dalam film ini tergambar bahwa PLTBm adalah gimmick greenwashing yang hanya menguntungkan oligarki kehutanan. Dan ketika bersikeras membakar kayu untuk menghasilkan listrik, kita tidak hanya bicara soal emisi, tapi juga perampasan ruang, penyingkiran masyarakat adat, dan deforestasi yang akan menghilangkan fungsi-fungsi hutan. Akhirnya, ini hanya siasat untuk mengeksploitasi hutan alam tersisa di pulau-pulau kecil di Mentawai. Dan siasat ini juga akan menghancurkan kehidupan komunitas masyarakat adat Mentawai yang telah terjaga selama ini.” kata Amalya Reza, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia.

Proyek pembangunan ini semakin mengancam lingkungan hidup dan adat istiadat masyarakat Mentawai. Pemerintah telah mengkapling hutan mereka ke industri perkayuan sejak 1971. Meski masyarakat terus melawan, eksploitasi hutan Mentawai telah berujung pada bencana lingkungan. Berbagai daerah di Siberut dengan hulu lahan konsesi perhutanan, misalnya, saat ini menjadi zona langganan banjir.

Meski disebut melawan perubahan iklim, pemanfaatan biomassa kayu mengancam hutan primer Mentawai yang berperan kunci sebagai penyerap karbon. Ia mengancam keanekaragaman hayati Kepulauan Mentawai yang merupakan rumah dari rumah bagi 4 jenis mamalia endemik, 5 burung endemik, 7 reptil, dan 3 jenis pohon berstatus dilindungi. Eksploitasi ini juga semakin memojokkan kebudayaan Mentawai, yang telah dimarjinalisasi selama berdekade-dekade. Padahal fungsi hutan bagi adat Mentawai tak hanya sebagai sumber pangan, tapi juga memegang peran sakral.

“Hutan Tanaman Energi mereduksi kesadaran, seolah-olah energi utama untuk hidup adalah listrik. Sehingga atas nama listrik, hak masyarakat adat terus diingkari dan dilanggar, serta ekosistem hutan alam dirusak. Energi yang dibutuhkan oleh masyarakat adat Mentawai adalah yang berkelanjutan dengan tetap menjaga adat, budaya, pengetahuan, teknologi, kesehatan, ekonomi, ekologi, religiusitas dan spiritualitas. Bagi masyarakat, sumber energi yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang adalah hutan. Mengambil dan merubah hutan mereka hanya untuk menghasilkan listrik sama dengan merenggut sumber energi kehidupan, melumpuhkan ketangguhan dan keberlanjutan eksistensi mereka,” ujar Rifai, Ketua Pengurus Yayasan Citra Mandiri Mentawai.

Dalam misi transisi energi dan melawan perubahan iklim, proyek pembangunan pembangkit listrik tak cukup dengan label “bersih”. Namun harus akuntabel, transparan dan partisipatif, menghormati dan melindungi hak asasi manusia, adil secara ekologis, memenuhi keadilan ekonomi terutama bagi masyarakat, serta transformatif yaitu diikuti oleh reformasi tata kelola energi.

“Adat Mentawai selalu menjadi korban stigma dan stereotipe dari sasareu (orang asing/orang luar Mentawai). Kita terlalu naif untuk mengklaim kemajuan hanya berdasar elektrifikasi. Sudah saatnya kita berpikir ulang soal energi yang selalu kita bicarakan karena berkelindan dengan penjajahan, eksplorasi, proyek pembangkit dan kerakusan atas uang. Mestinya kita memperjuangkan energi tanpa penindasan dan tidak dipersempit menjadi energi listrik saja. Sudah saatnya, publik mengenal kearifan Mentawai dalam memanfaatkan energi secara berkeadilan dan berkelanjutan yang tak menghamba pada eksploitasi dan kerakusan. Hutan, air dan tanah Mentawai wajib dijaga dari privatisasi oleh oligarki energi. Menolak oligarki energi masuk Mentawai atas nama apapun baik itu biomassa, hutan tanaman energi dan lain-lain wajib dilakukan agar bumi tidak punah akibat krisis iklim,” tutup Indira Suryani, Direktur Eksekutif LBH Padang.

Tautan foto: https://s.id/Foto_RiungMentawai