Co-firing biomassa yang berlangsung sejak tahun 2019 hingga kini semakin berkembang. Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah melakukan co-firing biomassa di 32 PLTU hingga mei 2022 silam, dan akhir tahun ini ditargetkan menjadi 35 PLTU. Target co-firing di 52 PLTU pada tahun 2025 nampaknya akan tercapai bahkan melampaui itu. Melalui co-firing ini, harapannya pemerintah dapat menekan laju konsumsi energi fossil, mengurangi emisi dan bisa berkontribusi memenuhi target 23 % bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Sesuai dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi sebanyak 29 % dengan usaha sendiri dan 41 % dengan dukungan internasional pada tahun 2030, yang kemudian pemerintah tetap mempertahankan target emisi tersebut dalam dokumen update NDC yang dilaporkan sebelum COP-26 (Conference of Parties-26) di Glasgow, Skotlandia pada November, 2021 silam, disertakan dengan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR) agar dapat direalisasikan.

Bahan baku biomassa yang digunakan untuk co-firing pun beragam mulai dari sampah yang dijadikan pellet, sekam padi, cangkang sawit, sisa gergajian atau serbuk kayu, dan pellet kayu (wood pellet). Skenario yang dipakai untuk uji coba co-firing ini mulai dari 1 %, 5 % hingga 10 % kemudian sisanya dicampur batubara. Asumsinya 5% biomassa ditambah dengan 95 % batubara. Selain rendah emisi, PLN mengatakan bahwa bahan baku biomassa mudah didapatkan dan tidak perlu membangun pembangkit baru karena bisa menggunakan PLTU-PLTU yang masih beroperasi, yang mana dikelola oleh 2 anak usaha PLN yakni PT. Indonesia Power (IP) dan PT. Pembangkitan Jawa Bali (PJB)

Beberapa PLTU yang telah melakukan co-firing biomassa diantaranya ada PLTU Jeranjang, Nusa Tenggara Barat dengan memanfaatkan biomassa dari pellet sampah, PLTU Ketapang dan Tenayan memanfaatkan palm kernel shell, PLTU Paiton, PLTU Indramayu dan PLTU Rembang yang memanfaatkan pellet kayu. Hal yang menarik untuk dipercakapkan adalah penggunaan pellet kayu sebagai bahan baku co-firing biomassa. PLN menyatakan bahwa pellet kayu rendah emisi bahkan tidak menyumbang emisi di PLTU sehingga dapat memperkuat usaha pengurangan dampak perubahan iklim. Klaim ini merujuk pada Undang-undang Uni Eropa yang mengkategorikan biomassa pelet kayu bersifat netral karbon.

Argumentasi tersebut memungkinkan untuk dibantah karena ada penghitungan yang keliru tidak memasukkan emisi yang dihasilkan dari supply chain pellet kayu. Tercatat bahwa tingkat karbon di atmosfer sekarang sebanding dengan 4,3 juta tahun lalu selama zaman pertengahan pliosen. Dari studi yang dilakukan Trend Asia bersama tim peneliti tahun 2021-2022 co-firing biomassa pellet kayu ini bukanlah solusi yang tepat untuk percepatan transisi energi. Karena tetap menghasilkan emisi yang ditimbulkan oleh deforestasi dan pengelolaan Hutan Tanaman Energi serta pellet kayu.

Hingga saat ini terdapat 14 perusahaan yang memiliki izin usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan total luasan 579.159 ha. Mereka mengalokasikan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE) seluas 156.032 ha dengan rencana penanaman 2015-2024 seluas 165.668 ha. Sementara untuk menanami bahan baku pelet kayu berdasarkan pertimbangan kebutuhan areal tanam dan memperhitungkan faktor rotasi/trubusan serta jenis tanaman skema co-firing biomassa ini memerlukan lahan berkisar antara 828.743 – 2.762.477 ha. Untuk memenuhi sisanya memungkinkan pembukaan hutan alam atau lahan baru. Sehingga ancaman deforestasi makin masif dan emisi karbon makin bertambah karena disaat penebangan akan melepaskan karbon ke atmosfer yang selama ini terserap dalam pohon. Pun dalam proses pembuatan menjadi pellet kayu yang menggunakan pupuk NPK dan transportasi untuk pengangkutan kayu bulat maupun pendistribusian wood pellet turut menyumbang emisi. Padahal karbondioksida terus meningkat yang mana tahun ini hampir 1,9 bagian per juta (ppm) dari setahun yang lalu.

Kondisi tersebut mengkhawatirkan karena usaha pengurangan emisi dengan co-firing biomassa terutama pellet kayu tidak sebanding dengan kerusakan yang nantinya akan ditimbulkan. Negara ini tetap saja jadi Top Emitter apalagi di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use) yang mempersulit capaian net sink karbon pada 2030. Mengapa kesimpulan ini bisa muncul dan seperti apa prosesnya sehingga argumentasi bahwa biomassa pelet kayu tetap menambah beban emisi? Kami akan menjawab hal tersebut pada Konferensi Pers: Peluncuran Hasil Riset atas kebijakan Co-firing PLTU dengan Biomassa di Indonesia “Membajak Transisi Energi ke Energi Terbarukan; Seri Diskusi Publik “Adu Klaim Mengurangi Emisi” pada Senin, 29 Agustus 2022 yang dilaksanakan secara online melalui zoom dan siaran langsung di youtube.

Maksud Dan Tujuan

Kegiatan ini memiliki maksud dan tujuan untuk memberikan informasi terbaru kepada publik dan para pihak yang berkepentingan mengenai perkembangan co-firing biomassa pelet kayu baik di Indonesia secara nasional dan global. Secara khusus, kegiatan ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

  • Peluncuran hasil riset atas kebijakan Co-firing PLTU dengan Biomassa di Indonesia “Membajak Transisi Energi ke Energi Terbarukan” mengenai proyeksi emisi karbon yang dihasilkan dari sektor hulu biomassa pelet kayu, dengan edisi pertama berjudul “Adu Klaim Mengurangi Emisi”
  • Membongkar sesat pikir solusi palsu untuk menekan laju emisi karbon dari sektor kehutanan dan lahan (forestry and Other Land Use).