Magdalene-Menjadi warga pinggiran kota itu serba sulit, apalagi jika tak punya kendaraan pribadi. Itu yang aku rasakan sebagai anak Depok yang bekerja dan menghabiskan lebih banyak waktu di Jakarta. Satu-satunya pilihan buatku untuk ke ibu kota adalah dengan naik transportasi publik.

Kereta Listrik (KRL) dan Transjakarta biasanya jadi pilihan untuk mobilisasi. Selain karena tarifnya cuma dibanderol sebesar Rp3.000, dua moda transportasi ini paling gampang aku akses dari rumah. Meski punya kelebihan, tapi pengalaman menaiki transportasi ini kerap tak menyenangkan.

Untuk naik Transjakarta misalnya, aku masih harus mengeluarkan biaya lebih banyak dan waktu perjalanan yang cukup lama. Halte Transjakarta terdekat jaraknya sekitar 2.6 km. Kalau jalan kaki, aku butuh sekitar 33 menit untuk tiba di halte.

Akhirnya untuk menghemat waktu, ditambah kualitas jalur pejalan kaki yang tak ramah bahkan nyaris tak ada, aku memilih naik ojek daring. Untuk sekali jalan, aku menghabiskan uang sekitar Rp15.000.

Perjuangan naik armada bus Transjakarta juga ngeri-ngeri sedap. Untuk bisa mencapai kantor yang jaraknya 26 km dari halte, aku setidaknya harus transit tiga kali. Proses transit ini selalu menguras waktu dan tenaga karena enggak cuma jalan kaki panjang melewati jembatan penyeberangan orang (JPO), aku harus rela menunggu setiap armada bus baru tiap kali transit.

Jika dihitung-hitung, total waktu aku berangkat dari rumah ke kantor bisa sampai 1 jam 45 menit. Itu pun jika kondisi jalan sedang lancar. Kalau macet, aihh, durasi perjalanan mungkin bisa memakan waktu dua jam bahkan lebih.

Sebenarnya ada opsi transportasi publik premium yang bisa aku ambil, yakni Royal Trans, bagian armada Transjakarta. Adikku, Raihan yang ngantor di SCBD, memilih opsi ini. Meski ongkos yang harus dirogoh jadi lebih mahal, Rp20 ribu atau Rp40 ribu pulang pergi, belum termasuk biaya ojek.

Transportasi Publik Minim Bikin Ekonomi Negara Merugi

Enggak banyak orang bisa memilih opsi transportasi premium seperti adikku, apalagi jika ada biaya tambahan lain untuk bisa sampai ke halte atau stasiun terdekat.

Minimnya transportasi publik dan akses yang sulit dijangkau inilah yang jadi alasan banyak orang, terutama dari wilayah suburban memilih memakai kendaraan pribadi untuk mobilisasi harian. Dian, temanku yang bekerja di daerah Sudirman adalah salah satunya.

Dian yang juga berdomisili di Depok sempat mengeluhkan tentang akses transportasi publik yang bisa ia jangkau. Dari rumahnya yang berada di Sukatani, transportasi publik terdekat hanya KRL, jaraknya kurang lebih 9,7 km. Dengan jarak ini, ia harus naik ojek daring lagi dan biayanya bisa lebih dari Rp30 ribu.

“Gaji gue UMR ya. Kalau tiap hari ke kantor naik kereta bisa jebol kantong gue. Makanya gue lebih milih bawa motor sendiri ke kantor tiap hari. Lebih hemat, paling seminggu keluar Rp150 sampai 200 ribu. Coba kalau naik kereta, sehari gue bisa ngabisin Rp100 ribu sendiri,” kata Dian.

Selain lebih hemat, kendaraan pribadi seperti motor juga bisa didapatkan dengan mudah. Cukup dengan uang muka (DP) sebesar Rp500 ribu, seseorang bisa membawa motor baru. Hal inilah yang akhirnya berdampak pada membludaknya jumlah kendaraan roda dua di jalanan. Laporan Statistik Indonesia 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pada akhir 2022 mencatat, ada 125,3 juta unit motor di Indonesia.

Kemudahan membeli motor ini sempat dikomentari Deliani Siregar, Senior Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate dari Institute for Transportation and Development Policy (ITPD).

“Secara nasional memang beberapa kebijakan yang kami lihat masih encourage orang untuk mudah mendapatkan akses untuk memiliki kendaraan pribadi, bermotor pribadi,” jelasnya.

Ia menambahkan, “Kami (juga) belum melihat ada regulasi untuk membatasi jumlah (motor), baik itu kepemilikan dan atau penggunaan. Inilah kenapa akhirnya kendaraan bermotor apalagi kendaraan roda dua jumlahnya terus meningkat.”

Nihilnya regulasi dan sikap tegas pemerintah terhadap pembatasan jumlah kendaraan sangat disayangkan oleh Deliani. Menurutnya, pemerintah pusat atau daerah masih belum memprioritaskan pembangunan transportasi publik yang laik untuk warga.

Dalam ITDP 2023 disebutkan, total belanja nasional yang terkait dengan infrastruktur hanya 2,8 persen yang dialokasikan untuk transportasi publik berbasis jalan dan rel. Angka ini bahkan jauh dari anggaran belanja nasional untuk transportasi publik, yaitu sebesar 29,5 persen.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, akan ada dampak serius buat negara dan warga. Jalanan semakin macet, kualitas kesehatan masyarakat ambles, dan negara merugi triliunan rupiah tiap tahun.

