Siaran Pers

DILARANG DISEBARKAN SEBELUM 07.01 WIB 11 April 2024

Unduh laporan (TAUTAN)

Kapasitas bara yang meningkat membahayakan rencana transisi energi Indonesia

Indonesia terus menambah kapasitas batu bara baru sambil tampaknya menjauhi energi baru dan terbarukan ketika pertarungan berat terjadi untuk membuka pintu Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP) senilai US$20 miliar dengan sederet kreditur dari negara Barat, menurut survei tahunan Global Energy Monitor atas pembangkit listrik batu bara global.

Pada 2023, Indonesia menempati peringkat keempat di dunia untuk kapasitas batu bara baru yang diusulkan, dan kapasitas pembangkit batu bara bisa terus meningkat sebesar 13,8 GW hingga akhir dekade, sebagian besar sebagai sumber listrik captive untuk industri pengolahan logam.

Lebih dari seperempat pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi di Indonesia adalah captive, dan kapasitas pembangkit batu bara captive yang beroperasi di negara ini saat ini sepuluh kali lebih banyak daripada pada tahun 2013.

Pada saat yang sama, Indonesia tampaknya menurunkan target atas ambisi energi terbarukannya. Awal tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan akan menarik mundur target energi terbarukan dari 23 persen pada 2025 yang ditetapkan oleh Dewan Energi Nasional menjadi berkisar antara 17 dan 19 persen. Langkah ini muncul meskipun Indonesia memiliki kapasitas solar dan angin berskala utilitas paling prospektif ketiga di Asia Tenggara, yakni sebesar 19 GW.

Data pada Global Coal Plant Tracker menunjukkan bahwa 69,5 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara mulai beroperasi di seluruh dunia sementara 21,1 GW ditutup pada 2023. Itu menghasilkan peningkatan tahunan bersih sebesar 48,4 GW untuk tahun tersebut dan kapasitas total global sebesar 2.130 GW. Ini adalah peningkatan bersih tertinggi dalam kapasitas batu bara yang aktif beroperasi sejak 2016.

Lonjakan pembangkit batu bara baru yang mulai beroperasi di Tiongkok mendorong peningkatan ini — 47,4 GW, atau sekitar dua pertiga dari penambahan global — berdampingan dengan kapasitas baru di Indonesia, India, Vietnam, Jepang, Bangladesh, Pakistan, Korea Selatan, Yunani, dan Zimbabwe. Secara total, 22,1 GW mulai beroperasi dan 17,4 GW ditutup di luar Tiongkok. Hal ini menghasilkan peningkatan bersih 4,7 GW untuk pembangkit listrik batu bara yang beroperasi.

Penutupan yang lebih rendah di AS dan Eropa berkontribusi pada kenaikan kapasitas batu bara. Dalam jumlah sebesar 9,7 GW, AS menyumbang hampir setengah dari kapasitas yang ditutup pada 2023, turun dari 14,7 GW yang ditutup tahun lalu dan rekor tertingginya pada 21,7 GW pada tahun 2015.

Negara anggota Uni Eropa dan Britania Raya mewakili sekitar seperempat dari penutupan global, dengan Britania Raya (3,1 GW), Italia (0,6 GW), dan Polandia (0,5 GW) memimpin penutupan di wilayah tersebut untuk tahun itu.

“Indonesia sederhananya tidak bisa memangkas pembangkit listrik tenaga batu bara apa pun, terlepas apakah terkait dengan industri tertentu atau tidak, dari perencanaan transisi energi bersih,” kata Lucy Hummer, peneliti di Global Energy Monitor. “Pada tingkat global, negara-negara yang memiliki pembangkit listrik batu bara yang perlu ditutup harus lebih bergegas melakukannya, dan negara-negara yang memiliki rencana untuk pembangkit batu bara baru harus memastikan ini tidak akan dibangun.”

Zakki Amali, Peneliti untuk Trend Asia, berkata, “Masalah transisi energi di Indonesia adalah struktural; dengan demikian, solusinya juga harus struktural. Penurunan target energi terbarukan (ET) dan peningkatan kuota batu bara, bersama dengan penambahan pembangkit listrik tenaga batu bara baru (PLTU) di Indonesia, menunjukkan langkah mundur dalam transisi energi. Pemerintah perlu segera memperbaiki arah sesuai dengan Perjanjian Paris. Memang, upaya luar biasa dan intervensi politik yang kuat diperlukan untuk Indonesia jika ingin menjalani transisi. Tanpa tindakan seperti itu, Indonesia hanya akan merencanakan kegagalan transisi energi.”

Laporan ini juga menunjukkan:

  • Negara-negara industri besar yang tergabung dalam G7 menyumbang 15% (310 GW) dari kapasitas batu bara yang beroperasi di dunia, menurun dari 23% (443 GW) pada 2015. Dengan selesainya unit baru di Jepang pada 2023, G7 tidak lagi memiliki pembangkit batu bara dalam tahap konstruksi, namun masih menjadi rumah bagi satu proposal di Jepang dan dua di AS.
  • Negara-negara yang tergabung dalam G20 merupakan rumah bagi 92% dari kapasitas batu bara yang beroperasi di dunia (1.968 GW) dan 88% dari kapasitas batu bara prakonstruksi (336 GW).
  • Tiongkok dan sepuluh negara yang mengikuti langkahnya menyumbang 95% dari kapasitas prakonstruksi global. Lima persen sisanya tersebar di 21 negara, 11 di antaranya hanya memiliki satu proyek dan berada di ambang pencapaian tonggak “tidak membangun pembangkit listrik batu bara baru.
  • Pada 2023, penurunan pembangkit batu bara yang diajukan di luar Tiongkok diredam oleh 20,9 GW proposal yang sepenuhnya baru, dipimpin oleh India (11,4 GW), Kazakhstan (4,6 GW), dan Indonesia (2,5 GW), serta 4,1 GW kapasitas yang sebelumnya ditangguhkan atau dibatalkan dianggap diusulkan lagi.

Selain Global Energy Monitor, para rekan penyusun laporan ini adalah Centre for Research on Energy and Clean Air, E3G, Reclaim Finance, Sierra Club, Solutions for Our Climate, Kiko Network, Bangladesh Groups, Trend Asia, Alliance for Climate Justice and Clean Energy, Chile Sustentable, POLEN Transiciones Justas, Iniciativa Climática de México, dan Arayara.

Tentang Global Coal Plant Tracker

Global Coal Plant Tracker menyediakan informasi tentang unit pembangkit listrik tenaga batu bara dari seluruh dunia dengan kapasitas 30 megawatt dan lebih. Global Coal Plant Tracker mengatalogkan setiap unit pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi, setiap unit baru yang diusulkan sejak 2010, dan setiap unit yang ditutup sejak 2000. Peta dan data yang mendasarinya diperbarui dua kali setahun, sekitar pada Januari dan Juli. Sekitar April dan Oktober, rilis tambahan parsial juga mencakup perkembangan terkini untuk unit batu bara yang diusulkan di luar Tiongkok.

Tentang Global Energy Monitor

Global Energy Monitor (GEM) mengembangkan dan berbagi informasi dalam rangka mendukung gerakan energi bersih di seluruh dunia. Dengan mempelajari lanskap energi internasional yang berkembang, membuat basis data, laporan, dan alat interaktif untuk meningkatkan pemahaman, GEM berupaya membangun panduan terbuka untuk sistem energi dunia. Ikuti kami di www.globalenergymonitor.org dan di platform X @GlobalEnergyMon

Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia