Jakarta, 8 November 2022-Laporan terbaru Trend Asia bertajuk “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi” yang dirilis hari ini menentang klaim pemerintah bahwa pemanfaatan biomassa melalui co-firing adalah strategi transisi energi yang bersih. Bertentangan dengan misi melawan perubahan iklim, co-firing biomassa justru berpotensi merusak hutan alam yang berperan sebagai ekosistem penyerap karbon. Apabila co-firing dilakukan dengan bahan baku biomassa pelet kayu, maka ada potensi deforestasi hutan alam hingga 2 juta hektare

Dalam rangka mengejar target 23% bauran energi terbarukan, pemerintah telah melakukan co-firing biomassa di 33 PLTU pada pertengahan tahun ini, dan ditargetkan untuk berkembang menjadi 52 PLTU pada 2025. Praktik ini dilakukan dengan mencampur biomassa, seperti pelet kayu, cangkang sawit, atau sekam padi bersama batubara di PLTU. 

Masalahnya penggunaan biomassa yang bersumber dari limbah, seperti PLTU Jeranjang di NTB dan PLTU Sintang di Kalimantan Barat, terbukti tidak mampu memenuhi keberlanjutan bahan baku. Solusi termudah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku yang sangat besar ini adalah dengan biomassa pelet kayu. Hal ini akan mendorong pembangunan kebun kayu atau Hutan Tanaman Energi (HTE) yang sangat masif.  

Ancaman deforestasi dari praktik co-firing biomassa pelet kayu tidak dapat terhindarkan. Apalagi jika merujuk data MapBiomas Indonesia, dari total luas tutupan HTI (Hutan Tanaman Industri) di 2019, sejumlah 3.500.622 hektar, 38% atau 1.330.236 hektar diantaranya berasal dari pembukaan hutan alam. Co-firing 10% biomassa di 52 PLTU membutuhkan biomassa pelet kayu sebesar 10,23 juta ton per tahun. Pembukaan HTE untuk memenuhi kebutuhan biomassa pelet kayu bisa mendorong deforestasi.

Untuk memenuhi kebutuhan pelet kayu sebesar itu, butuh setidaknya 2,33 juta hektare Hutan Tanaman Energi, setara 35 kali luas Provinsi Jakarta atau 3.270.000 lapangan sepak bola. tergantung kepada jenis tanaman energi yang digunakan. Dari HTI yang sudah ada, dari 14 unit usaha yang berkomitmen menyediakan lahan untuk tanaman energi, hanya mampu mengalokasikan sekitar 500.000 hektare. Besar kemungkinan pembukaan hutan alam dilakukan. Jika 38% dari pembukaan berasal dari hutan alam seperti yang sudah-sudah, deforestasi dapat mencapai 629.845 hingga 2.1 juta hektar. Apalagi menimbang track record HTI, sepanjang sejarahnya menimbulkan masalah dan tidak transparan,” sebut Mumu Muhajir, Peneliti dari Trend Asia.

Solusi palsu untuk krisis iklim dan transisi energi

Pemerintah nampaknya berfokus untuk mengurangi angka emisi di sisi energi, tetapi di sisi lain emisi justru dialihkan ke sektor hutan dan lahan. Padahal, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup Indonesia Siti Nurbaya Bakar telah menyampaikan komitmen Net Sink pada 2030 dari sektor Forestry and other Land Use (FoLU) untuk mengatasi krisis iklim, dengan menyerap lebih banyak emisi. Namun, pemerintah malah memperlemah ambisi dengan menambah angka deforestasi maksimal dari 325 ribu hektar menjadi 359 ribu hektar per tahun untuk periode 2020-2030. Menteri Siti Nurbaya bahkan berdalih bahwa deforestasi tidak boleh menghalangi pembangunan.

“Masyarakat, komunitas, dan CSO perlu menyadari bahwa biomassa yang dibilang hijau itu membakar hutan. Padahal luas deforestasi secara global terus meningkat dalam 20 tahun terakhir, dan ini harus dihentikan. Hutan itu bukan cuma soal karbon, tetapi juga soal keragaman hayati dan faktor pendukung lain seperti daerah tangkapan air. Data IPCC juga menunjukkan bahwa deforestasi berkorelasi negatif dengan ketahanan pangan. Penyediaan biomassa yang mendeforestasi hutan, bisa mengancam ketahanan pangan,” papar Souparna Lahiri dari Asia-Pacific Biomass Working Group.

Apalagi, klaim bahwa penggunaan pelet kayu dari HTE (Hutan Tanaman Energi) atau kebun kayu telah dibantah dalam seri pertama laporan Trend Asia bertajuk “Adu Klaim Mengurangi Emisi” yang menunjukkan bahwa hitungan co-firing pemerintah hanya netral karbon jika kita tidak menghitung emisi total dari hulu ke hilir, termasuk dari deforestasi hutan alam. Proses ini menghasilkan hutang karbon yang butuh puluhan tahun untuk dilunasi melalui penyerapan karbon oleh pohon baru. Waktu ini terlalu panjang untuk melawan perubahan iklim. 

“Co-firing biomassa ini hanya upaya kosmetik pemerintah kepada publik untuk transisi energi. Padahal pembangunan Hutan Tanaman Energi untuk memenuhi suplai bahan baku biomassa pelet kayu hanya memperkeruh, bukan mengatasi masalah. Proyek energi skala besar ini hanya akan berujung pada ketimpangan penguasaan lahan, karena tata kelola lahan yang tidak transparan, dan cenderung dikuasai oleh segelintir orang, “ ujar Meike Inda Erlina, Juru Kampanye Biomassa Trend Asia.

“Pemerintah juga menyediakan infrastruktur kebijakan di bidang kehutanan melalui perizinan multi-usaha dan eksklusivitas proyek ketahanan energi melalui Perpres No. 112 Tahun 2022 dan RUU EB-ET yang sudah masuk prolegnas. Kebijakan ini memuluskan jalan bagi pengusaha untuk terus berbisnis energi kotor dengan co-firing biomassa dan batubara, memperpanjang usia PLTU tua, dan berbagai greenwashing untuk mengakses insentif,” pungkas Meike Inda Erlina, Juru Kampanye Biomassa Trend Asia.

Jika pemerintah memang serius ingin bertransisi ke energi bersih, mereka seharusnya menghentikan praktik co-firing biomassa, termasuk menghentikan berbagai insentif untuk pembukaan HTE. Menimbang kondisi listrik yang sudah over-supply di jaringan Jawa-Bali-Madura, solusi paling tepat adalah menghentikan proses pembangunan PLTU baru, menyegerakan pensiun dini PLTU yang sudah berjalan, serta mendorong pengembangan energi yang bukan hanya terbarukan, tetapi juga bersih seperti energi surya dan angin.

Foto: Kawasan hutan tanaman industri PT IHM yang berada di kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Sabtu (27/11/2021). Kawasan ini rencananya akan menjadi bagian ring satu dalam pembangunan ibukota negara baru di kabupaten tersebut. Melvinas Priananda/Trend Asia