BBC-Di Pulau Labengki, Sulawesi Tenggara, anak-anak Bajau bermain di laut setiap pagi dan sore. Mereka melompat dari dermaga ke air yang jernih dan menyelam ke dasar laut yang berpasir putih.

Namun entah sampai kapan kegembiraan mereka akan bertahan. Sebab pemandangan bawah laut Pulau Labengki kini tidak selalu jernih; ada kalanya keruh akibat limbah dari tambang nikel.

“Iya saya sudah melihat [pencemaran] itu,” kata Tawing, orang Bajau di Desa Labengki yang berprofesi sebagai nelayan sekaligus operator alat selam.

Meski kawasan pulau yang dihuni oleh orang-orang Bajau ini bebas dari aktivitas tambang, Pulau Labengki lokasinya berseberangan dengan kawasan pertambangan nikel Kabupaten Konawe Utara. Di kabupaten tersebut terdapat sekitar 50 perusahaan tambang nikel yang beroperasi.

Ada kekhawatiran limbah tambang nikel akhirnya akan seluruhnya memasuki perairan dan selamanya mencemari Pulau Labengki.

“Karena pencemaran nikel saat musim hujan bisa masuk ke daerah wisata ke Labengki sini. Terbawa arus dia,” kata Tawing yang kami temui di rumahnya yang juga ia jadikan sebagai homestay bagi turis.

Indonesia adalah negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.

Badan Energi Internasional memprediksi peningkatan produksi nikel dunia mencapai sedikitnya 65% pada 2030, didorong oleh kebutuhan material baterai kendaraan listrik.

Indonesia diperkirakan bakal memenuhi dua-pertiga kebutuhan dunia. Sejauh ini, Indonesia sudah menandatangani sejumlah kontrak bernilai miliaran dolar AS dengan perusahaan-perusahaan asing yang berniat berinvestasi pada tambang nikel serta tempat pengolahannya.

Akan tetapi, pengamat menilai masalah lingkungan di kawasan tambang, baik nikel maupun lainnya, masih menjadi pekerjaan rumah di dalam negeri.

“Kita belum punya rekam jejak penambangan berkelanjutan,” kata Novita Indri, juru kampanye Trend Asia. “Ditambah lagi aspek penegakan hukum kita lemah terkait dengan lingkungan.”

Pemerintah Indonesia bukannya tidak tahu soal itu. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa pencemaran lingkungan akibat tambang telah menjadi perhatian pemerintah.

“Tidak hanya di Konawe Utara, concern pemerintah itu di semua daerah penambangan di Indonesia,” kata Prof. Irwandy Arif, staf khusus menteri ESDM bidang percepatan tata kelola mineral dan batubara.

Namun ia menilai, tambang nikel ilegal yang jadi biang keladinya. Ia yakin perusahaan nikel resmi tidak akan mengambil risiko kehilangan izin akibat lalai mengikuti aturan.

“Di Konawe Utara ada dua penambang ilegal yang sudah diproses di pengadilan. Kontrol terhadap [tambang] ilegal yang harus ditegakkan,” kata Prof. Irwandy.

Labengki bebas tambang nikel, tidak bebas dari limbahnya

BBC News Indonesia mengunjungi Konawe Utara dan melihat kehidupan orang Bajau di dua tempat berbeda, di Pulau Labengki dan di seberang pulau – yang berdekatan dengan area tambang.

Saat perahu merapat di Pulau Labengki, hamparan pasir putih menyambut kami.

Ada bintang laut berwarna krem dengan tutul cokelat, terlihat jelas di dasar air yang dangkal. Anak-anak Bajau bermain dengan bintang laut itu.

Mereka menyelam sedalam tiga meter, mengambil bintang laut, memperlihatkannya pada teman-teman sepermainan di permukaan, lalu menyelam lagi ke bawah dan menaruh bintang laut di tempat semula.

Orang Bajau terkenal sebagai penyelam ulung. Mereka bisa menyelam di laut tanpa alat bantu pernapasan. Anak-anak Bajau pun sudah akrab dengan laut sejak kecil.

Tawing adalah bapak dari salah satu anak yang asyik main di laut di depan rumah mereka.

Beberapa bulan lalu, Tawing baru saja mendapatkan bantuan dari Bank Indonesia berupa enam set peralatan selam skuba.

“Kemarin pertama kali dicoba oleh Kaka ‘Slank’,” kata Tawing semringah.

Kami menemui Tawing di rumahnya yang ia jadikan sebagai homestay untuk turis.

Tawing menamai tempat penyewaan alat diving-nya ‘Kimaboe’ – diambil dari nama sebuah spesies Kima atau kerang raksasa yang bisa ditemukan di perairan Labengki.

Ia sendiri sudah memiliki sertifikasi selam skuba sehingga ia bisa memandu turis menikmati keindahan bawah laut Pulau Labengki.

Namun harapan Tawing memutar roda ekonomi untuk keluarganya terancam masalah.

