Katadata-Program Co-firing biomassa di 52 lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara menjadi sorotan lembaga swadaya masyarakat (LSM).  Ini lantaran pemerintah memerlukan lahan besar guna mendukung program tersebut.

Dari laporan Trend Asia bertajuk Adu Klaim Menurunkan Emisi yang dirilis pada Senin (29/8), lahan yang diperlukan seluas 2,33 juta hektar atau 35 kali luas daratan DKI Jakarta untuk membangun Hutan Tanaman Energi (HTE).

Luasnya lahan konsesi yang dibutuhkan untuk HTE ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya pembukaan hutan alam alias deforestasi. Selain itu, laporan ini juga mengkritisi pemerintah dan PT PLN bahwa penggunaan campuran biomassa dalam program tersebut rendah emisi dan mengurangi pemakaian batu bara.

Co-firing biomassa adalah metode pencampuran batu bara dengan biomassa yang berasal dari berbagai bahan baku, seperti pelet kayu, pelet sampah, serbuk kayu, cangkang sawit, serbuk gergaji, dan sekam padi.  Skenario yang diuji dalam riset untuk co-firing ini yakni skala 5-10% biomassa dan 90-95% batu bara.

HTE yang menjadi rantai pasok bahan baku energi biomasa secara berkelanjutan bagi sebagai PLTU ditaksir akan menambah emisi gas rumah kaca Indonesia hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun.

“Ini juga akan memperpanjang umur PLTU yang seharusnya sudah pensiun seperti PLTU Suralaya dan PLTU Paiton,” kata Juru Kampanye Trend Asia, Meike Inda Erlina dalam siaran pers, Senin (29/8).

Hingga Mei 2022, sebanyak 32 PLTU telah menerapkan co-firing biomassa. PLN juga menargetkan implementasi co-firing biomassa di 52 lokasi atau 107 unit PLTU di seluruh Indonesia hingga 2025.

Meike mengatakan, narasi yang berkembang terkait porsi pencampuran biomassa dengan batubara mengabaikan fakta tingginya kebutuhan batubara di program co-firing ini. “Padahal, porsi biomassa yang dicampur hanya berjumlah kecil, 1 sampai 10%, sementara 90% tetap bersumber dari batu bara,” kata Meike.

Tim peneliti Trend Asia, Mumu Muhadjir mengatakan dengan asumsi praktik co-firing biomassa pelet kayu sebesar 10%, maka kebutuhan biomassa untuk 107 PLTU yang berkapasitas total 18,8 GW akan mencapai 10,23 juta ton per tahun.

Dia berkaca dari pembukaan hutan tanaman industri (HTI). Merujuk data MapBiomas Indonesia, dari total luas tutupan HTI tahun 2019 seluas 3.500.622 hektare, ada 38% atau 1.330.236 hektare yang berasal dari deforestasi.

“Dari pemodelan matematika, co-firing 10% biomassa di 107 unit PLTU berpotensi menghasilkan total emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun,” kata Mumu.

Emisi yang muncul datang dari praktik deforestasi, pengelolaan HTE hingga produksi pelet kayu. Alih-alih berkurang, pencampuran biomassa dengan batu bara ini akan menambah emisi dari PLTU yang dalam RUPTL 2021-2030 diproyeksikan terus naik menjadi 298,9 juta ton CO2e pada 2030.

Temuan lain, co-firing biomassa tidak mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan batu bara PLTU. Data Statistik PLN tahun 2021 menunjukkan, penggunaan biomassa 282.628 ton, naik signifikan dari 9.731 ton pada 2020.

Pada saat yang sama, penggunaan batu bara juga naik menjadi 68,47 juta ton, dari 66,68 juta ton pada 2020. “Bahan bakar substitusi justru menjadi komplementer,” imbuh Mumu.

Wahyudin Iwang, Manager Advokasi WALHI Jawa Barat mengatakan, klaim rendah emisi dari campuran biomassa di PLTU tidak akan bisa memulihkan kerusakan lahan pertanian dan kesehatan warga yang telah terjadi.

Riset WALHI Jawa Barat sejak tahun 2017 terkait operasional PLTU Indramayu 1 di Desa Tegal Taman mencatat, sebagian besar anak usia 2-7 tahun terpapar infeksi pernafasan akut atau (ISPA). Laporan keluhan itu meningkat jika dihitung sejak PLTU itu dibangun yakni 2011 hingga sekarang.

“Pencampuran bahan baku batu bara dengan biomassa serbuk kayu yang telah dilakukan di PLTU Indramayu 1 hanya akan memperparah polusi udara,” ujar Wahyudin.

Baca selengkapnya…

Foto: Jatam Kaltim/Trend Asia