Jakarta, 22 Agustus 2023–Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara memiliki keragaman ekosistem yang tidak dimiliki pulau-pulau lain di Indonesia. Sesuai dengan namanya, kata wawo atau daratan dan nii yang berarti kelapa, Pulau Wawonii didominasi kebun kelapa dari pantai hingga tengah pulaunya. Selain kelapa, komoditi yang sering dimanfaatkan warga Wawonii berupa cokelat, cengkih, dan jambu mete. Bahkan tanaman orka atau hoinu yang umumnya dari di Eropa telah dibudidayakan warga Wawonii untuk bahan makanan, obat tradisional, dan adat ritual selama lebih dari 200 tahun [1].

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat ada sekitar 1.000 jenis tumbuhan di Pulau Wawonii. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga di Pulau Wawonii memanfaatkan sekitar 200 jenis tumbuhan sebagai bahan pangan, papan, obat dan kosmetika, hingga anyaman dan sumber energi [2].

“Kekayaan ragam jenis tanaman di Wawonii merupakan aset luar biasa yang dimiliki bangsa kita dan harus dijaga agar anak cucu nanti bisa melihatnya. Wawonii menjadi contoh pulau kecil di Indonesia yang harus dijaga keberlangsungan ekosistemnya. Saya yakin masyarakat akan sejahtera dengan kepedulian atas lingkungan yang menciptakan inovasi-inovasi tinggi. Wawonii bisa menjadi pulau terdepan, mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain,” ujar Pakar Taksonomi Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN Rugayah.

BRIN juga mencatat ada 51 jenis krustasea, 45 jenis kupu-kupu, 37 jenis ikan tawar, 11 jenis kelelawar, hingga 70 jenis burung yang sebagian dilindungi. Tetapi di Pulau Wawonii tidak ada monyet maupun anoa, walaupun Pulau Sulawesi dikenal sebagai “bumi anoa”. Meski demikian, jauh dalam hutan-hutan di Pulau Wawonii terdengar kicauan burung maleo yang disebut monde’ oleh warga Wawonii [3].

Ahli Ekologi Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN Laode Alhamd menyatakan, burung maleo bertelur di daerah pesisir. Jika daerah pesisir hilang, maka burung maleo akan kehilangan habitatnya. Sedangkan, burung tersebut termasuk sebagai satwa yang dilindungi karena terancam punah. Hal ini menjadi krusial sebab aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP) telah terjadi di Pulau Wawonii. Di beberapa titik pesisir Kecamatan Wawonii Tenggara burung maleo menggali tanah untuk meletakkan telur, tetapi salah satu pesisirnya sudah menjadi pelabuhan terminal khusus PT GKP [4].

“Dalam ekologi ada interaksi biotik dan abiotik. Jika biotik rusak, formasi fauna terganggu. Pencemaran dari dermaga akan membuat koral mati, ikan dan krustasea tidak akan hidup dengan baik. Penjagaan ekosistem ini penting karena pulau kecil rentan sekali. Pulau kecil merupakan pulau yang tidak berpegangan dan beradaptasi dengan mainland atau pulau besar. Kelestariannya perlu dijaga, apalagi akan ada dampak perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Wawonii,” kata Laode.

Pulau Wawonii yang terletak di Kabupaten Konawe Kepulauan dengan luas 706 km2 masuk dalam kategori pulau-pulau kecil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan demikian, aktivitas pertambangan tidak boleh dilakukan di Pulau Wawonii. Meski demikian, PT GKP, anak perusahaan dari Harita Group, telah melakukan aktivitas tambang yang berdampak pada pencemaran lingkungan, seperti sumber mata air yang kini berwarna kecokelatan karena bercampur lumpur dan sungai yang berwarna kemerahan.

Pengerukan tambang nikel hingga pembuatan dermaga untuk tambang dengan menimbun perairan merusak ekosistem mangrove, terumbu karang, dan perairan di Pulau Wawonii. Kerusakan di sektor perikanan, pertanian, hingga pariwisata juga berpengaruh pada sumber ekonomi warga Wawonii yang umumnya berprofesi sebagai petani dan nelayan.

“Air tidak lagi jernih. Dari pipa air yang mengalir berwarna oranye kemerahan. Bahkan suatu waktu dari pipa keluar air bercampur lumpur. Di sungai juga keruh dan ikan sulit untuk didapatkan lagi. Ketika kita melaut, ikan dan karang juga sulit didapat karena ada jetty (dermaga) perusahaan. Lalu kami juga menghadapi masalah baru, yaitu debu. Aktivitas hauling dari perusahaan menghasilkan debu tebal yang membuat warga sesak napas. Perubahan juga terjadi secara sosial, dulunya kami gotong-royong sekarang kita bisa memetakan siapa yang pro dan kontra tambang antara warga. Konflik sosial itu sangat memengaruhi hidup kami,” ujar Yamir, warga Pulau Wawonii.

Erwin Suraya dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan, perubahan warna Sungai Roko-Roko yang dulunya jernih menjadi keruh juga memengaruhi ritme hidup ikan lompamea yang sering keluar-masuk dari muara Sungai Roko-roko. Akibat air yang keruh, ikan lompamea tidak lagi ditemukan di sungai tersebut.

“Dari cerita warga, mereka memanfaatkan ikan itu sebagai cadangan protein di masa-masa sulit. Atau menjadikannya cadangan makanan sebelum bahan pangan pokok bisa disajikan saat mereka melakukan pesta atau ritual tersebut. Dulu warga bertani saat siang dan menjadi nelayan saat sore hari. Dari sana kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Tetapi, penghancuran alam dan sedimentasi dari aktivitas tambang itu yang membuat ikan-ikan tak lagi bisa hidup di air yang keruh,” ujarnya.

Sementara itu, Mulyati Rahayu, Ahli Etnobotani dari BRIN mengatakan, “Untuk menyejahterakan masyarakat tidak dari tambang, bisa dari alam yang sudah ada, seperti meningkatkan sistem agroforestry. Misalnya, harus ada penyuluhan yang baik soal penanaman lada, kemiri, kopi, cokelat, dan mete. Sistem agroforestry ditingkatkan untuk mereka. Lalu bagaimana orka itu dikemas agar tidak rusak jika dikirim keluar Pulau Wawonii. Yang dibutuhkan adalah peningkatan seperti ini, alih-alih pertambangan.”

Siaran ulang “Diksusi Publik: Ekosistem Hancur, Pulau Wawonii di Tengah Ancaman Tambang” bisa diakses di sini.

Catatan Editorial:
[1] Rugayah, et. al. (2019). Pulau Wawonii: Keanekaragaman Ekosistem, Flora, dan Fauna. Jakarta: Lipi Press.
[2] Ibid
[3] Mongabay. 2022. “Ketika Perusahaan Tambang Nikel Masuk Pulau Wawonii [3]” diakses pada 22 Agustus 2023.
[4] Ibid.

Foto: Ilustrasi pulau (Muhammad Saushan on Unsplash)