“Tahun lalu, saya bawa tamu untuk menyelam di Labengki saat [laut tercemar] limbah tambang, visibility [tingkat pandangan di dalam] air itu benar-benar buruk,” kata Tawing, menambahkan betapa susahnya mencari tempat yang jernih untuk diselami.

Saat musim hujan tiba, dia berkata, limbah dari area pertambangan nikel terbawa arus ke perairan Pulau Labengki. Jika air sedang keruh, Tawing terpaksa urung membawa turis menyelam.

Akibatnya, tidak hanya penghasilannya yang hilang tapi juga pemasukan untuk warga Labengki lain. Alat selam yang dipakainya adalah milik Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).

“Sewa alat selam kita Rp500.000. Uang itu dibagi untuk saya, guide, operator pengisian tabung, [kas] dive center, dan Pokdarwis,” jelasnya.

Tapi bahkan saat air sedang jernih, Tawing tetap diliputi kegelisahan limbah tambang akan merusak lautnya.

“Saya harap teman-teman bantu masyarakat di sini buat informasikan ini pada pemerintah. Karena kalau kita biarkan, dampaknya pasti akan datang ke sini,” kata Tawing.

Hidup berdampingan dengan tambang nikel

Di Desa Boenaga, yang terpisah jarak sekitar satu jam berkendara dengan kapal, kondisinya begitu berbeda dari Pulau Labenki.

Pemandangan bukit-bukit hijau Pulau Labengki menghilang sepanjang perjalanan, digantikan bukit-bukit tanah kecokelatan.

Di dermaga, dasar laut tidak terlihat karena air begitu keruh. Bahkan di sebagian tempat di desa, air berwarna cokelat kemerahan.

Tidak ada anak-anak yang berlompatan dan bermain di laut.

Seorang nelayan Bajau bernama Lukman menuturkan bahwa sebelum ada kegiatan tambang nikel di desanya, ia biasa memancing ikan di dekat rumah.

“Iya, biasa di depan sini,” kata Lukman sambil menunjuk ke air cokelat. “Tapi bagaimana kalau begitu, coba dilihat. Beda toh dengan Labengki?”

Sulawesi Tenggara memiliki Izin Usaha Pertambangan nikel terbanyak di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2022, terdapat sedikitnya 50 perusahaan tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara.

Pemukiman Lukman letaknya bersebelahan dengan salah satu tambang nikel.

“Kalau nelayan sih susah sekali sekarang [hidupnya],” kata Lukman yang kami temui di rumahnya.

“Kalau orang mau kerja di tambang, ya bagus. Gaji sudah memuaskan. Kalau seperti saya kan nelayan tok, memang susah.”

Sukayah, istri Lukman, berkata kini nelayan harus menempuh jarak yang jauh untuk menangkap ikan agar bisa bebas dari perairan tercemar.

Dengan begitu, menurut Lukman, biaya solar bisa jadi lebih besar dari keuntungan yang didapat.

Lukman mengaku merasa tidak berdaya. Tapi untuk melakukan protes menolak tambang, apalagi sampai berurusan dengan penegak hukum, dia tak kuasa.

“Jadi masyarakat diam saja, terima saja.”

Namun, tidak semua warga Desa Boenaga merasa dirugikan dengan kehadiran tambang.

“Dampak buruk itu jelas pasti ada. Tapi ada juga dampak yang baik,” kata Jufri Asri, kepala dusun di Desa Boenaga yang bermukim tidak jauh dari Lukman.

Harga ikan, kata Jufri, lebih tinggi di Boenaga ketimbang di Kendari.

“Mungkin karena banyak perusahaan, banyak yang membutuhkan ikan,” terang Jufri.

Anak tertua Jufri bekerja di salah satu tambang nikel. Ini diakui Jufri membantu perekonomian keluarga.

Selain itu keluarga Jufri, seperti kepala keluarga lain di Desa Boenaga, mendapatkan biaya kompensasi per bulan dari tambang dengan besar antara Rp1 juta sampai Rp1,5 juta.

Kompensasi ini, sebut dia, lumrah disebut sebagai ‘uang debu’.

“Perjanjian dengan perusahaan itu per bulan, misalkan dalam satu bulan produksinya sedikit, otomatis pemberiannya juga sedikit,” kata Jufri.

Sesuai namanya, menurut Novita Indri, Juru Kampanye Trend Asia, sebuah organisasi yang mengampanyekan pembangunan berkelanjutan, “uang debu” adalah ganti rugi atas kegiatan hilir mudik kendaraan tambang yang membuat rumah-rumah warga yang dilalui berdebu.

“Asumsi kami dasar aturannya mengacu kepada UU Minerba yang terbaru tepatnya pasal 145,” kata Novita.

Namun di berbagai area pertambangan, kesepakatan untuk kompensasi dari perusahaan tambang kepada warga lokal bisa berbeda-beda, seperti distribusi air bersih atau bentuk CSR (Corporate Social Responsibility).

Baca selengkapnya…

Photo by Tom Fisk/Pexels