Katadata-Warga Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, kembali berhadapan dengan penggusuran lahan untuk pertambangan nikel. Pada 9 Agustus 2023, pukul 23.00 WITA, penggusuran kembali terjadi di lahan jambu mente dan cengkih siap panen milik warga Desa Mosolo.

Padahal, masyarakat Wawonii sudah memenangkan gugatan di Mahkamah Agung yang isinya menolak wilayah pertanian dan perikanan mereka digunakan perusahaan pertambangan nikel.

Sementara itu di pusat, pemerintah mengatakan nikel dan hilirisasinya sebagai salah satu ‘kunci’ untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Pada 12 Agustus lalu, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif mengatakan sejak bergulirnya hilirisasi nikel, beberapa multiplier effect mulai terlihat pada ekonomi nasional.

Mantan aktivis itu mengatakan kehadiran fasilitas pengolahan atau smelter yang tersebar di berbagai provinsi seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Banten, mendorong pertumbuhan di daerah tersebut. “Sehingga meningkatkan produk domestik regional bruto di daerah lokasi smelter berada,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan hilirisasi industri nikel berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. “Hilirisasi mendorong investasi berkualitas, terutama di bagian timur Indonesia,” kata Luhut dalam acara Nickel Conference CNBC di Ballroom Kempinski, Jakarta, pada Selasa, 25 Juli 2023.

Potret Kemiskinan Multidimensi di Provinsi Penghasil Nikel

Amlia, perempuan paruh baya asal Wawonii, Sulawesi Tenggara, mengeluhkan akses air bersih yang tak lagi ia nikmati sejak tambang nikel merusak sumber air penduduk. “Kami tidak pernah kekurangan air sebelumnya, tetapi kini jadi susah air, harus beli atau minta ke desa tetangga,” kata dia pada Jumat pekan lalu.

Ini bertentangan dengan rencana pemerintah yang menargetkan 100% akses air minum layak dan 15% akses air minum aman pada 2024. Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga 2020 yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan sebanyak 40,8% masyarakat mengandalkan sumber yang berasal dari air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya, dan 14,8% rumah tangga di Indonesia menggunakan sumur gali untuk keperluan air bersihnya.

Menurut Yamir, warga Wawonii yang lain, masyarakat selama ini mengandalkan Sungai Tamo Siu-Siu sebagai sumber air bersih dan air sumur. Namun, kualitas keduanya menurun sejak pertambangan nikel aktif. “Warna air kuning kecokelatan, kadang warnanya jadi merah dan berlumpur,” kata dia kepada Katadata.co.id pada 10 Agustus lalu.

Tak cuma persoalan krisis air bersih yang mengadang masyarakat di sekitar lingkar tambang nikel. Persoalan stunting juga menghantui provinsi penghasil nikel yang diklaim mengalami peningkatan PDB dan PDRB. “Di desa kami, stunting bertambah dari enam menjadi 12,” kata Yamir.

Survei Hasil Gizi Indonesia 2022 yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan provinsi penghasil nikel adalah provinsi penyumbang stunting di Indonesia. Sulawesi Tenggara yang memiliki tambang nikel terluas di Indonesia berada dalam posisi sembilan besar penghasil balita stunting di Indonesia, dengan prevalensi 27,7%.

Juru Kampanye Trend Asia Novita Indri mengatakan kemiskinan multi dimensi yang bercokol di kantong nikel menunjukkan trickle down effect tidak terjadi. Ada kerusakan struktural yang solusinya tidak sesederhana melakukan hilirisasi atau membangun perguruan tinggi di lokasi tersebut. “Pemerintah perlu melihat akar persoalan kemiskinan multi dimensi ini adalah kerusakan lingkungan besar-besaran akibat berbagai kegiatan penambangan dan pengolahan nikel,” kata dia.

Ia memberi contoh Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara yang semula merupakan lumbung pertanian dan kelautan, berubah lanskap ekonominya menjadi lumbung komoditas berbasis tambang. Akibatnya, terjadi alih fungsi lahan yang semula adalah basis ekonomi masyarakat untuk pertambangan skala besar dengan metode penambangan terbuka yang mengupas dan mengeruk kulit bumi.

Di satu sisi, kata dia, aktivitas penambangan tersebut menimbulkan pencemaran lingkungan yang berdampak hingga ke laut.

“Tidak hanya petani yang kehilangan lahan garapan, nelayan pun kehilangan sumber mata pencaharian karena rusaknya ekosistem kelautan. Mereka tak bisa serta merta langsung diserap sebagai tenaga kerja di industri yang padat modal tersebut,” kata dia.

Baca selengkapnya…

Foto: Katadata