Mongabay-Surmi duduk berteduh dari sengatan mentari siang itu. Sudah dua kali menanam bawang merah, dua kali pula tanaman mati membusuk. Daun bawang layu, bagian pucuk menguning. Semua ludes terserang hama sebelum panen.

Dia memperlihatkan umbi bawang yang rusak. Buah kecil seukuran ujung jari kelingking, berwarna hitam kecoklatan, dan cenderung pucat. Batang umbi lembek,  mengeluarkan cairan berbau tak sedap.

“Biasa gak kayak gini, [sekarang] mati terus,” kata warga Mekarsari, Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat ini, akhir Mei lalu.

“Bawang merah [harganya] mahal. Ini nanam 40 kilogram, tapi pada mati dan busuk.”

Perempuan 51 tahun ini bersama suaminya, Warsan, mencabut semua bawang yang baru berusia tiga minggu ini. Taka da hasil apapun.

Sambil menyeka keringat, dia menuang secangkir air putih dari botol plastik dan meneguknya. “Boro-boro hasil, nggak ada. Bibit juga belum, habisin modal,” katanya.

Sekitar lima tahun terakhir, tanaman sayuran mereka sering kandas di tengah jalan. Kalau bukan gagal panen seperti bawang, berarti hanya bisa menikmati separuhnya seperti cabai rawit.

“Di jual nggak laku. [Kalau jual] murah.”

Dia menduga, tanaman mulai sakit-sakitan setelah ada pembangkit batubara di sekitar kampung.  “Jadi susah sekarang kelola itu, setelah ada PLTU 1,” kata Surmi.

Suaminya curiga.  “Mungkin debu dari itu ya, bikin tanaman-tanaman pada tak subur.”

Yang mereka maksud adalah PLTU batubara Unit 1 Indramayu,  beroperasi sejak 2011. Pembangkit listrik berkapasitas 3 x 330 atau 990 megawatt (MW) ini berdiri di atas lahan seluas 83 hektar.

Pada Desember 2014, mantan Bupati Indramayu, Irianto M.S. Syafiuddin atau Yance, didakwa menggelapkan Rp4,1 miliar. Uang sejumlah itu dalam proses pembebasan lahan untuk pembangkit listrik ini.

PLTU 1 Indramayu dibangun PT Pembangkit Jawa-Bali (PJB),  anak usaha PT PLN,  di bawah program jalur cepat (fast track program) tahap I. Pendanaan konstruksi PLTU 1 Indramayu nilai kontrak US$ 562 miliar dari konsorsium bank kontruksi China, konsorsium bank lokal Indonesia dan APLN.

Sisi kiri dan kanan pembangkit listrik ini dikelilingi hamparan ratusan hektar ladang sawah padi dan tanaman sayuran. Hanya dibatasi dinding beton setinggi lima meter lebih antara lahan pertanian dan fasilitas pembangkit.

Jarak tak jauh dari pemukiman warga Desa Sumuradem dan Tegal Taman di Kecamatan Sukra, dan Mekarsari di Kecamatan Patrol, Indramayu.

Semburan asap PLTU ini bisa terlihat begitu dekat dari tiga desa ini. Kepulan asap mengikuti arah angin, menerjang kemana-mana hingga lahan pertanian dan permukiman sekitar terimbas.

Tak hanya sayur mayur, tanaman kelapa sudah tak ada, pisang pun terancam.

Satia, perempuan Mekarsari,  mengenang jauh sebelum PLTU beroperasi. Dia dan perempuan di Mekarsari masih sering membuat ketupat dari daun kelapa. Dulu, pohon kelapa cukup banyak di desanya. Mereka tak kesusahan bila ingin membuat masakan pakai santan kelapa atau ingin minum kelapa muda.

Namun, saat saya datang Mei lalu, tak melihat satupun kelapa  tumbuh di tiga desa itu. Satia bilang, semua kelapa sudah mati terserang penyakit. Untuk memasak, Satia mesti beli parutan kelapa atau santan kemasan di warung atau pasar terdekat.

“Sekarang mau bikin kupat [ketupat] harus beli di pasar. Disini sudah tidak ada pohonnya. Semua pada mati,” kata Satia.

Rodi, suami Satia berkata, sejak tiga tahun PLTU 1 Indramayu beroperasi, tanaman kelapa warga Mekarsari hingga Tegal Taman dan Sumuradem semua ludes. Saat diselidiki, ternyata ada semacam cairan minyak. Mula-mula pelepah kelapa rontok, lama-lama gundul, kemudian batang lapuk.

Kuat dugaan penyakit yang membunuh tanaman kelapa berasal dari limbah beracun PLTU 1 Indramayu. Sebab, kata Rodi, setelah pembangkit listrik ini beroperasi, semua tanaman kelapa perlahan-lahan mati tak tersisa.

“Jadi, kami tidak lagi panen kelapa kayak dulu,” kata Rodi, Ketua Jatayu kepada saya. “Sekarang harus beli kalau mau makan.”

Tolak PLTU

Surmi,  salah satu perempuan tani yang berdiri di garis depan menolak PLTU. Dia bersama ratusan buruh tani yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu) berkali-kali protes agar pembangkit listrik ini ditutup. Termasuk,  setop skema pencampuran (co-firing) biomassa pada PLTU batubara, dan menolak rencana proyek pembangunan PLTU 2 Indramayu.

PLTU 1 Indramayu menerapkan sistem co-firing biomassa sejak 2021. Co-firing biomassa adalah metode pencampuran batubara dengan biomassa dari berbagai bahan baku ‘terbarukan’, seperti pelet kayu, pelet sampah, serbuk gergaji, cangkang sawit, sekam padi dan lain-lain. Di pembangkit listrik Indramayu, mereka pakai serbuk gergaji dan sekam padi.

Oleh PLN, skema co-firing biomassa diklaim dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, emisi gas rumah kaca, dan menurunkan laju kenaikan suhu bumi. Sisi lain, tidak perlu membangun pembangkit listrik baru dengan menggunakan pembangkit yang sudah beroperasi.

Namun, bagi Surmi, meski dicampur dengan serbuk gergaji atau skema co-firing biomassa, debu beracun sisa pembakaran makin pekat dan tetap berisiko.

Belakangan, katanya,  malah memperparah kondisi lingkungan, juga perlahan memutus asa mereka mengolah pangan di sawah dan menyebabkan gagal panen tanaman pertanian beberapa kali.

*Liputan ini merupakan fellowship Trend Asia dalam program “Food vs Energy Fellowship 2023”*

Baca selengkapnya…

Foto: Rabul Sawal/Mongabay Indonesia