Dalam laporan Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) tahun 2021 mengatakan bahwa kenaikan suhu global mampu mengalami peningkatan sebesar 1,5°C hanya dalam dua dekade saja. Padahal, batas ambang suhu bumi yang telah disepakati dalam Paris Agreement ialah 1,5°C. Kenaikan suhu global salah satunya dipicu oleh penggunaan secara berlebihan energi kotor seperti batubara. Indonesia menjadi salah satu negara dengan cadangan batubara yang cukup besar, urutan ketujuh di dunia dan masuk daftar sepuluh negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar yang didominasi berasal dari sektor energi.

Di Indonesia, salah satu skema untuk dapat mengekstraksi batubara adalah melalui Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Ada tujuh perusahaan yang memperoleh PKP2B generasi 1 ini yaitu; PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Energy Tbk, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal. Operasi pertambangan pemegang PKP2B mentargetkan hampir 70 persen dari total produksi batubara nasional (APBI, 2020).

Pada 1 Oktober mendatang pemegang PKP2B, PT Adaro Energy Tbk akan segera berakhir. Diketahui Adaro memiliki cadangan batubara sebesar 1.1 miliar ton dan berencana akan menggali seluruh cadangan batubara tersebut selama 20 tahun kedepan. Apabila seluruh cadangan batu bara Adaro ini dibakar untuk pemakaian pembangkit listrik maka berpotensi menghasilkan emisi yang sama dengan emisi tahunan negara India. Diketahui konsesi operasi tambang milik Adaro yang tersebar di Kalimantan Selatan telah menimbulkan dampak, mulai dari memaksa warga untuk melepas tanah yang telah menghidupi mereka selama beberapa dekade yang dibeli dengan harga murah karena terdampak dari rencana pembuatan kolam pengendapan air lumpur penirisan tambang (settling pond) dan makin turunnya kualitas hasil kebun karet milik warga menurun terdampak dari aktivitas pertambangan seperti dampak debu batubara.

Secara resmi Adaro telah mengajukan perpanjangan kontrak untuk tetap dapat menjalankan praktek operasi pertambangannya dan terus memperparah kerusakan lingkungan. Tentu rencana perpanjangan ekstraksi cadangan batubara oleh Adaro ini tak terlepas dari dukungan lembaga keuangan. Peranan lembaga keuangan sangat penting dalam menyokong kelangsungan usaha pertambangan melalui skema kredit yang diberikan. Melalui alokasi sumber dayanya, lembaga keuangan berada dalam posisi krusial untuk membantu memperbaiki atau malah memperparah kerusakan iklim. Analisis temuan Project Multatuli bersama Koalisi Bersihkan Bankmu, setidaknya terdapat 16 lembaga keuangan nasional dan multinasional di Indonesia yang secara finansial terkait dengan 70 produsen batubara nasional antara Januari 2019 dan November 2021.

Kesadaran lembaga keuangan untuk menerapkan ESG ditambah dorongan publik untuk berhenti mendanai tambang batubara dari sektor hilir sampai ke sektor hulu makin besar. Trend lembaga keuangan yang telah mengeluarkan batubara dari portofolio pendanaan mereka pun mulai meningkat, terbaru Standard Chartered menyatakan diri untuk mengeluarkan batubara dari portofolionya dan memutus pendanaan kepada PT Adaro Energy Tbk.

Untuk itulah Trend Asia bersama Market Forces dan Walhi Kalimantan Selatan mengadakan media briefing untuk bersama membahas resiko peranan lembaga keuangan dalam pendanaan batubara, lalu bagaimana nasib PKP2B dalam tekanan global untuk segera transisi energi dan bagaimana daya rusak lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan tambang ADRO di Kalimantan Selatan.