Indoprogress-Ember Mas’ud sore itu, Jumat 14 Juli 2023, hanya terisi puluhan butir cabai setan. Hari itu dia sebenarnya sekadar memeriksa kebunnya yang tersebar di beberapa lokasi. Dia tahu pertengahan tahun bukan waktu terbaik untuk menikmati hasil panen, tapi tak ada salahnya mengembangkan asa.

Setelan Mas’ud ke ladang biasanya sama: celana panjang dan kaus oblong. Tapi kebetulan hari itu dia pakai kaus polo yang sudah tak jelas warnanya, putih yang sudah tercampur hitam akibat kerja di kebun. Masih soal penampilan, yang mencolok darinya adalah gigi yang bisa dihitung jari. Sepertinya tinggal lima. Saat dia tertawa atau membuka mulut, seluruhnya terpampang, ada di bagian atas.

Di usia yang menginjak 63, badan kecil Mas’ud tak kenal lelah. Dia mengaku setiap hari pergi ke kebun. Bukan hanya Senin-Jumat, tapi juga Sabtu dan Minggu. “Gatal badan kalau tidak ke kebun, malah enggak tenang,” kata Mas’ud sumringah.

Meski hari itu tak banyak memetik hasil, sebenarnya Mas’ud cukup puas. Lebaran tahun ini, tepatnya sekitar dua bulan lalu, dia berhasil memanen puluhan kilogram nanas. Mas’ud tak pernah menghitung berapa banyak persisnya yang dihasilkan, namun selama lebih dari 20 tahun hidup dari ladang, ia mengatakan selalu berkecukupan, mampu menghidupi istri dan tiga anak.

Tapi fokus artikel ini bukan Mas’ud, melainkan apa yang terjadi di tempat dia bekerja.

Sekitar 2,5 kilometer saja dari kebun Mas’ud, di Desa Air Duren, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, terdapat pabrik yang mengolah kayu menjadi kepingan kayu (wood chip). Setiap bulan, pabrik yang menurut warga dinaungi oleh kerja sama operasi (KSO) PT Biro Teknik Sinar Baru, Koperasi Energi Terbarukan Indonesia (Kopetindo) dan PT Solusi Energindo Inovasi itu menampung 1.500 hingga 1.600 ton kayu, bahkan jika tidak dibatasi jumlahnya bisa 5.000 ton. Kayu-kayu itu diambil dari hutan rakyat, hutan desa, dan juga hutan produksi melalui Kelompok Tani Hutan dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Jika satu truk memiliki daya tampung sekitar 5-6 ton, itu berarti setidaknya ada sekitar 300 truk mondar-mandir hampir tiap hari di kawasan tersebut. Untuk satu kali angkut, biayanya sekitar Rp800 ribu hingga Rp1 juta.

Dari pabrik, kepingan kayu akan menyusuri jalan sekitar 17 kilometer ke PLTU Air Anyir. Ini adalah PLTU yang menggunakan teknik co-firing, yaitu tidak hanya menggunakan batu bara tapi biomassa, dalam hal ini tidak lain kepingan kayu tadi. Jadi dua bahan itu dibakar secara bersamaan pada rasio tertentu. Tujuan teknik yang dimulai tahun lalu ini adalah demi mewujudkan impian energi ramah lingkungan (green energy).

Penggunaan wood chip diprediksi akan terus bertambah. Berdasarkan data dari Trend Asia tahun 2022, Bangka Belitung sempat punya tiga perusahaan yang bisnisnya terkait dengan pemanfaatan hutan. Pertama, PT Bangkanesia dengan luas konsesi 51,2 ribu hektare (sekarang izinnya sudah dicabut). Kedua, PT Istana Kawi Kencana, pemegang konsesi seluas 13,4 ribu hektare. Lalu terakhir Inhutani V dengan luas konsesi 15,7 ribu hektare. Inhutani V sempat hendak menjalin kerja sama dengan Koperasi Energi Terbarukan Indonesia (Kopetindo) dengan luasan konsesi 7,4 ribu hektare pada 2021, namun urung. Sekarang, salah satu perusahaan yang dinaungi oleh Kopetindo, PT Maharaksa Biru Energi, memanfaatkan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk mengepul kayu akasia–satu dari enam tanaman yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai tanaman energi. Luas lahannya diperkirakan mencapai 50 ribu hektare.

Baca selengkapnya…

Foto: Indoprogress (Illustruth)