Ini tercermin dalam perolehan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang dikutip oleh Kumparan. Berdasarkan data Kemenhub, kemacetan di jalan menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp77 triliun per tahun.

Kemacetan di Jakarta sendiri menyumbang kerugian ekonomi negara terbanyak mencapai Rp65 triliun. Sementara Rp12 triliun lainnya disebabkan oleh kemacetan di Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar.

Kerugian ini diperparah dengan dampak lain, seperti hilangnya potensi ruang produktif untuk memenuhi kebutuhan hidup individu lewat bekerja. ITDP 2022 mencontohkan bagaimana satu ruang parkir kendaraan bermotor yang memiliki valuasi Rp1 juta per bulan, sebenarnya setara dengan satu kios di Tanah Abang dengan valuasi Rp9 juta per bulan.  Dengan perhitungan ini, bayangkan berapa besar potensi ekonomi yang justru kita disia-siakan begitu saja hanya untuk memenuhi kebutuhan parkir kendaraan bermotor yang laju pertumbuhannya terus meningkat.

Masa Depan Jadi Taruhan

Kalian sadar enggak, sih belakangan udara semakin panas? Di Jakarta, kondisi itu diperburuk dengan kabut pekat yang membekap kita setiap harinya. Kabut ini adalah udara yang sudah terkontaminasi partikel polutan.

Ditemui oleh Kompas pada 2022, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Asep mengatakan, kendati ada lima sektor utama yang menyumbang polutan di Jakarta (industri energi, manufaktur, transportasi, residensial, dan komersial), transportasi punya sumbangsih yang paling besar.

“Sumber pencemar dari polusi udara Jakarta itu adalah 75 persennya berasal dari emisi bergerak, itu kendaraan baik roda dua maupun roda empat,” ujar Asep.

Pernyataan Asep kemudian diperkuat dengan data inventarisasi emisi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta. Mereka menemukan, sektor transportasi menjadi kontributor terbesar untuk polutan Nitrogen Oksida (NOx), karbon monoksida (CO), partikulat udara 10 mikrometer (PM10), dan partikulat udara 2,5 mikrometer (PM2.5).

Imbasnya serius. Enggak cuma pada penurunan kesehatan paru-paru dan kualitas hidup penghirupnya, polutan tinggi dari kendaraan bermotor juga memperburuk krisis iklim.

Novita Indri, Juru Kampanye dari Trend Asia bilang, pembakaran tidak sempurna yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor akan menghasilkan gas buang, seperti NOx dan CO2. Kedua gas buang yang dalam catatan DLH Jakarta memang paling besar disumbangkan dari kendaraan bermotor.

“Gas buang itu ketika dia lepas ke atmosfer, dia akan naik ke awan, melewati beberapa lapisan langit. Secara alamiah, gas-gas ini akan hilang karena ada masa tinggal. Tapi karena jumlahnya sangat banyak dan frekuensi produksinya terjadi terus-menerus maka gas buang ini akan berakhir numpuk di awan. Alam tidak lagi bisa melanjutkan proses alamiahnya,” jelasnya.

Gas buang atau emisi yang menumpuk di atmosfer kita ini, imbuh Novita, membuat efek rumah kaca atau naiknya suhu Bumi yang disebabkan perubahan komposisi atmosfer. Ketika suhu Bumi naik, dampaknya menjalar kemana-mana. Misalnya, permukaan air laut naik sehingga bikin banyak pulau tenggelam, virus dan bakteri yang berevolusi, serta masih banyak lainnya.

Dalam hal ini, penggunaan dari bahan bakar fosil bermotor di Indonesia memang bermasalah. Bahan bakar fosil yang kita pakai hingga saat ini masih diambil dari perut Bumi lewat pengeboran dan melalui berbagai tahap pemurnian.

Rantai proses produksi bahan bakar fosil ini menurut penjelasan Novita berkontribusi besar dalam melepas beberapa emisi, termasuk metana. Badan Energi Internasional (IEA) dalam laporan terbarunya pada September 2022 menyatakan, emisi metana kini jadi penyebab terbesar kedua pemanasan global, lebih besar 25 kali lipat lebih kuat daripada karbon dioksida.

Celakanya manusia selama lebih dari 150 tahun sudah bergantung pada industri yang saat ini memasok sekitar 80 persen energi dunia. Hal inilah yang mengakibatkan produksi gas metana jadi terus naik.

Secara global, operasi bahan bakar fosil meningkat hampir 5 persen pada 2021 menjadi lebih dari 120 Mt. Ini menyebabkan operasi bahan bakar fosil menghasilkan lebih dari sepertiga emisi metana dari total aktivitas manusia di Bumi.

“Jadi sebenarnya dari hulu ke hilir bermasalah. Dari tambangnya sudah ikut menyumbang gas rumah kaca, ditambah lagi proses pembakaran gas di transportasinya sendiri. Jadi ya wajar saja kalau sekarang Bumi jadi makin panas,” tutur Novita.

Baca selengkapnya…

Photo by Agung Prasetyo on Unsplash