Perahu-perahu itu segera berlayar. Jaring-jaring itu segera disebar. Namun, “hantu-hantu” laut telah menunggu di tengah. Tak ada pilihan selain berlabuh atau mengeluh. 

Balairung Press-Suasana laut Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang begitu panas kala itu. Selain garangnya panas matahari yang tampak abadi di Pantura, emosi Kurnadi juga sedang tinggi-tingginya. Tidak satu-dua kali kapal tongkang pembawa batubara menabrak jaring-jaring ikan miliknya. Padahal, ia sudah memberi “pelampung jaring” sebagai penanda agar jaring itu tidak diterjang. Sudah tak mendapat ikan, jaring-jaring itu robek dan harus dibeli baru. 

Hari itu, jaring Kurnadi kembali dihajar kapal tongkang untuk kesekian kalinya. Ia telah mengambil keputusan. Dengan cara apa pun, ia harus bertemu langsung dengan si nahkoda kapal tongkang. “Hari itu, aku coba minta [uang-red] tebusan di tengah laut,” cerita Kurnadi. 

Tanpa perlu pikir panjang, ia langsung menghentikan laju kapal tongkang tersebut dengan menabrakkan kapal miliknya. Kedua pelaut itu kemudian saling bertatapan. Suasana hening, menyisakan decit badan kapal yang bergesekan. 

Nakhoda kapal tongkang itu lalu meminta bukti atas apa yang Kurnadi perkarakan. “Sebentar, saya coba tarik dahulu jaringnya,” Kurnadi membalas. Selang satu jam, ia berhasil membuktikan gugatannya. Nakhoda kapal tongkang melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri, bahwa jaring-jaring ikan itu telah robek berkat ulahnya. 

Kurnadi lalu meminta ganti rugi sebesar lima ratus ribu rupiah. Nominal tersebut ditolak mentah-mentah oleh pihak kapal tongkang. Selepas bernegosiasi setengah mati, ia hanya dapat ganti rugi setengahnya. Kurnadi pulang dengan kecewa, membawa kerugian tanpa membawa ikan. “Kalau dipikir-pikir, itu duluan kita, kan kita duluan yang buang jaring dan kapal tongkang itu baru keluar. Tapi, kalau disalahkan, tidak mau,” keluhnya. 

Langkah Semu Pemensiunan PLTU

Sebagai Manajer Advokasi Masyarakat Pesisir Walhi, Parid begitu akrab dengan keluhan-keluhan Kurnadi, Sambel, dan nelayan lain yang berhadapan dengan PLTU. Dalam pemantauannya, batubara pasti akan selalu merusak, mulai dari hulu sampai hilirnya. “Dari penambangannya sudah menghancurkan sekitarnya. Dalam proses pendistribusiannya itu menghancurkan sungai sampai laut, pun juga menghancurkan ekosistem dan pendapatan nelayan,” terang pria bernama lengkap Parid Ridwanuddin tersebut.

Dalam konteks laut, Parid menekankan pentingnya pengarusutamaan hak nelayan tradisional dibanding proyek-proyek eksploitatif macam aktivitas PLTU. “Wilayah tangkapan nelayan itu tidak boleh dicampuradukkan dengan wilayah lain, seperti wilayah bongkar muat batubara,” jelasnya. Ia menegaskan area tangkapan nelayan adalah area wilayah tangkapan yang harus dilindungi.

“Tidak boleh menjadikan laut itu sebagai ruang terbuka untuk bersaing,” lanjut Parid. Menurutnya, semua termaktub dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Semua regulasi yang mengakomodasi hak nelayan tertera di sana. Konsekuensinya, nelayan-nelayan yang dirugikan seharusnya berhak mendapat ganti rugi dari negara.

Tidak hanya PLTU Sluke, pola-pola aktivitas PLTU yang merentankan masyarakat sekitarnya selalu terjadi di daerah lain. Contohnya saja nelayan di sekitar PLTU Paiton yang melayangkan protes imbas dari turunnya jumlah ikan. Atau, nelayan Desa Sumarejo yang juga bersitegang dengan kapal tongkang pemasok batubara di PLTU Pacitan.

Di samping merentankan kehidupan masyarakat sekitarnya, aktivitas pembangkit listrik berbasis energi fosil seperti PLTU juga menjadi dalang utama dalam peningkatan ekstrem laju pemanasan global. Bahan bakar fosil, seperti batubara dan minyak, menyumbang lebih dari 75 persen emisi gas rumah kaca global dan hampir 90 persen dari seluruh emisi karbon dioksida. Oleh karena itu, menurut Amalya Oktaviani, Manajer Kampanye Trend Asia, pemerintah harus segera memensiunkan PLTU, baik pensiun alami maupun pensiunan dini. “PLTU Sluke menjadi salah satu dari daftar pemensiunan dini menurut Kementerian ESDM,” jelas Amalya.

Baca selengkapnya…

Foto: Pangkalan nelayan Lasem di sisi barat PLTU Sluke, Kabupaten Rembang. ©Fahrul/Bal