Serial Diskusi Selamatkan Pulau Indonesia

Edisi: Ekosistem Hancur, Pulau Wawonii di Tengah Ancaman Tambang

Indonesia mempunyai wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat, laut, serta kekayaan alam yang melimpah, khususnya sektor kelautan dan pulau-pulau kecil memegang peran strategis bagi kehidupan. Dengan demikian, pulau-pulau kecil menjadi salah satu penopang ekosistem terbesar yang ada bagi Indonesia itu sendiri.

Akan tetapi, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki kerentanan secara ekologis, sosial dan ekonomi. Maka dari itu, Undang-undang No. 27/2007 mengatur perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil dari kegiatan pertambangan. Sehingga dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk tujuan konservasi, pendidikan, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Oleh karena itu pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib, pertama, memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan. Kedua, memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, dan ketiga, menggunakan teknologi ramah lingkungan.

Namun, peraturan tersebut berbanding terbalik dengan situasi yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil saat ini. Sejak UU 27/2007 disahkan, industri ekstraktif yang melakukan aktivitas/kegiatan pertambangan berlangsung terus-menerus. Beberapa dampak yang terjadi dengan masuknya pertambangan di pulau kecil adalah merampas sumber penghidupan masyarakat pesisir, merusak tatanan ekonomi, sosial dan budaya, menciptakan politik adu domba dalam struktur masyarakat, hingga mencemari laut maupun sumber-sumber air bersih masyarakat.

Secara umum dampak pertambangan terhadap lingkungan berupa menurunnya produktivitas lahan, kepadatan tanah bertambah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat, serta berdampak pada perubahan iklim mikro pulau kecil yang dibebankan aktivitas pertambangan. 

Pulau Wawonii secara administratif terletak Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, merupakan pemekaran dari Kabupaten Konawe pada tahun 2013. Sejak tahun 2014, di Pulau Wawonii telah dibebankan konsesi industri pertambangan nikel oleh beberapa perusahaan, salah satunya adalah PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP). PT GKP merupakan perusahaan yang berelasi dengan Harita Group. Kabupaten Konawe Kepulauan hanya terdiri dari satu daratan dengan luas 706 km2. Dengan demikian, Kabupaten Konawe Kepulauan jelas masuk dalam kategori pulau kecil yang seharusnya tidak boleh dilakukannya aktivitas pertambangan. 

Aktivitas Tambang di Pulau Wawonii merusak ekosistem 

Pulau Wawonii termasuk pulau kecil dengan tingkat kerentanan yang tinggi. Kerentanan yang dimaksud terdiri dari kerentanan ekologi dan sosial yang dapat disebabkan oleh bencana alam, baik bencana alam alami maupun akibat aktivitas manusia (man made disaster). Tingginya kerentanan di pulau kecil dikarenakan adaptasi di pulau kecil yang terbatas serta tingginya ketergantungan terhadap daratan utama (main land). Adanya aktivitas pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Wawonii akan meningkatkan kerentanan akibat berkurangnya daya dukung ekologi Pulau Wawonii.

Berkurangnya daya dukung ekologi secara alamiah di Pulau Wawonii dapat dilihat dari pengrusakan ekosistem baik di daratan maupun ekosistem mangrove dan terumbu karang yang ada di perairannya. Potret pengrusakan yang terjadi di darat dimulai dari land clearing untuk jalan hauling pertambangan hingga aktivitas pengerukan tambang nikel itu sendiri. Sedangkan pengrusakan yang terjadi di perairan dimulai dari pembuatan dermaga/terminal khusus pertambangan yang dilakukan dengan cara menimbun perairan yang didalamnya terdapat ekosistem terumbu karang.

Aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Wawonii dilarang dilakukan karena dampak tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terbukti menghancurkan ekosistem pesisir, laut, flora, fauna dan pulau-pulau kecil sekaligus menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir yang sangat tergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan serta konflik sosial yang berujung pada pelanggaran HAM.

Dalam Publikasinya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2015 menerbitkan buku Daftar Jenis Tumbuhan di Pulau Wawonii, yang mengidentifikasi sekitar 1.000 jenis tumbuhan. Lalu 2019, publikasi lebih utuh dalam Pulau Wawonii: Keanekaragaman Ekosistem, Flora dan Fauna mengidentifikasi kekayaan jenis krustasea (kopeppoda) sampai 51 jenis tergolong dalam 24 marga, 15 suku, dan empat ordo merupakan endemik Sulawesi serta masih banyak lagi.

Selain itu, aktivitas pertambangan berakibat hutan di Pulau Wawonii tidak saja akan rusak atau kehilangan fungsi pokok kawasan hutannya tetapi berpotensi lenyap dan hampir tidak mungkin direhabilitasi guna memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yaitu mengembalikan fungsi pokok kawasan hutan di Pulau Wawonii.

Kemudian juga ekosistem atau kelestarian atau kesinambungan lingkungan untuk mendukung kehidupan di Pulau Wawonii berpotensi terganggu atau rusak secara permanen. Terjadinya kerusakan sektor perikanan, kerusakan sektor pertanian, kerusakan sektor pariwisata, kerusakan terumbu karang, bahkan berpotensi terhadap sumber mata pencaharian para petani/berkebun maupun nelayan-nelayan tradisional, sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya perusahaan tambang di Wawonii bukannya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi justru akan merugikan masyarakat dan lingkungan akibat masuknya pertambangan yang tidak sesuai dengan amanat UU.

NARASUMBER:

  1. Warga Pulau Wawoni’i*
  2. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
  • Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (Dr. Rugayah)
  • Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (Laode Alhamd)
  1. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan/KIARA (Erwin Suryana)

*dalam konfirmasi

MODERATOR :

  1. Wildan (Trend Asia)